Semarang (ANTARA) - Lirik lagu Kolam Susu milik grup Koes Plus yang dirilis pada tahun 1973 seyogianya tidak sekadar susunan kata sebuah nyanyian, tetapi mengilhami sekaligus spirit anak bangsa untuk mewujudkan ketahanan pangan.
Saking suburnya tanah di Nusantara, Koes Plus yang merupakan sebuah grup musik legendaris Indonesia menggambarkannya dalam lagu tersebut.
Dua penggal lirik Kolam Susu: orang bilang tanah kita tanah surga dan tongkat kayu dan batu jadi tanaman menggambarkan betapa subur dan kaya bangsa Indonesia.
Peneliti urban farming dan biologi lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Dian Armanda pernah membandingkan dengan negara subtropis, seperti Amerika dan Eropa, tanah di Indonesia lebih subur, ditambah lagi sinar matahari dan air pun melimpah sepanjang tahun.
Bahkan, kata Dian yang juga pendiri start up CitiGrower, inisiatif urban farming berbasis digital, beragam tanaman bisa tumbuh di negeri ini. Anugerah Tuhan sebagai negara megabiodiversity (keanekaragaman hayati besar).
Sementara itu, di negara subtropis kegiatan bercocok tanam membutuhkan sumber daya yang lebih besar. Tanpa rekayasa teknik, berkebun hanya bisa dilakukan pada musim panas saja. Bahkan, tanaman juga memerlukan perawatan ekstra.
Bertambah Cuan
Kondisi alam di Tanah Air sangat mendukung untuk berkebun dengan memanfaatkan lahan perkarangan dan ruang-ruang potensial di rumah sebagai kebun urban yang bakal menambah cuan (untung).
Tidak saja hasil panennya bisa untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, tetapi juga punya peluang untuk menambah penghasilan di tengah pandemi Coronavirus Disease (COVID-19).
Usaha yang berhubungan dengan tanah pertanian atau agrobisnis ini, kata Dian Armanda, merupakan salah satu usaha yang tetap menjanjikan pada masa pandemik ini.
Saat lapangan usaha lain mengalami penurunan, lanjut kandidat doktor dari Institute of Environmental Science, Leiden University, Belanda ini, pertanian justru mengalami penaikan sangat signifikan.
Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) menurut lapangan usaha pada Triwulan II 2020 atau pada saat wabah virus corona mulai melanda Indonesia, sektor pertanian ternyata masih menjadi kekuatan ekonomi di Tanah Air. Malah mengalami pertumbuhan positif, bahkan tertinggi dengan pertumbuhan PDB dengan persentase sebesar 16,24.
Pada periode yang sama, infokom sekitar 3,44 persen dan pengadaan air 1,28 persen. Sektor lainnya mengalami pertumbuhan negatif, misalnya real estate mencatat minus 0,26 persen, jasa pendidikan (-0,68 persen), industri (-6,49 persen), dan perdagangan (-6,71 persen).
Jika mengacu data Badan Pusat Statistik terkait dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan I 2021, khususnya pertumbuhan PDB menurut lapangan usaha (y-on-y), hanya pertanian yang mengalami pertumbuhan positif, yakni sebesar 2,95 persen.
Adapun lainnya, seperti pertambangan dan penggalian mengalami pertumbuhan negatif, yakni minus 2,02, industri pengolahan (-1,38), konstruksi (-0,79), perdagangan dan reparasi (-1,23) persen, dan lainnya (-0,52 persen).
Hal itu menunjukkan bahwa agrobisnis sesuatu yang sangat menjanjikan pada era pandemik ini dalam posisi apa pun, baik produsen/grower/petani, pengolah, distributor, maupun retailer.
Dengan komoditas apa pun, kata Dian, agrobisnis merupakan peluang usaha yang menjanjikan, baik hasil tani (sayuran), olahan hasil tani (makanan olahan), alat dan bahan-bahan pertanian, maupun jasa pertanian.
Begitu pula terkait dengan urban farming, pertanian perkotaan ini berpotensi mendukung perbaikan ekologi, nilai edukasi, estetika, dan ekonomi, terbukti mendukung ketahanan pangan 200 juta sampai 400 juta petani urban dunia.
Nilai tambah
Ketika melihat peluang pada masa pademik COVID-19, tanaman apa yang bernilai cuan? Apalagi, kalau ditanam secara organik.
Peneliti urban farming Dian Armanda lantas menyebutkan jenis sayuran, seperti kale, tomat, selada untuk burger/salad, cabai, kelor, katuk, dan cincau.
Terkait dengan harga cabai di pasaran, khususnya cabai rawit, di sejumlah derah di Tanah Air menjelang Lebaran 2021 sempat menembus harga ratusan ribu rupiah. Bahkan, di Jayapura dan sekitarnya, setelah Lebaran masih masih bertahan pada kisaran Rp200 ribu per kilogram.
Sebelumnya, kata Fatimah, pedagang di Pasar Hamadi Jayapura, Papua, Sabtu (22/5), pada tanggal 17 Mei 2021 sempat mencapai Rp250 ribu/kg seiring dengan persediaan menipis.
Pada hari yang sama, Senin (17/5), harga cabai di Pasar Legi Solo (Surakarta), Jawa Tengah turun, salah satunya cabai rawit dari Rp45 ribu/kg menjadi Rp35 ribu/kg.
Penurunan harga komoditas itu, menurut pedagang Ngatinem di Pasar Legi Solo, Senin (17/5), karena hampir seluruh jenis cabai mengalami penurunan harga seiring dengan berkurangnya tingkat konsumsi masyarakat.
Selain itu, cabai merah besar turun harga dari Rp35 ribu—Rp40 ribu/kg menjadi Rp26 ribu/kg, cabai merah turun dari Rp30 ribu/kg menjadi Rp22 ribu/kg, cabai rawit hijau dari Rp30 ribu/kg menjadi Rp25 ribu/kg, dan cabai hijau besar dari Rp25 ribu/kg menjadi Rp22 ribu/kg.
Lepas dari fluktuasi harga barang dagangan tersebut, jika masyarakat Indonesia senang berkebun, bakal mendatangan cuan.
Jenis buah yang bisa ditanam di pekarangan rumah sekaligus menambah cuan, seperti murbei, mangga, dan rambutan.
Selain itu, perkarangan juga bisa ditanam aneka jenis rempah (herbs) seperti mint, basil, rosemary, oregano, dan peterseli. Berikutnya, tanaman obat seperti jahe, kunyit, dan kencur.
Untuk jenis bunga, seperti telang dan edible flower atau bunga yang dapat dimakan sebagai sayuran, bahkan dapat pula dipakai sebagai herbal.
Panen urban farming biarpun sedikit bisa diolah jadi produk eksklusif yang punya pasar khusus.