Semarang, 25/3 (Antara) - Nasib para petambak garam tradisional dari zaman ke zaman ternyata masih suram dan termarjinalkan, kata Guru Besar Sosiologi Universitas Diponegoro Semarang Prof Yety Rochwulaningsih.
"Semuanya berkembang seiring zaman, namun tidak demikian dengan nasib para petambak garam di Indonesia," katanya usai dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Undip di Semarang, Sabtu.
Yety menyampaikan pidato pengukuhan berjudul "Membongkar Ketidakadilan Struktural Dalam Usaha Garam Rakyat Melalui Perspektif Sosiologi Sejarah Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Petambak Garam dan Swasembada Garam Nasional".
Bahkan, kata dia, sejak dulu, termasuk zaman kolonial sampai sekarang para petambak garam masih termarjinalkan secara sistemik, padahal garam merupakan komoditas strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Mereka yang membuat dan menggarap garam, katanya, justru tidak menguasai lahan, sebab lahan-lahan garam di tangan tuan-tuan tanah, termasuk struktur dan mekanisme yang dibangun juga menutup akses petambak garam.
"Akhirnya, sebagian besar komunitas petambak garam hanya berperan sebagai penggarap. Pola hubungan kerja menjadi majikan-buruh yang bercorak eksploitatif kepada penggarap," kata Ketua Magister Ilmu Sejarah FIB Undip Semarang itu.
Ia mengatakan kondisi tersebut hampir terjadi di berbagai daerah yang memiliki komunitas petambak garam, termasuk yang terbesar di Pulau Madura, dan pesisir Jawa Tengah, seperti Kabupaten Pati hingga Rembang.
Undip, kata dia, selama ini telah mempelopori penelitian-penelitian yang ditindaklanjuti dengan melakukan pembinaan dan vokasi terhadap petambak garam karena akademisi tidak bisa hanya berpikir di tataran teori.
"Kami sudah melakukan `action` dengan memberdayakan petambak garam. Namun, tentunya upaya ini harus didukung oleh pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan petambak garam dan swasembada garam nasional," katanya.
Selama ini, kata dia, Indonesia masih menjadi salah satu importir garam terbesar di dunia, padahal pada zaman Belanda dulu pernah menjadi eksportir garam yang cukup diperhitungkan di perdagangan internasional.
"Sebenarnya, pemerintah sudah melakukan sejumlah upaya, seperti pengenalan teknologi karena selama ini mereka (petambak garam, red.) menggarap garam dengan cara yang turun temurun. Namun, hanya sampai di situ," katanya.
Di sisi lain, kata dia, kementerian-kementerian yang ada seperti tidak sinkron dalam keberpihakan terhadap petambak garam, seperti Kementerian Perdagangan yang mengeluarkan Permendag Nomor 125/M-DAG/Per/12/2015.
"Dalam permendag itu, tidak ada lagi kewajiban importir untuk menyerap garam rakyat sebesar kuota impor mereka. Padahal, dalam regulasi sebelumnya diwajibkan. Bagaimana garam rakyat kemudian terserap?" katanya.
Impor garam, kata Yety yang juga Ketua Pusat Studi Asia FIB Undip itu, sejauh ini memang masih dibutuhkan, tetapi produksi garam nasional harus terus disiapkan, baik kualitas maupun kuantitas garam yang dihasilkan.