Formulasi penghitungan upah minimum kabupaten/kota (UMK) maupun upah minimum provinsi (UMP) hingga saat ini masih mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Sejak PP ini lahir, menjelang penetapan UMK maupun UMP, cukup menekan gelombang aksi pekerja/buruh di Tanah Air, beberapa tahun terakhir ini.
Namun, belakangan, tepatnya pada tanggal 15 November 2017, sekitar 1.000 buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Kota Semarang menggelar unjuk rasa di depan gerbang Kantor Gubenrur Jawa Tengah, Jalan Pahlawan Semarang. Mereka menuntut upah layak sebesar Rp2,7 juta per bulan. Mereka menilai PP tentang Pengupahan tidak relevan lagi karena penghitungannya tidak sesuai dengan kebutuhan hidup layak (KHL).
Agar penetapan UMK/UMP tidak menimbulkan gejolak di kalangan pekerja/buruh, perlu ada formula upah yang berbasis pada kinerja, masa kerja, dan pendidikan pekerja/buruh. Dengan demikian, masing-masing pekerja/buruh akan berbeda upahnya. Misalnya, dua pekerja/buruh masa kerja dan pendidikannya sama, upahnya tidak sama jika salah satu di antara mereka kinerjanya bagus.
Karena faktor kinerja ini sangat menentukan keberlangsungan hidup perusahaan, penentuan parameter ini sangat penting. Jika kurang tepat menerapkan tolok ukur kinerja pekerja/buruh, tidak akan berpengaruh terhadap pendapatan perusahaan.
Operator telepon di sebuah perusahaan, misalnya. Setidaknya yang bersangkutan mengenal produk dengan baik meski tidak secara perinci. Dengan demikian, ketika ada penelepon dari luar yang menanyakan produk perusahaan itu, dia cakap menjawabnya. Hal inilah yang menjadi salah satu tolok ukur kinerja operator telepon.
Begitu pula, pekerja/buruh yang bekerja di bidang produksi. Manajemen puncak di pabrik garmen dan tekstil, misalnya, harus menentukan target masing-masing pekerja/buruh. Dalam penetapan target, harus penuh kearifan agar tidak terkesan mereka yang berada di sektor garmen dan tekstil "kerja paksa". Namun, jangan terlalu rendah dalam penetapan target, apalagi sampai target produksi perusahaan tidak tercapai.
Jika formulasi penghitungan upah berbasis kinerja, masa kerja, dan pendidikan diterapkan di setiap perusahaan, pekerja/buruhlah yang menuntut dirinya untuk mencapai target. Apabila masing-masing pekerja/buruh mencapai atau melampaui target, dengan sendirinya pendapatan perusahaan makin meningkat dan memiliki daya saing yang kuat.