Petani Cilacap manfaatkan sawah tadah hujan budi daya hortikultura
Cilacap (ANTARA) - Petani di Desa Kalijaran, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, memanfaatkan sawah tadah hujan untuk budi daya tanaman hortikultura karena dinilai lebih menguntungkan.
"Harga komoditas hortikultura khususnya cabai tergolong unik karena selalu fluktuatif, namun lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan padi yang harganya relatif stabil," kata Priyatno, petani di Desa Kalijaran, Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap, Jumat.
Dia mencontohkan pada lahan seluas 60 meter persegi miliknya, jika ditanami padi, ketika panen hanya menghasilkan kurang lebih 2 kuintal beras.
Jika harga beras sebesar Rp10.000 per kilogram, berarti pendapatan yang diperoleh dalam satu musim tanam selama empat bulan hanya mencapai Rp2 juta belum dikurangi biaya produksi.
Akan tetapi jika lahan seluas 60 meter persegi itu ditanami komoditas cabai, dalam empat bulan bisa menghasilkan 4 kuintal.
"Kalau harga cabai taruhlah yang paling murah Rp20.000 per kilogram, berarti dalam empat bulan bisa mendapatkan Rp8 juta karena bisa delapan kali panen dengan hasil rata-rata 50 kilogram setiap panen," kata Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) "Margo Sugih" Desa Kalijaran itu.
Menurut dia, hitungan tersebut dengan asumsi hasil panen padi maupun cabai dalam kondisi kurang bagus.
Bahkan, kata dia, biaya produksi budi daya cabai juga jauh lebih murah jika dibandingkan dengan tanaman padi.
Ia mengatakan jika petani menggunakan pupuk dan obat-obatan kimia, biaya produksinya kurang lebih Rp2 juta untuk satu musim tanam selama empat bulan.
"Jika petani harus mengeluarkan biaya sewa lahan, ongkos perawatan, dan sebagainya, total biaya produksinya kurang lebih Rp4 juta, berarti dari pendapatan sebesar Rp8 juta, keuntungan yang masih didapat sekitar Rp4 juta," katanya.
Terkait dengan hal itu, Priyatno mengajak petani anggota Gapoktan "Margo Sugih" yang sawahnya tidak terjangkau jaringan irigasi teknis (sawah tadah hujan,) untuk mengembangkan budi daya hortikultura khususnya komoditas cabai.
Kendati demikian, dia mengingatkan agar budi daya cabai dilakukan pada waktu yang tepat, sehingga tidak terlalu terpengaruh oleh fluktuasi harga komoditas itu.
"Jangan sampai pas harga cabai sedang tinggi, ramai-ramai tanam cabai karena bisa jadi ketika panen, harganya sudah turun karena banyak pasokan," katanya.
Dia juga menyarankan petani sawah tadah hujan di Desa Kalijaran untuk mulai tanam komoditas hortikultura pada musim kemarau tahun ini dengan memanfaatkan air dari rumah pompa air tanah bertenaga surya yang sudah terpasang di wilayah itu.
"Kalau mau tanam hortikutura terus, ya tidak masalah. Mau bergantian setelah dua kali tanam padi kemudian hortikultura juga tidak apa-apa," kata Priyatno.
Sementara itu, salah seorang anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) "Trubus" Desa Kalijaran, Jumiati mengaku saat sekarang tengah mengembangkan tanaman cabai secara organik di sawah tadah hujan miliknya.
Secara kualitas, kata dia, kesegaran cabai yang dibudidayakan secara organik dapat bertahan lebih lama jika dibandingkan dengan cabai yang menggunakan pupuk kimia.
"Kemarin saya petik cabai yang dibudidayakan secara organik dan selanjutnya saya diamkan di rumah. Hingga empat hari, cabai itu tidak kusut, tetap segar, padahal tidak saya masukkan ke dalam 'freezer'," kata dia yang juga anggota Gapoktan "Margo Sugih".
Terkait dengan hal itu, dia akan mengajak anggota KWT "Trubus" lainnya untuk budi daya komoditas hortikultura khususnya cabai secara organik terutama di sawah-sawah tadah hujan.
