PPPA: Cegah Perkawinan Anak Memutus Rantai Kemiskinan
Semarang, ANTARA JATENG - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menegaskan pencegahan perkawinan anak merupakan salah satu cara efektif memutus mata rantai kemiskinan.
"Lingkaran setan kemiskinan bisa diputus dengan mencegah perkawinan anak," kata Deputi Menteri PPPA Bidang Tumbuh Kembang Anak Lenny N Rosalin di Semarang, Senin.
Hal tersebut diungkapkannya usai pencanangan Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak di Semarang yang berlangsung di Gedung Gradhika Jawa Tengah, Semarang.
Lenny menjelaskan risiko yang ditimbulkan dari perkawinan anak sangat banyak, mulai aspek pendidikan yang menyebabkan program wajib belajar 9 tahun tidak tercapai dengan banyaknya anak putus sekolah.
"Anak kan jadi `drop out` (DO) dari sekolah, wajib belajar tidak tercapai. Memengaruhi nilai indeks pembangunan manusia (IPM) karena salah satu komponennya pendidikan," katanya.
Dari aspek kesehatan, kata dia, usia anak belum cukup untuk proses reproduksi yang membuat berisiko terjadinya komplikasi, perdarahan, hingga kematian ibu melahirkan (AKI).
Belum dari kesehatan anak yang dikandung dan dilahirkannya, lanjut dia, sebab kondisi si ibu yang masih usia tumbuh kembang akan membuatnya "rebutan" gizi dengan anaknya, mulai gizi makro hingga mikro.
"Akan muncul anak-anak bergizi rendah, gizi kurang, stunting, dan sebagainya yang memengaruhi angka harapan hidup Indonesia yang juga jadi indikator penghitung IPM," katanya.
Dampak secara ekonomi, kata Lenny, anak-anak dengan usia dini yang sudah menikah tentunya akan kesulitan mendapatkan pekerjaan di sektor formal karena pendidikannya kurang.
"Katakanlah anak usia 10-12 tahun, itu kan belum atau baru lulus SD, kemudian menikah. Apakah bisa memperoleh pekerjaan formal. Pasti kan dapatnya informal," katanya.
Dengan pekerjaan di sektor informal berbekal pendidikan rendah, kata dia, tidak mungkin bisa mengharapkan penghasilan tinggi sehingga mempengaruhi tingkat ekonomi dan daya beli.
Pada akhirnya, kata dia, perkawinan anak itu juga bermuara semakin membuat panjang rantai kemiskinan karena secara sumber daya manusia (SDM) tidak mampu bersaing.
Oleh karena itu, kata dia, perkawinan anak harus dicegah karena memiliki dampak yang "multiplier", sekaligus sebagai salah satu cara efektif memutus mata rantai kemiskinan.
Namun, diakuinya pemerintah tidak bisa bekerja sendiri sehingga menggandeng berbagai pihak, mulai lembaga masyarakat, pengusaha, tokoh masyarakat, hingga media.
"Kami ingin ini menjadi gerakan bersama yang dilakukan semua komponen. Kalau ingin sehat, jangan kawin dulu. Sekolah tinggi biar nanti dapat pekerjaan bagus, penghasikan tinggi, dan seterusnya," katanya.
Sementara itu, Wakil Gubernur Jawa Tengah Heru Sudjatmoko mengakui pencegahan perkawinan anak bisa memutus mata rantai kemiskinan.
Anak-anak, kata dia, terutama dari keluarga tidak mampu harus sekolah dulu dan jangan buru-buru dinikahkan, seban porsinya ternyata lebih banyak terjadi di desa ketimbang kota.
"Ngatasi kemiskinan, ya, harus dari pendekatan mikro, seperti perkawinan anak harus dicegah, masyarakat harus berkeluarga nerencana (KB)," katanya.
Heru mengakui pemerintah memang tidak bisa bekerja sendiri sehingga membutuhkan peran serta berbagai pihak, seperti lembaga masyarakat.
