Magelang (ANTARA) - "Titi Mangsa", judul film karya talenta-talenta muda Magelang yang sangat potensial pada masa yang akan datang.
Film ini berkisah tentang akhir masa perjuangan Pangeran Diponegoro pada 1830. Kisahnya diambil dari Babad Diponegoro yang ditulis langsung oleh Sang Pangeran.
Diponegoro mengobarkan perang "Java Oorlog" atau Perang Jawa melawan kesewenang-wenangan pemerintahan kolonial Belanda yang berlangsung selama 1825-1830.
Dalam buku "Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)" karya Peter Carey disebutkan bahwa perang tersebut membuat pemerintahan negeri Belanda terancam bangkrut dan kolaps.
Tak ada cara lain, kecuali harus menghentikan perang. Berbagai cara pun digunakan oleh pemerintahan kolonial Belanda waktu itu. Dari pengepungan sampai dengan bujuk rayu dan tipu daya dilakukan rezim penjajah.
Melalui suatu perundingan di Magelang, Jenderal De Kock akhirnya dapat menangkap Pangeran Diponegoro pada 28 Maret 1830 di gedung Keresidenan Kedu, gedung bersejarah di Kota Magelang yang sering menjadi tempat acara perkawinan sekarang ini.
Atas tragedi tersebut, yang digambarkan dalam salah satu lukisan Raden Saleh, berakhir sudah perjuangan Sultan Ngabdulkamid Erucokro Amirulmukminin Sayidin Panatogomo Khalifatulloh Tanah Jowo, gelar Pangeran Diponegoro dari Keraton Yogakarta itu.
"Titi Mangsa", film dengan latar belakang waktu pada akhir 1830 tersebut, salah satu karya film yang dipandang penting untuk diapresiasi, terutama oleh publik Magelang.
Film ini dibuat oleh generasi muda dengan sepenuh hati, sepenuh dedikasi, dan semangat untuk memajukan dunia perfilman Magelang. Generasi muda yang kesehariannya akrab dengan dunia digital, teknologi informasi termasuk media sosial, seperti Youtube, Facebook, Instagram, dan lain sebagainya. Ciri khas generasi milenial era industri 4.0 yang mempunyai gaya tersendiri dalam menyikapi zamannya.
Dunia perfilman Magelang juga sangat terkait dengan keberadaan setiap generasi dan berbagai fasilitas publik perfilman semacam bioskop, serta hal lainnya sesuai era masing-masing.
Baca juga: Wali kota-ASN nonton bareng Film 22 Menit
Setiap generasi mempunyai karakteristik masing-masing yang bisa jadi tidak ditemukan oleh generasi lainnya.
Senyampang, keberadaan fasilitas pendukung perfilman semacam bioskop di Magelang juga mengalami pasang surut dalam perkembangannya.
Platinum Cineplex yang berada di Arthos Mall merupakan satu-satunya bioskop yang ada di Magelang sekarang ini.
Pada era dahulu perbioskopan di Magelang sempat mencapai masa kejayaannya dengan tumbuhnya banyak bioskop di berbagai penjuru tempat.
Mengutip majalah "Magelang Vooruit" yang terbit pada 1935, Bagus Priyana, koordinator senior komunitas kesejarahan di Magelang, menyampaikan bahwa bagi masyarakat di Kota Magelang tentu sudah tidak asing lagi dengan keberadaan bioskop.
"Sudah ada bioskop antara tahun 1910 hingga 1930-an setelah berdirinya 'Societeit de Eentracht' pada tahun 1892," tandasnya.
Bagi generasi yang lahir pada masa revolusi fisik atau pada masa setelah perang kemerdekaan, bioskop sangat populer bagi masyarakat Magelang. Salah satunya adalah Bioskop Kresna.
Bioskop Kresna dengan bentuk bangunan yang khas dan modern waktu itu, menjadi penanda akan keberadaannya, mulai beroperasi sejak 1955.
