Semarang (ANTARA) - Ketua Yayasan Borobudur Marathon (BorMar) Liem Chie An tak pernah menyesali datangnya wabah COVID-19, yang menjadikan lomba lari bergengsi Borobudur Marathon selama 2 tahun terakhir ini tidak semegah dan sekolosal dulu.
Sebaliknya, bagi Liem, pandemi malah mengajarkan untuk lebih mensyukuri dan mengasah diri untuk melahirkan ide-ide kreatif karena COVID-19 dialami hampir semua negara.
''Saya tak gela (menyesal) dan menganggap pandemi sebagai tantangan untuk mengatakan 'Ya' atau 'Tidak' dalam mempertahankan agar event ini tetap eksis. Saya bersyukur, berkat dukungan semua lini, mulai Pemprov Jateng, Bank Jateng, TNI/Polri, instansi kesehatan, Kompas, dan unsur lainnya, Borobudur Marathon tetap berjalan dengan inovasi brilian pada saat event-event lain terpaksa tiarap,'' kata Liem Chie An dalam siaran pers yang dibagikan Panitia BorMar 2021, Rabu.
Dia tak menampik BorMar telah merebut perhatian. Bukan saja dibanjiri pelari lokal dan menjadi magnet bagi para pelari luar negeri, melainkan juga masuk dalam ''Top 100 National Calendar of Events'' Kemenparekraf. BorMar telah menciptakan dampak ikutan bagi masyarakat sekitar Candi Borobudur.
Namun sejak 2020 karena hantaman pandemi, event lari prestisius ini hanya digelar di dalam kompleks Taman Wisata Candi Borobudur Magelang dengan prosedur karantina, tes swab, prokes ketat, dan tanpa penonton. Saat itu dikemas dengan sistem hybrid, yaitu offline bagi pelari elite dan virtual bagi peserta umum.
Pada penyelengaraan BorMar 2021 tanggal 27-28 November nanti, BorMar kembali menggunakan model hybrid.
Bedanya, tahun ini digeber selama 2 hari yaitu elite race (marathon) di hari pertama, dan Bank Jateng Tilik Candi (half marathon) untuk pelari umum pada hari kedua bersama start untuk peserta virtual.
''Ibarat kata, kalau orang terlibat dalam dunia usaha, selalu ada saja kendala-kendala yang dihadapi. Bagi saya ini ujian, dan tantangan. Memberi pembelajaran apakah kita bisa melewati ujian apa enggak,'' ujar pengusaha ayam ini.
Dia menyebut apa yang dirasakan dalam penyelenggaraan BorMar selama ini di luar ekspektasinya, baik ketika sebelum maupun saat pandemi COVID-19.
Ada rasa bahagia dan haru karena ternyata semua pihak, baik itu masyarakat maupun pemangku kepentingan mendukung agar event ini berlangsung sukses.
''Masyarakat Magelang ikut senang terhadap Borobudur Marathon. Dulu warga terganggu akibat jalan-jalan ditutup, acara mantenan, tapi mereka bisa menerima kok. Hasil survei Kompas, masyarakat menerima keberadaan Borobudur Marathon,'' tambah Liem.
Optimalkan 10 K
Apa rencana ke depan saat pandemi hilang? Dia tak punya mimpi muluk-muluk.
Ia hanya ingin BorMar digelar kembali saat situasi normal, yaitu menjadi ajang sport tourism, di mana orang-orang melancong ke Borobudur untuk berlari sekaligus berwisata menyaksikan eksotika candi.
Rencana ke depan, kata dia, pertama adalah mempertahankan BorMar tetap digelar 2 hari dengan alasan agar wisatawan lebih lama tinggal (long of stay) di Magelang.
Kedua, dengan durasi 2 hari penyelenggaraan BorMar, pihaknya berharap nomor favorit 10 K diadakan kembali secara offline, tak lagi model virtual. Berdasarkan pengamatannya, nomor 10 K memiliki jumlah peminat yang besar.
''Komposisinya bisa jadi sehari untuk marathon dan half marathon, sehari untuk 10 K. Soal pengaturan teknisnya bagaimana nanti panitia yang lebih memahami,'' ujarnya.
Terkait dengan obsesinya agar BorMar bisa masuk dalam World Marathon Majors seperti Tokyo, Boston, Berlin, London, Chicago dan New York Marathon? Liem Chie An menyebut susah diwujudkan. Pasalnya, WMM harus memenuhi banyak persyaratan.
''Saya sudah melihat Tokyo dan Berlin Marathon. WMM sudah menjadi brand, harus mendaftar, dan kondisi jalannya pun harus lebar untuk menampung puluhan ribu peserta dan aksesnya ditutup. Kalau menyelenggarakan, infrastrukturnya harus menunjang, ya minimal seperti jalan-jalan besar di Jakarta,'' pungkasnya. ***