"Ada kelompok PKK, Muslimat NU, Aisyiyah, dan sebagainya. Kemudian, peran rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) untuk pendekatan kepada warga," pungkasnya.
"Lingkaran setan kemiskinan bisa diputus dengan mencegah perkawinan anak," kata Deputi Menteri PPPA Bidang Tumbuh Kembang Anak Lenny N Rosalin di Semarang, Senin.
Hal tersebut diungkapkannya usai pencanangan Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak di Semarang yang berlangsung di Gedung Gradhika Jawa Tengah, Semarang.
Lenny menjelaskan risiko yang ditimbulkan dari perkawinan anak sangat banyak, mulai aspek pendidikan yang menyebabkan program wajib belajar 9 tahun tidak tercapai dengan banyaknya anak putus sekolah.
"Anak kan jadi `drop out` (DO) dari sekolah, wajib belajar tidak tercapai. Memengaruhi nilai indeks pembangunan manusia (IPM) karena salah satu komponennya pendidikan," katanya.
Dari aspek kesehatan, kata dia, usia anak belum cukup untuk proses reproduksi yang membuat berisiko terjadinya komplikasi, perdarahan, hingga kematian ibu melahirkan (AKI).
Belum dari kesehatan anak yang dikandung dan dilahirkannya, lanjut dia, sebab kondisi si ibu yang masih usia tumbuh kembang akan membuatnya "rebutan" gizi dengan anaknya, mulai gizi makro hingga mikro.
"Akan muncul anak-anak bergizi rendah, gizi kurang, stunting, dan sebagainya yang memengaruhi angka harapan hidup Indonesia yang juga jadi indikator penghitung IPM," katanya.
Dampak secara ekonomi, kata Lenny, anak-anak dengan usia dini yang sudah menikah tentunya akan kesulitan mendapatkan pekerjaan di sektor formal karena pendidikannya kurang.
"Katakanlah anak usia 10-12 tahun, itu kan belum atau baru lulus SD, kemudian menikah. Apakah bisa memperoleh pekerjaan formal. Pasti kan dapatnya informal," katanya.
Dengan pekerjaan di sektor informal berbekal pendidikan rendah, kata dia, tidak mungkin bisa mengharapkan penghasilan tinggi sehingga mempengaruhi tingkat ekonomi dan daya beli.
Pada akhirnya, kata dia, perkawinan anak itu juga bermuara semakin membuat panjang rantai kemiskinan karena secara sumber daya manusia (SDM) tidak mampu bersaing.
Oleh karena itu, kata dia, perkawinan anak harus dicegah karena memiliki dampak yang "multiplier", sekaligus sebagai salah satu cara efektif memutus mata rantai kemiskinan.
Namun, diakuinya pemerintah tidak bisa bekerja sendiri sehingga menggandeng berbagai pihak, mulai lembaga masyarakat, pengusaha, tokoh masyarakat, hingga media.
"Kami ingin ini menjadi gerakan bersama yang dilakukan semua komponen. Kalau ingin sehat, jangan kawin dulu. Sekolah tinggi biar nanti dapat pekerjaan bagus, penghasikan tinggi, dan seterusnya," katanya.
Sementara itu, Wakil Gubernur Jawa Tengah Heru Sudjatmoko mengakui pencegahan perkawinan anak bisa memutus mata rantai kemiskinan.
Anak-anak, kata dia, terutama dari keluarga tidak mampu harus sekolah dulu dan jangan buru-buru dinikahkan, seban porsinya ternyata lebih banyak terjadi di desa ketimbang kota.
"Ngatasi kemiskinan, ya, harus dari pendekatan mikro, seperti perkawinan anak harus dicegah, masyarakat harus berkeluarga nerencana (KB)," katanya.
Heru mengakui pemerintah memang tidak bisa bekerja sendiri sehingga membutuhkan peran serta berbagai pihak, seperti lembaga masyarakat.
"Ada kelompok PKK, Muslimat NU, Aisyiyah, dan sebagainya. Kemudian, peran rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) untuk pendekatan kepada warga," pungkasnya.