Bioskop ini menjadi tempat favorit bagi warga Magelang dan sekitarnya untuk mencari hiburan. Bioskop ini juga menjadi salah satu saksi sejarah atas perjalanan Kota Magelang selama hampir 50 tahun.
Berbagai film ditayangkan, baik film lokal, India (Bolywood), Hongkong (Mandarin), maupun Amerika (Holywood). Harga tiket yang terjangkau, membuat Bioskop Kresna selalu dipenuhi penonton.
Separuh harga untuk kalangan pelajar, cukup memakai kartu OSIS saja. Misalnya, harga tiket untuk umum Rp300 maka harga untuk pelajar bisa Rp100 hingga Rp150. Benar-benar murah meriah untuk ukuran saat itu. Terlebih dalam sehari ada beberapa kali jam tayang, di mana pada akhir pekan ada tambahan jam tayang khusus "midnight".
Keramaian masyarakat dalam menonton film di bioskop, hal itu bahkan dimanfaatkan oleh para calo karcis untuk mendapatkan keuntungan. Caranya, karcis seharga Rp300 dijual kembali kepada calon penonton yang tidak kebagian karcis menjadi Rp325 hingga Rp350, tergantung dari jenis filmnya.
Banyak juga pedagang kecil yang ikut mengais rejeki di sekitar bioskop. Selain parkir, ada yang berjualan obat, nomor buntut, makanan kecil, warung, dan lainnya.
Bioskop Kresna mampu menjadi daya tarik tersendiri dan memberi rejeki bagi sebagian kalangan masyarakat sekitarnya.
Saat era kejayaan perfilman di Kota Magelang, Bioskop Kresna tidaklah sendiri menghibur masyarakat melalui tayangan layar lebarnya. Sekarang semua bioskop tersebut sudah tutup, dan beberapa bangunan bioskopnya mangkrak.
Di sebelah utara ada Bioskop Rahayu (dahulu Roxy dan Abadi) yang sekarang Gardena Swalayan, ada Magelang dan Tidar Theater yang sekarang mangkrak dan kurang jelas untuk apa pemanfaatan bangunan ke depannya. Padahal lokasinya strategis di pusat Kota Magelang.
Bioskop Bayeman di Jalan Tentara Pelajar Bayeman, ada juga Bioskop Globe atau Bima di kawasan Pasar Ampera di Jalan Tidar yang sekarang menjadi kantor Bank Niaga.
Bahkan, jauh sebelumnya, pada zaman Belanda ada Bioskop Roxy dan Al Hambra di Panti PERI di Botton. Bioskop Merapi yang ada datanya tetapi hingga saat ini belum terlacak lokasinya di mana.
Kesemuaannya itu tinggal menjadi kenangan di benak masyarakat Kota Magelang dan sekitarnya. Bisa jadi karena kemajuan zaman dengan kemunculan televisi swasta pada awal 1990-an dan era digital dengan internet serta media sosial sekarang ini, membuat dunia perfilman lewat industri perbioskopan di Kota Magelang semakin surut
Peranan penting Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Magelang sebagai produser Film "Titi Mangsa" menunjukkan bahwa unsur pemerintah daerah setempat menjadi salah satu tonggak penting dalam usaha menghidupkan lagi dunia perfilman, khususnya di Magelang.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Magelang Sugeng Priyadi menyampaikan bahwa film salah satu media untuk memberikan informasi dan pengetahuan tentang berbagai hal, termasuk tentang sejarah.
Dalam sejarah terdapat nilai nilai yang bisa diambil hikmah dan dijadikan suri teladan bagi masyarakat, baik secara pribadi (individu) maupun kelompok yang lebih luas (negara).
Melalui Film "Titi Mangsa" ini, diharapkan masyarakat mengetahui tentang bagaimana peristiwa sejarah. Masyarakat bisa menyerap nilai-nilai kejuangan, kepeloporan, patriotisme, dan mengambil sisi-sisi positif lainnya dalam kaitan dengan wawasan kebangsaan serta kenegaraan.
"Berbagai potensi sosial ekonomi maupun budaya bisa menjadi sarana meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perfilman merupakan sektor yg cukup strategis untuk memberikan ruang ekspresi bagi masyarakat, sekaligus wahana mendidiknya," ucap dia.
