Sesuaikan kampanye politik dengan kebutuhan generasi muda
Semarang (ANTARA) - Analis komunikasi politik Universitas Diponegoro Semarang Triyono Lukmantoro mengingatkan bahwa kampanye politik yang dilakukan kontestan pesta demokrasi harus menyesuaikan kebutuhan generasi muda.
"Cara berpikirnya sekarang masih berpolitik lama, 'coblos dan coblos'. Mengapa tidak ada istilah lain, misalnya 'pilih' atau 'tentukan masa depan kalian', dan seterusnya," katanya, di Semarang, Selasa.
Hal tersebut disampaikan saat menjadi pembicara diskusi Radio Idola Semarang Trending Topic bertema "Kampanye Di Era Triple Disruption: Memenangkan Hati dan Pikiran Gen M dan Gen Z".
Triyono menjelaskan bahwa kontestan, baik calon presiden, calon wakil presiden, tim sukses, hingga calon anggota legislatif (caleg) harus bertanya kebutuhan generasi milenial dan gen Z.
"Untuk memilih pemimpin, seringkali kan ngomongin visi, misi, program, dan seterusnya. Tapi, apakah kemudian capres, cawapres, timses, kemudian caleg semua parpol pernah bertanya kepada gen Z apakah kebutuhan mereka?" katanya.
Padahal, kata dia, jumlah gabungan pemilih dari kalangan milenial dan gen Z pada Pemilihan Umum 2024 mencapai lebih dari 50 persen sehingga cukup menentukan dalam kontestasi politik.
Berdasarkan data KPU, pemilih dari kalangan milenial (lahir rentang 1980 hingga 1994) dan gen Z (lahir 1995 hingga 2000-an) mencapai 56,45 persen atau lebih dari 113 juta pemilih dari total 204.807.222 pemilih.
"Mereka harus diberi pengertian manfaat pemilu. Pemilu ini aktivitas politik yang harus diikuti, bukan sekadar coblos dan memberikan suara, tetapi bisa mengawasi kelakuan dan konsistensi dari sosok yang dipilih," katanya.
Karena itu, kata dia, kampanye dengan model propaganda yang masih marak sekarang, misalnya dengan baliho atau spanduk menjadi kurang efektif lagi untuk kalangan milenial dan gen Z.
"Yang penting pasang tampang, nama, atau tokoh besar yang menjadi patron. Gen Z, saya yakin tidak suka. Apakah kebutuhan atau isu yang paling seksi bagi mereka, lingkungan, pekerjaan? Seperti itu," katanya.
Triyono mencontohkan salah satu kebutuhan gen Z adalah preferensi pekerjaan yang berbeda dengan generasi sebelumnya karena mereka mungkin menyukai pekerjaan yang lebih bersifat fleksibel dan menyenangkan.
"Misalnya kepastian pekerjaan. Jenis pekerjaan apa yang mereka mau? Mungkin mereka pilih-pilih jenis pekerjaan, tidak mau menjadi pegawai negeri, pegawai kantoran, dan sebagainya, namun milih jadi Youtuber, pengusaha, pebisnis," katanya.
Meski demikian, kata dia, milenial dan gen Z tetap menginginkan kepastian dan masa depan yang aman dalam pekerjaan sehingga itulah yang harus diangkat sehingga mereka tertarik secara rasional menggunakan hak pilihnya.
"Hal-hal seperti inilah yang istilahnya saya sebut pragmatisme politik, menjadi penting, bukan kemudian dikasih uang, sembako. Berkomunikasinya seperti itu. Dengarkan mereka, pahami generasi ini," kata Triyono.
"Cara berpikirnya sekarang masih berpolitik lama, 'coblos dan coblos'. Mengapa tidak ada istilah lain, misalnya 'pilih' atau 'tentukan masa depan kalian', dan seterusnya," katanya, di Semarang, Selasa.
Hal tersebut disampaikan saat menjadi pembicara diskusi Radio Idola Semarang Trending Topic bertema "Kampanye Di Era Triple Disruption: Memenangkan Hati dan Pikiran Gen M dan Gen Z".
Triyono menjelaskan bahwa kontestan, baik calon presiden, calon wakil presiden, tim sukses, hingga calon anggota legislatif (caleg) harus bertanya kebutuhan generasi milenial dan gen Z.
"Untuk memilih pemimpin, seringkali kan ngomongin visi, misi, program, dan seterusnya. Tapi, apakah kemudian capres, cawapres, timses, kemudian caleg semua parpol pernah bertanya kepada gen Z apakah kebutuhan mereka?" katanya.
Padahal, kata dia, jumlah gabungan pemilih dari kalangan milenial dan gen Z pada Pemilihan Umum 2024 mencapai lebih dari 50 persen sehingga cukup menentukan dalam kontestasi politik.
Berdasarkan data KPU, pemilih dari kalangan milenial (lahir rentang 1980 hingga 1994) dan gen Z (lahir 1995 hingga 2000-an) mencapai 56,45 persen atau lebih dari 113 juta pemilih dari total 204.807.222 pemilih.
"Mereka harus diberi pengertian manfaat pemilu. Pemilu ini aktivitas politik yang harus diikuti, bukan sekadar coblos dan memberikan suara, tetapi bisa mengawasi kelakuan dan konsistensi dari sosok yang dipilih," katanya.
Karena itu, kata dia, kampanye dengan model propaganda yang masih marak sekarang, misalnya dengan baliho atau spanduk menjadi kurang efektif lagi untuk kalangan milenial dan gen Z.
"Yang penting pasang tampang, nama, atau tokoh besar yang menjadi patron. Gen Z, saya yakin tidak suka. Apakah kebutuhan atau isu yang paling seksi bagi mereka, lingkungan, pekerjaan? Seperti itu," katanya.
Triyono mencontohkan salah satu kebutuhan gen Z adalah preferensi pekerjaan yang berbeda dengan generasi sebelumnya karena mereka mungkin menyukai pekerjaan yang lebih bersifat fleksibel dan menyenangkan.
"Misalnya kepastian pekerjaan. Jenis pekerjaan apa yang mereka mau? Mungkin mereka pilih-pilih jenis pekerjaan, tidak mau menjadi pegawai negeri, pegawai kantoran, dan sebagainya, namun milih jadi Youtuber, pengusaha, pebisnis," katanya.
Meski demikian, kata dia, milenial dan gen Z tetap menginginkan kepastian dan masa depan yang aman dalam pekerjaan sehingga itulah yang harus diangkat sehingga mereka tertarik secara rasional menggunakan hak pilihnya.
"Hal-hal seperti inilah yang istilahnya saya sebut pragmatisme politik, menjadi penting, bukan kemudian dikasih uang, sembako. Berkomunikasinya seperti itu. Dengarkan mereka, pahami generasi ini," kata Triyono.