Magelang, Antara Jateng - Ritual ruwat bumi yang diikuti ratusan orang dari perwakilan 17 kelurahan di Kota Magelang, Jawa Tengah, meramaikan Festival Tidar pada hari pertama, Jumat.
Ritual ruwat bumi yang berlangsung di Gunung Tidar tersebut diawali dengan prosesi peserta ritual naik ke Gunung Tidar, masing-masing perwakilan dari kelurahan membawa tumpeng beserta lauk-pauk.
Selain itu terdapat dua gunungan besar dari nasi, yakni gunungan "lanang" dan gunungan "wadon" yang dibawa para pemuda.
Setelah semua peserta sampai di puncak Gunung Tidar dengan ketinggian 506 meter di atas permukaan laut tersebut, masing-masing kelompok menaruh tumpeng di bawah tenda dan peserta mengelilingi tumpeng yang mereka bawa.
Sebelum dilakukan doa dan "kembul bujana" (makan bersama) ditampilkan tarian "caroko walik" yang ditarikan oleh lima orang perempuan.
Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Pemkot Magelang Hartoko mengatakan tarian berdurasi 18 menit ini mengandung filosofi, yakni melalui ritual tarian diharapkan semua kejelekan, kejahatan atau "sukerto" yang ada di Kota Magelang bisa hilang sehingga warga Kota Magelang menjadi tenteram dan sejahtera.
"Kehidupam masyarakat secara ekonomi meningkat karena jumlah wisatawan ke Kota Magelang diharapkan terus bertambah," katanya.
Ke depan, katanya, tarian caroko walik akan terus dipertahankan dan dipentaskan setiap Festival Tidar karena tarian ini sangat cocok dengan suasana Gunung Tidar sebagai destinasi wisata religi.
"Tarian ini tidak ingar bingar, seperti serimpi bedoyo yang ada di Keraton Surakarta maupun Yogyakarta," katanya.
Menyinggung kurang tertatanya peserta kirab dan tumpeng saat ritual di atas Gunung Tidar, dia mengakui hal tersebut tidak sesuai dengan perencanaan awal.
Semula direncanakan dua gunungan besar diletakkan di tengah dikelilingi tumpeng dari 17 kelurahan, kemudian lauk-pauk dan bumbu dimasukkan dalam keranjang besar untuk dicampur dan disiapkan "takir". Di sekeliling tumpeng tersebut duduk para lurah dan dibelakangnya warga yang mengikutinya.
"Namun, kami maklum karena ini baru pertama dan ternyata jalan dari bawah sampai atas ini membutuhkan energi luar biasa sehingga ketika sudah sampai di atas, mereka cenderung tidak tertib karena harus istirahat dulu. Ke depan, mungkin perlu dipikirkan yang naik ke atas harus anak-anak muda yang dari aspek fisik lebih kuat dan juga sebagai upaya regenerasi agar mereka ikut memiliki," katanya.
Asisten Humas, Protokol, dan Umum Setda Kota Magelang, Aris Wicaksono mengatakan penyelenggaraan kegiatan ini masih perlu penyempurnaan.
"Kami patut apresiasi atas gagasan ini dan semangat warga luar biasa," katanya.