DPRD Kota Semarang minta jangan biarkan lapak pasar kosong
Semarang (ANTARA) - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang, Jawa Tengah, meminta pemerintah kota setempat untuk tidak membiarkan lapak di pasar-pasar tradisional kosong, apalagi sampai bertahun-tahun.
Ketua Komisi B DPRD Kota Semarang Joko Susilo di Semarang, Kamis, mengaku sering melihat fenonema lapak kosong di pasar tradisional akibat ditinggalkan cukup lama oleh pedagang.
Hal tersebut disampaikannya menanggapi penyegelan ratusan lapak pedagang yang mangkrak di Sentra Pedagang Kaki Lima (PKL) Taman Suryokusumo oleh Satuan Polisi Pamong Praja (PP) Kota Semarang, Rabu (12/4) kemarin.
Semestinya, kata dia, Pemkot Semarang melalui dinas perdagangan bisa langsung bertindak jika ada lapak kosong yang ditinggalkan oleh pedagang agar tidak berlarut hingga mangkrak.
"Selama ini tidak ada tindakan. Kosong dibiarkan bertahun-tahun. Kalau selalu mengadakan tindakan, mereka (pedagang, red.) akan jera," jelasnya.
Menurut dia, lapak yang dibiarkan kosong oleh pedagang selama 3 bulan berturut-turut seharusnya langsung ditertibkan dan disegel untuk menimbulkan efek jera bagi pedagang yang lain.
Tidak hanya di Sentra PKL Taman Suryokusumo, Joko menyebutkan fenomena lapak mangkrak juga terjadi di beberapa pasar tradisional, antara lain, di Pasar Karangayu Semarang.
"Kalau seperti itu, 'kan berarti pasar cuma identitas saja. Pasarnya kosong, sementara pedagangnya malah menempati di lahan parkir sampai rel kereta api," katanya.
Demikian juga Pasar Bulu yang sudah lama kosong, dia menyarankan Pemkot Semarang membuat perencanaan baru untuk menghidupkan kembali pasar tradisional yang telah rampung direvitalisasi itu.
"Pasar Bulu itu sudah lama 'kan kapan pernah disegel, dibuka lagi, disegel lagi. Harus ada spekulasi. Kalau tidak, ya, pasarnya akan seperti itu terus," katanya.
Pasar Rejomulyo, kata dia, juga sudah dibiarkan sepi selama bertahun-tahun, sedangkan pedagang masih memilih bertahan di pasar lama, yakni Pasar Kobong.
"Berapa tahun tidak ditempati? Anggaran pemerintah berapa untuk bangun itu? Eman-eman (sayang, red.). Permintaan pedagang minta ini itu. Pemerintah harus berani mengatur semua, kalau tidak mau diatur, ya, sikat," tegasnya.
Padahal, kata dia, kondisi ramai atau sepinya pasar sebenarnya bergantung pada pedagangnya. Jika pedagang mau menempati lokasi baru, pembeli akan mengikuti ke mana pindahnya pedagang.
Sebagai contoh Pasar Johar yang baru saja selesai dibangun, kata dia, pedagang beranggapan jika Pasar Johar sepi sehingga enggan untuk menempati kembali pasar yang sempat terbakar hebat itu dengan berbagai macam alasan.
Pasar Johar sempat terbakar hebat pada tahun 2015 yang membuat para pedagang direlokasi ke lahan milik Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), dan baru saja mereka diboyong lagi ke Pasar Johar setelah direvitalisasi.
Ketua Komisi B DPRD Kota Semarang Joko Susilo di Semarang, Kamis, mengaku sering melihat fenonema lapak kosong di pasar tradisional akibat ditinggalkan cukup lama oleh pedagang.
Hal tersebut disampaikannya menanggapi penyegelan ratusan lapak pedagang yang mangkrak di Sentra Pedagang Kaki Lima (PKL) Taman Suryokusumo oleh Satuan Polisi Pamong Praja (PP) Kota Semarang, Rabu (12/4) kemarin.
Semestinya, kata dia, Pemkot Semarang melalui dinas perdagangan bisa langsung bertindak jika ada lapak kosong yang ditinggalkan oleh pedagang agar tidak berlarut hingga mangkrak.
"Selama ini tidak ada tindakan. Kosong dibiarkan bertahun-tahun. Kalau selalu mengadakan tindakan, mereka (pedagang, red.) akan jera," jelasnya.
Menurut dia, lapak yang dibiarkan kosong oleh pedagang selama 3 bulan berturut-turut seharusnya langsung ditertibkan dan disegel untuk menimbulkan efek jera bagi pedagang yang lain.
Tidak hanya di Sentra PKL Taman Suryokusumo, Joko menyebutkan fenomena lapak mangkrak juga terjadi di beberapa pasar tradisional, antara lain, di Pasar Karangayu Semarang.
"Kalau seperti itu, 'kan berarti pasar cuma identitas saja. Pasarnya kosong, sementara pedagangnya malah menempati di lahan parkir sampai rel kereta api," katanya.
Demikian juga Pasar Bulu yang sudah lama kosong, dia menyarankan Pemkot Semarang membuat perencanaan baru untuk menghidupkan kembali pasar tradisional yang telah rampung direvitalisasi itu.
"Pasar Bulu itu sudah lama 'kan kapan pernah disegel, dibuka lagi, disegel lagi. Harus ada spekulasi. Kalau tidak, ya, pasarnya akan seperti itu terus," katanya.
Pasar Rejomulyo, kata dia, juga sudah dibiarkan sepi selama bertahun-tahun, sedangkan pedagang masih memilih bertahan di pasar lama, yakni Pasar Kobong.
"Berapa tahun tidak ditempati? Anggaran pemerintah berapa untuk bangun itu? Eman-eman (sayang, red.). Permintaan pedagang minta ini itu. Pemerintah harus berani mengatur semua, kalau tidak mau diatur, ya, sikat," tegasnya.
Padahal, kata dia, kondisi ramai atau sepinya pasar sebenarnya bergantung pada pedagangnya. Jika pedagang mau menempati lokasi baru, pembeli akan mengikuti ke mana pindahnya pedagang.
Sebagai contoh Pasar Johar yang baru saja selesai dibangun, kata dia, pedagang beranggapan jika Pasar Johar sepi sehingga enggan untuk menempati kembali pasar yang sempat terbakar hebat itu dengan berbagai macam alasan.
Pasar Johar sempat terbakar hebat pada tahun 2015 yang membuat para pedagang direlokasi ke lahan milik Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), dan baru saja mereka diboyong lagi ke Pasar Johar setelah direvitalisasi.