Semarang (ANTARA) - Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menduga lingkungan bukan isu utama negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat mendesakkan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) di masa mendatang.
"Yang terjadi sekarang ini Eropa dan Amerika Serikat kalah bersaing dari India dan China yang mampu memproduksi dengan harga lebih murah," katanya dalam diskusi yang digelar Pertamina Patra Niaga Jawa Bagian Tengah dengan para pemimpin redaksi di Semarang, Kamis.
Ikut memberi sambutan Area Manager Communication, Relation, & CSR Pertamina Patra Niaga Jawa Bagian Tengah Brasto Galih Nugroho. Diskusi tersebut juga menghadirkan pengusaha transportasi Nugroho Arifiyanto.
Ia menjelaskan meski EBT terlihat menggunakan sumber yang berlimpah namun EBT masih memiliki kelemahan yang menyebabkan harganya lebih mahal dibanding energi fosil.
Baca juga: Peneliti sebut transformasi EBT dukung peningkatan perekonomian
Ia memberi contoh PLT angin, air, dan surya yang tidak bisa memberi pasokan secara ajeg karena sangat tergantung cuaca sehingga ketika terganggu, pilihannya kembali menggunakan PLT berbahan fosil.
Menurut dia, penggunaan energi fosil, terutama batu bara, sampai saat ini terbukti lebih murah dibanding dengan EBT sehingga memperkuat daya saing produk China dan India dalam perdagangan dunia.
Ia menjelaskan krisis minyak yang ditandai dengan melambungnya harga minyak pada 2020-2021 mendorong sejumlah negara termasuk Inggris menggunakan kembali batu bara yang harganya memang lebih murah.
"Jadi, jangan sampai kita terlindas pertarungan antargajah, di mana Asia yang diwakili China dan India dengan Eropa dan AS," katanya.
Realisasi bauran energi di Indonesia pada 2020 terdiri atas 19,16 persen gas Bumi, EBT (11,2 persen), minyak Bumi (31,6 persen), dan batu bara 38,04 persen.
Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional 2025, dengan penggunaan 400 million or mega tonnes of oil equivalent (MTOE), bauran energi ditargetkan dengan komposisi EBT 30 persen, gas 22 persen, minyak 25 persen, dan batu bara 23 persen.
Menurut dia, sebenarnya persentase EBT Indonesia saat ini (2021) sudah lebih besar dibanding AS yang hanya 12 persen, sedangkan Indonesia 14 persen.
Indonesia memiliki cadangan batu bara untuk kebutuhan hingga 60 tahun, sedangkan minyak Bumi ada kecenderungan menurun stagnan dibandingkan dengan kebutuhan domestik.
Kebutuhan konsumsi minyak dalam negeri setiap hari sekitar 1,5 juta barel, sementara produksinya hanya sekitar 700 ribu barel sehingga sisanya harus impor.
Sementara itu, katanya, produksi batu bara Indonesia setiap tahun sekitar 600 juta ton, 140 juta ton dikonsumsi dalam negeri dan sisanya diekspor.
Meski kebijakan EBT terus dijalankan, menurut dia, hal itu tidak bisa meniadakan keberadaan sumber energi berbahan fosil. "EBT sifatnya komplementer, bukan meniadakan energi berbahan fosil," katanya.
"Jangan sampai euforia EBT menjadikan energi fosil telantar gara-gara kita belum siap. Dua-duanya harus jalan, tidak bisa saling meniadakan," katanya.
Mengutip Kurva Kuznets, Komaidi menjelaskan ekonomi hijau (green economy) lebih cocok diterapkan di negara-negara dengan pendapatan per kapita 50.000 dolar AS.
"Kita baru 3.500-4.000 dolar AS. Apakah kita mau disepadankan dengan negara-negara maju?" katanya.
Di tempat sama pengusaha transportasi Nugroho menyatakan sudah saatnya pemerintah mengurangi subsidi BBM.
"Rakya jangan terlalu dininabobokan dengan subsidi. Jangan terlalu lama digendong, nanti malah tidak bisa berjalan," katanya.
Menurut dia, dalam situasi seperti sekarang, yang dibutuhkan adalah ketersediaan BBM, bukan harga murah namun barangnya sulit diperoleh.
Baca juga: Wakil Ketua MPR: Segerakan pemanfaatan energi baru terbarukan