Semarang (ANTARA) - Belanja untuk keperluan Lebaran secara berlebihan tidak dibenarkan oleh ajaran Islam karena tuntunan yang benar agar ibadah puasa sempurna, yakni dengan menunaikan zakat, infak, sedekah, wakaf, hingga hibah.
"Itu yang harus dipenuhi dulu. Setelah itu baru berbelanja sesuai kebutuhan merayakan Lebaran, bukan sesuai keinginan," kata Wakil Ketua Umum MUI Jawa Tengah Prof. Dr. KH Ahmad Rofiq, M.A. pada Trinning of Trainner (TOT) tentang bersosialisasi “Belanja Bijak Menjelang Lebaran 1441 Hijriah”.
TOT yang dibuka Ketuan Umum MUI Jawa Tengah Dr. K.H. Ahmad Darodji, M.Si, diselenggarakan di Ruang Suwelagiri, Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Jateng, Selasa (19/5/2020), dalam upaya menekan kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat menjelang Lebaran.
Tampil pula sebagai narasumber Ketum MUI Jateng Ahmad Darodji dan Kepala Group Advisory dan Pengembangan Ekonomi Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jawa Tengah Iss Savitri Hafid.
TOT diikuti para ulama dan ustaz di Jateng. TOT ini, kata Iss Savitri Hafid, sebagai edukasi mengendalikan inflasi dan imbauan untuk berkonsumsi secara bijak di saat Lebaran.
“Kita gunakan pendekatan agama untuk edukasi ini,” tegasnya.
Prof. Rofiq menegaskan agar dapat memenuhi semua kebutuhan penyempurnaan puasa dan Lebaran, umat Islam harus pandai mengatur belanja karena dalam waktu bersamaan, Islam memerintahkan untuk menyiapkan tabungan dunia dan akhirat.
"Tabungan dunia karena kita diperintahkan berbuat untuk urusan dunia seakan hidup selamanya dan berbuat urusan akhirat, kita diperintahkan bersungguh-sungguh, seakan-akan akan mati besok pagi," katanya.
“Mari kita taati Firman Allah dalam Qur’an Surat Al-Furqon ayat 67, agar kita selamat dan tidak termasuk golongan orang-orang yang memubazirkan barang karena pemborosan adalah bagian dari sikap dan bersaudara dengan setan,” pintanya.
Sebelumnya, Ketum MUI Jateng K.H. Darodji menengarai iming-iming diskon dalam situasi Lebaran berpotensi memicu orang untuk memborong barang-barang, meski kadang barang tersebut tidak diperlukan.
Masyarakat tergiur hanya karena harga murah. Padahal, diskon seperti itu hanya sebagai pancingan agar barang-barang yang terbeli semakin banyak.
“Pada gilirannya pengusaha tidak pernah rugi dengan penawaran diskon seperti itu, maka masyarakat perlu waspada, karena cara memborong seperti itu akan memicu inflasi sehingga nilai mata uang kita makin berkurang,” tegasnya.
Baca juga: MUI Jateng keluarkan tuntunan Shalat Id di rumah
Baca juga: MUI Jateng ajak masyarakat Shalat Id di rumah
Di sisi lain, harga-harga kebutuhan Lebaran yang naik tajam sebagai penyebab inflasi. Ketika Lebaran berakhir, harga barang turunnya tidak bisa normal. Misalnya saat lebaran harga naik Rp25, maka usai Lebaran penurunan tidak sebesar Rp25, tetapi hanya Rp20. Hal ini yang memicu inflasi.
“Belanjalah kebutuhan Lebaran seperlunya tidak perlu berlebihan,” saran K.H. Darodji.
Kepala Perwakilan BI Jateng Suko Wardoyo menegaskan makin besar inflasimaka semakin rugi karena nilai tukar rupiah menyusut.
Bila sebelum inflasi gaji cukup untuk kebutuhan hidup karena inflasi akhirnya menjadi tidak cukup. Maka inflasi harus dikendalikan agar nilai uang tidak susut dicuri inflasi.
Menurut Sukjo Wardoyo, ada lima penyebab inflasi, antara lain gangguan produksi, kenaikan biaya produksi, distribusi yang tidak lancar, konsumsi masyarakat yang naik, serta ekspektasi harga.
Kepala Group Advisory dan Pengembangan Ekonomi KPw BI Jateng Iss Savitri Hafid menegaskan inflasi berpotensi memperbanyak angka kemiskinan, akibat nilai rupiah merosot dan tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga.
Kemiskinan akibat inflasi kini dapat melanda masyarakat umum seperti 1998 saat krisis ekonomi. Maka, BI sekuat tenaga menekan laju inflasi antara lain lewat pengetatan suku bunga perbankan.
Misalnya di awal Ramadan ini, katanya, diwarnai krisis pasokan gula pasir sehingga memicu kenaikan inflasi. Salah satu cara mengatasinya dengan dilakukan operasi pasar hingga harga menjadi normal kembali.(Kom)
Baca juga: MUI minta ketegasan pemerintah soal situasi COVID-19