Semarang (ANTARA) - Praktisi dan pemerhati sektor transportasi logistik Bambang Haryo Soekartono menilai Kementerian Perhubungan Republik Indonesia lamban dalam mengevaluasi dan menetapkan tarif angkutan penyeberangan sehingga tidak sesuai dengan kebijakan Presiden Joko Widodo dalam memberikan pelayanan perizinan dengan cepat kepada masyarakat.
Usulan evaluasi tarif sama seperti perizinan karena menyangkut pelayanan publik, Presiden Jokowi sudah memberikan batas perizinan maksimal tiga jam, tapi kenyataannya bertele-tele hingga 1,5 tahun ditambah birokrasinya panjang karena sekarang melibatkan tiga instansi yakni Kemenhub, Kemenko Maritim dan Investasi, serta Kementerian Hukum dan HAM," katanya melalui siaran pers yang diterima Antara di Semarang, Sabtu.
Ia menyebutkan Kemenhub melanggar aturannya sendiri yakni Keputusan Menhub Nomor KM 58 Tahun 2003 tentang Mekanisme Penetapan Dan Formulasi Perhitungan Tarif Angkutan Penyeberangan, yang menyatakan evaluasi tarif harus dilakukan setiap enam bulan sekali.
Menurut dia, berlarut-larutnya evaluasi tarif menunjukkan Kemenhub kurang peduli terhadap kondisi angkutan penyeberangan dan perintah percepatan perizinan yang disampaikan Presiden Jokowi.
Pada era orde baru, lanjut Bambang Haryo, birokrasi evaluasi tarif dipangkas dengan menghilangkan mekanisme melalui DPR RI sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No.21/1992 tentang Pelayaran yang diperkuat dengan PP No.82/1999 tentang Angkutan di Perairan, yang menyebutkan penetapan tarif cukup melalui Menhub.
"Jadi birokrasi tarif yang panjang dan bertele-tele saat ini merupakan suatu kemunduran, tidak sesuai dengan jargon Presiden memangkas hambatan usaha dan birokrasi," tegasnya.
Selain itu, ia menyebut Kemenhub bukan hanya menunda penetapan tarif, melainkan juga mencicil kenaikan tarif angkutan penyeberangan selama tiga tahun kedepan, padahal perhitungan tarif sudah sangat transparan karena pendapatan dari penjualan tiket langsung diketahui oleh pemerintah melalui PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).
"Sebagai sarana (alat angkut) sekaligus prasarana publik yang super massal, angkutan penyeberangan sangat vital karena tidak tergantikan oleh moda lain. Oleh karena itulah harus dilindungi oleh negara agar kondisi usaha kondusif demi menjamin keberlangsungan angkutan antarpulau serta keselamatannya," katanya.
Menurut Bambang Haryo, dampak kenaikan tarif sebenarnya tidak signifikan terhadap harga barang yang diangkut sehingga tidak perlu dikhawatirkan.
Ia mengungkapkan kondisi angkutan penyeberangan saat ini sangat memprihatinkan karena banyak perusahaan yang kesulitan keuanga, baik untuk membayar gaji maupun cicilan tagihan.
"Beberapa perusahaan terpaksa dijual ke investor baru karena tidak sanggup lagi menanggung beban. Ini akibat pemerintah kurangnya perhatian pemerintah, yang selalu menunda-nunda kenaikan tarif," ujarnya.
Oleh karena itu, bertele-telenya masalah tarif ini membuktikan Kemenhub tidak paham tentang pentingnya angkutan penyeberangan dan tidak peduli dengan konsep kemaritiman yang menjadi jargon Presiden Jokowi.
"Kemenhub lebih memperhatikan transportasi darat daripada kemaritiman. Ini sangat disesalkan, padahal 'the real' tol laut itu adalah penyeberangan, bukan seperti kapal tol laut yang sekarang tidak menentu jadwalnya," pungkasnya.