Terompet memang selalu ada dalam setiap perayaan tahun baru di Indonesia. Bahkan, menjelang awal tahun para pedagang terompet sudah berderet-deret menjajakan dagangannya di sepanjang jalan, termasuk di Semarang.
Para pedagang terompet ini bersifat musiman, tak setiap hari mereka berjejer di pinggir jalan menawarkan terompet yang sudah dihias dan dimodifikasi berbagai model, namun khusus menjelang perayaan tahun baru.
Penjualan terompet ini seperti menjadi bisnis yang menjanjikan, sebab warga-warga desa yang sehari-harinya bergelut dengan ladang, sawah, dan ternak, berbondong-bondong "menyerbu" kota untuk mengadu peruntungan.
Seperti Narno (65), pria asal Purwantoro, Wonogiri, yang menjajakan terompetnya di pinggir Jalan Ahmad Yani Semarang, mengadu nasib bersama banyak pedagang terompet lain yang juga menjajakannya di sepanjang jalan itu.
Sudah enam tahun dia setia menjadi pedagang terompet tahun baru, berbekal keterampilannya membuat terompet yang didapatnya secara turun temurun yang diwariskannya pula kemahiran itu pada anak-anaknya.
Bahkan, dua anaknya yang sudah besar ikut berdagang terompet di Semarang dan menjadi "pesaingnya", tak jauh dari tempatnya berjualan. Kesibukannya sehari-sehari sebagai buruh tani ditinggalkan demi bisnis musiman itu.
"Sudah enam tahun saya jualan terompet tiap menjelang tahun baru. Lumayan, tahun ini sedikit lebih baik dibanding tahun lalu," kata Narno, ditemui di sela kesibukannya menyelesaikan pembuatan terompet.
Tingginya intensitas hujan pada tahun lalu, diakuinya membuat para pedagang banyak yang rugi karena dagangannya rusak dan tidak laku, namun tahun ini kondisi cuaca mendukung sehingga dagangannya cukup laris.
Kalau hujan, kata pria yang selama menjadi pedagang terompet itu tidur di halaman Kantor Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Semarang itu, tidak banyak pembeli karena mungkin malas bepergian dan memilih di rumah.
Narno mengaku modalnya berjualan terompet itu berkisar Rp3,5 juta dengan jumlah terompet sekitar 2.000 buah. Selama seminggu berjualan terompet di kawasan Semarang, setiap hari dia bisa meraup 100-400 ribu.
Model terompet yang dijualnya juga bermacam-macam, mulai model konvensional atau biasa seperti kebanyakan terompet, model kupu-kupu, model "marching band", model singa, hingga model yang menyerupai ular naga.
Harga yang ditawarkan menyesuaikan model, untuk yang biasa bisa dibawa pulang dengan hanya Rp5.000/buah, model "marching band" ditawarkan Rp10.000/buah, sedangkan model singa dan kupu-kupu dijual Rp15.000/buah.
Budiyanto, pedagang terompet lainnya dari Desa Ngendak, Purwantoro, Wonogiri mengakui, terompet tak kalah seperti baju yang mengikuti model, tahun ini sedang tren dan laris terompet model singa dan kupu-kupu.
Remaja yang mengaku masih bersekolah di SMK Bulukerto, Wonogiri itu mengungkapkan, terompet-terompet yang dijualnya itu merupakan bikinannya sendiri, sama seperti halnya pedagang terompet lain dari Wonogiri.
"Saya jual total sekitar 1.200 terompet. Seminggu ini sudah terjual sekitar 700 buah, lumayan. Tahun lalu, saya jual 1.000 terompet," kata Budiyanto yang sementara ini juga tidur di halaman Kantor DKP Semarang.
Keahliannya membuat terompet didapatnya secara turun temurun, dan menjelaskan bagian paling sulit dari membuat terompet adalah saat menggulung kertas karton menjadi bentuk terompet, menyesuaikan model terompetnya.
Kalau terompet model singa, kata dia, bagian kepala singa sudah ada yang mencetak dan menjualnya dengan harga satu kodi sekitar Rp12.000, dan para pembuat terompet tinggal menyempurnakan dan mempercantik bentuknya.
Budiyanto mengaku modalnya untuk berdagang terompet sekitar Rp1 juta ini didapatnya dari pinjaman, sebab butuh membeli bahan-bahan dulu, seperti kertas karton, kertas hias, dan plastik untuk membuat terompet.
Para penjual terompet dari Wonogiri yang datang ke Semarang secara berombongan dengan menyewa truk itu, biasanya akan pulang ke kampung halaman sesaat setelah perayaan tahun baru dengan berganti naik bus.
Menurut Donny Danardono, pengajar filsafat di Fakultas Hukum dan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, terompet memang terdapat dalam berbagai budaya masyarakat.
"Ada yang mengatakan, membunyikan terompet saat tahun baru merupakan budaya Yahudi atau budaya tentara Kristen saat Perang Salib. Namun, saya meragukannya, sebab bangsa lain juga mengenal terompet," katanya.
Dalam kisah Mahabharata, jelas dia, peperangan antara Pandhawa dan Kurawa juga dimulai dan diakhiri dengan membunyikan terompet, termasuk untuk keperluan-keperluan lain, terutama menyangkut luapan kegembiraan.
Untuk Indonesia, Donny menambahkan, terompet memang sudah sedemikian membudaya dalam masyarakat untuk merayakan tahun baru, dan akan menciptakan sebuah budaya dan pemaknaan baru, yakni kegembiraan atau bergembira.
(Laksita Estining Tyas)