Diharapkan perfilman di Magelang dapat terus tumbuh dan berkembang secara positif, antara lain menyangkut sisi konten, penyajian, kualitas, dan kuantitasnya, kemampuan bersaing, menarik untuk dinikmati dan diminati.
Lebih dari itu, film dengan sutradara Andika John Manggala dari Pandora Film ini, menyajikan tontonan yang bernilai sejarah, sedangkan hampir semua penggawa produksi dipenuhi dari talenta talenta yang menjanjikan untuk regenerasi pada masa yang akan datang.
Lajang milenial yang sering dipanggil dengan sebutan John ini merupakan alumnus Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Bengkel Seni Universitas Tidar Magelang. Ia sejak mahasiswa sudah bergelut sebagai pelaku langsung dalam dunia seni pertunjukan dan seni perfilman, khususnya.
Penggagas Magelang Film Festival (Maffest) ini juga mendirikan Sekolah Sadar dan WeARE Ecosystem, yaitu suatu grup kreatif yang juga berkait secara langsung dengan dunia kreatif di bidang seni film dan audio visual.
Pemeran utama (Pangeran Diponegoro) dalam Film "Titi Mangsa" yang terinspirasi dari salah satu penggalan sejarah perjuangan Diponegoro ini, adalah Roni Sodewo.
Roni, nama akrabnya, yang juga Ketua Patra Padi (Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro), keturunan langsung yakni trah ke-7 Pangeran Diponegoro dari garis Sodewo.
Dengan keterbatasan dalam proses pembuatan Film "Titi Mangsa", hal itu tak membuat segenap penggawa karya tersebut patah semangat.
Dengan talenta talenta generasi milenial yang akrab dalam dunia digital dan media sosial, mereka menjembatani penyelesaian tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam proses karya film itu, melalui gaya khas generasi baru.
Pemutaran perdana film yang akan diadakan di salah satu hotel berbintang di Kota Magelang pada Senin (16/9), sudah diantre oleh ratusan calon penonton yang bakal menyaksikan dan mengapresiasi "Titi Mangsa". Dari 700-an kursi yang disediakan penyelenggara, ibaratnya hanya tinggal satu dua yang lowong.
Boleh jadi Film "Titi Mangsa" garapan milenial Magelang ini, menjadi tanda waktu perfilman Kota Magelang mendapatkan tempatnya kembali. Tentunya dengan wajah baru, sesuai zamannya. (hms)
*) Muhammad Nafi, Koordinator Komunitas Pinggir Kali Kota Magelang, Sekretaris Dewan Kesenian Kota Magelang (2010-2014), dan Ketua Forum Komunikasi Media Tradisional (FK-Metra) Kota Magelang (2016-2019).
Baca juga: Film Pendekar Inspiratif diputar pertama di Kota Magelang
Baca juga: Film "Sultan Agung" bangkitkan ingatan sejarah
Berita Terkait
Mandy Marahimin ajak sineas muda Semarang ramaikan industri perfilman
Minggu, 19 November 2023 6:26 Wib
Festival film folklor diharapkan tumbuhkan ekosistem perfilman Kudus
Senin, 28 Agustus 2023 11:19 Wib
Potensi film di Indonesia luar biasa, kata Bekraf
Rabu, 25 September 2019 22:26 Wib
"Hit and Run" masuk 10 besar film laga terbaik di China
Selasa, 30 Juli 2019 14:17 Wib
Tiga poin penting majukan industri perfilman,menurut sineas Nigeria
Kamis, 8 November 2018 10:18 Wib
Pemerintah buka kolaborasi perfilman dengan berbagai negara
Senin, 15 Oktober 2018 15:18 Wib
Dubes: Potensi perfilman Indonesia di India sangat besar
Senin, 15 Oktober 2018 9:17 Wib
Iko Uwais buktikan prestasinya di perfilman internasional
Selasa, 21 Agustus 2018 9:39 Wib