Purwokerto (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus berupaya menyosialisasikan mekanisme pengaduan masalah sebagai upaya melindungi konsumen sektor jasa keuangan, kata Deputi Direktur Pembelaan Hukum Perlindungan Konsumen OJK Sabar Wahyono.
"Kami menghadapi masyarakat yang menggunakan produk-produk itu kan kadang-kadang ada persoalan yang macam-macam, mungkin konsumennya tidak tahu, makanya harus ada edukasi. Yang banyak itu, mereka punya permasalahan kemudian ke mana mereka mengadu," katanya di sela kegiatan Sosialisasi Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat.
Ia mengatakan ada tahapan ketika konsumen menghadapi masalah di antaranya melalui internal dispute resolution (IDR), yakni musyawarah lebih dulu dengan pelaku usaha jasa keuangannya (PUJK) seperti bank atau lembaga pembiayaannya.
Baca juga: Masyarakat diimbau kenali fintech sebelum ajukan pinjaman
"Baru nanti kalau tidak mencapai sepakat, ada pilihannya, mau ke OJK boleh, mau ke LAPS (Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa) boleh, mau ke pengadilan boleh," jelasnya.
Akan tetapi jika mengadu ke OJK, kata dia, tidak semuanya bisa terima karena ada batasannya, antara lain sengketanya harus sengketa perdata, bukan sengketa pidana.
Selain itu, lanjut dia, konsumen juga harus melakukan IDR lebih dulu karena jika belum melakukannya, tidak akan diterima oleh OJK.
"Kemudian ada batasannya, kalau perkara pasar modal, perbankan, penjaminan, asuransi jiwa maksimum nilainya Rp500 juta, tetapi kalau asuransi kerugian umum itu Rp750 juta," katanya.
Wahyono mengakui kadang-kadang ada konsumen yang mengadu ke OJK meskipun permasalahannya sedang ditangani oleh pengadilan.
Menurut dia, hal itu tidak boleh dilakukan karena dikhawatirkan akan ada dua putusan yang bisa jadi berbeda.
Lebih lanjut, dia mengatakan pihaknya ingin menginformasikan kepada konsumen bahwa selain ke pengadilan, ada lembaga lain yang bisa menyelesaikan permasalahan tersebut, yakni LAPS.
Saat sekarang di sektor jasa keuangan ada enam LAPS, yakni badan Mediasi Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP), Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (BAMPPI), serta Badan Mediasi Pembiayaan Pegadaian dan Ventura Indonesia (BMPPVI).
"Jadi, silakan konsumen tidak harus ke pengadilan, boleh ke LAPS ini," katanya didampingi Kepala Kantor OJK Purwokerto Sumarlan.
Baca juga: OJK mulai Gerakan Menabung Nasional
Ia mengatakan ke depan, pemeriksaan yang dilakukan OJK tidak hanya berkaitan dengan prudensial atau tingkat kesehatan bank karena sekarang ada pengawasan market conduct yang meliputi perilaku PUJK kepada konsumen, cara pemasarannya, cara memberitahu konsumen terkait dengan informasi yang harus diketahui konsumen, dan sebagainya.
Menurut dia, OJK telah menerbitkan peraturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, yakni Peraturan OJK Nomor 1 Tahun 2013.
"Peraturan ini khusus tentang market conduct. Dia mengatur bagaimana bank itu mendesain produknya, bagaimana dia harus menyampaikan informasinya, terus bagaimana dia menangani pengaduan konsumennya. Ada sanksinya ketika PUJK tidak melaksanakan ketentuan ini, macam-macam sanksinya, mulai dari peringatan tertulis, denda, bahkan sampai pencabutan izin usaha," katanya.
Sementara itu, Kepala Kantor OJK Purwokerto Sumarlan mengatakan kegiatan sosialisasi merupakan salah satu pelaksanaan fungsi OJK dalam hal perlindungan konsumen.
"Jadi hari ini (20/9) ada perbankan, nonbank, asuransi, BPJS, perwakilan dari pengadilan yang kita pertemukan agar paham seperti apa yang harus dilakukan dalam perlindungan konsumen," katanya.
Kendati demikian, dia mengakui jika di wilayah Kantor OJK Purwokerto belum ada perwakilan LAPS karena semuanya masih terpusat di Jakarta.
Disinggung mengenai pengaduan yang ditangani Kantor OJK Purwokerto, dia mengatakan pada tahun 2018, pihaknya menerima sekitar 980 permohonan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK sebelumnya dikenal dengan sebutan BI Checking, red.).
"Sementara pada 2019 hingga September sudah ada sekitar 1.100 permohonan SLIK, sedangkan untuk pengaduan tertulisnya selama tahun ini sudah ada 54 pengaduan," katanya.
Menurut dia, dari 54 pengaduan tertulis tersebut, sebanyak 27 pengaduan berkaitan dengan bank umum konvensional, dua pengaduan berkaitan dengan bank umum syariah, sedangkan sisanya berkaitan dengan PUJK lainnya.
Baca juga: OJK: Industri fintech di Indonesia berkembang pesat