Ke depan, Jumiati juga akan mencoba membuat pupuk organik sendiri dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia di desanya.
"Harga komoditas hortikultura khususnya cabai tergolong unik karena selalu fluktuatif, namun lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan padi yang harganya relatif stabil," kata Priyatno, petani di Desa Kalijaran, Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap, Jumat.
Dia mencontohkan pada lahan seluas 60 meter persegi miliknya, jika ditanami padi, ketika panen hanya menghasilkan kurang lebih 2 kuintal beras.
Jika harga beras sebesar Rp10.000 per kilogram, berarti pendapatan yang diperoleh dalam satu musim tanam selama empat bulan hanya mencapai Rp2 juta belum dikurangi biaya produksi.
Akan tetapi jika lahan seluas 60 meter persegi itu ditanami komoditas cabai, dalam empat bulan bisa menghasilkan 4 kuintal.
"Kalau harga cabai taruhlah yang paling murah Rp20.000 per kilogram, berarti dalam empat bulan bisa mendapatkan Rp8 juta karena bisa delapan kali panen dengan hasil rata-rata 50 kilogram setiap panen," kata Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) "Margo Sugih" Desa Kalijaran itu.
Menurut dia, hitungan tersebut dengan asumsi hasil panen padi maupun cabai dalam kondisi kurang bagus.
Bahkan, kata dia, biaya produksi budi daya cabai juga jauh lebih murah jika dibandingkan dengan tanaman padi.
Ia mengatakan jika petani menggunakan pupuk dan obat-obatan kimia, biaya produksinya kurang lebih Rp2 juta untuk satu musim tanam selama empat bulan.
"Jika petani harus mengeluarkan biaya sewa lahan, ongkos perawatan, dan sebagainya, total biaya produksinya kurang lebih Rp4 juta, berarti dari pendapatan sebesar Rp8 juta, keuntungan yang masih didapat sekitar Rp4 juta," katanya.
Terkait dengan hal itu, Priyatno mengajak petani anggota Gapoktan "Margo Sugih" yang sawahnya tidak terjangkau jaringan irigasi teknis (sawah tadah hujan,) untuk mengembangkan budi daya hortikultura khususnya komoditas cabai.
Kendati demikian, dia mengingatkan agar budi daya cabai dilakukan pada waktu yang tepat, sehingga tidak terlalu terpengaruh oleh fluktuasi harga komoditas itu.
"Jangan sampai pas harga cabai sedang tinggi, ramai-ramai tanam cabai karena bisa jadi ketika panen, harganya sudah turun karena banyak pasokan," katanya.
Dia juga menyarankan petani sawah tadah hujan di Desa Kalijaran untuk mulai tanam komoditas hortikultura pada musim kemarau tahun ini dengan memanfaatkan air dari rumah pompa air tanah bertenaga surya yang sudah terpasang di wilayah itu.
"Kalau mau tanam hortikutura terus, ya tidak masalah. Mau bergantian setelah dua kali tanam padi kemudian hortikultura juga tidak apa-apa," kata Priyatno.
Sementara itu, salah seorang anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) "Trubus" Desa Kalijaran, Jumiati mengaku saat sekarang tengah mengembangkan tanaman cabai secara organik di sawah tadah hujan miliknya.
Secara kualitas, kata dia, kesegaran cabai yang dibudidayakan secara organik dapat bertahan lebih lama jika dibandingkan dengan cabai yang menggunakan pupuk kimia.
"Kemarin saya petik cabai yang dibudidayakan secara organik dan selanjutnya saya diamkan di rumah. Hingga empat hari, cabai itu tidak kusut, tetap segar, padahal tidak saya masukkan ke dalam 'freezer'," kata dia yang juga anggota Gapoktan "Margo Sugih".
Terkait dengan hal itu, dia akan mengajak anggota KWT "Trubus" lainnya untuk budi daya komoditas hortikultura khususnya cabai secara organik terutama di sawah-sawah tadah hujan.
Ke depan, Jumiati juga akan mencoba membuat pupuk organik sendiri dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia di desanya.