Magelang, Antara Jateng - Hari sudah gelap ketika bus pariwisata lainnya pembawa peserta "Borobudur Writers and Cultural Festival 2016" dari berbagai kota di Indonesia berhenti persis di depan rumah gagah milik juragan sayuran dekat Gunung Andong Kabupaten Magelang, Jateng.
Mendung yang tetap menggantung hingga malam di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak di kawasan gunung itu, terkesan enggan menurunkan airnya menjadi hujan.
Bahkan, ia bersama hawa dingin yang menyergap siapa saja di tempat tersebut, terkesan ikut menikmati aura semarak atas rangkaian pertunjukan "Centhini Gunung", kerja sama Yayasan Samana, Wahid Institute, dan Komunitas Lima Gunung.
Lampu-lampu, baik di tepi jalan aspal dusun maupun rumah-rumah warga setempat yang terang benderang, termasuk di panggung pertunjukan, turut menerpa berbagai instalasi berbahan alam yang tersebar di dusun setempat.
Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang Susilo Anggoro dan General Manajer Hotel Atria Kota Magelang Chandra Irawan, sebagian di antara para tamu pertunjukan yang berdiri di depan rumah, Supadi Haryanto, juragan sayuran itu, Mereka menikmati suasana malam yang dingin sambil bercengkerama.
Seorang pengurus Yayasan Samana Seno Joko Suyono menarik kursi plastik lalu ditempatkan mepet ke salah satu penyangga kokoh rumah megah milik sang juragan. Dia duduk di kursi itu terkesan menikmati suasana malam sambil mengamati rombongan peserta BWCF yang turun dari bus pengantarnya.
Orang-orang lainnya duduk mengelilingi sejumlah meja yang ditata di halaman samping rumah juragan sayuran yang juga Ketua Komunitas Lima Gunung itu.
Mereka lainnya berdiri berbicang-bicang sambil menunggu sesi kedua pementasan "Centhini Gunung" di halaman rumah lainnya dengan panggung luas beraneka instalasi alam dan berlatar belakang Gunung Andong.
Salah satu instalasi panggung itu berbentuk stupa Candi Borobudur dengan tulisan "Centhini Gunung", dibuat dari rajutan jerami dan digantung di depan panggung.
Seorang lainnya pengurus Yayasan Samana yang juga penyair Dorothea Rosa Herliany bersama sejumlah pemuda Mantran Wetan, sibuk menyiapkan properti mendongeng untuk P.M. Toh (Aceh) dan pembacaan puisi oleh sejumlah penyair, seperti Oka Rusmini (Denpasar), Cyntha Hariadi (Jakarta), serta Ali Syamsuddin Arsy (Banjarbaru, Kalimantan Selatan).
Kekaguman atas peristiwa kehadiran ratusan orang dari berbagai kota ke dusun dengan hampir sebagian besar warga sebagai petani sayuran terujar Sus Anggoro dalam perbincangan dengan Chandra Irawan.
Dusun Mantran Wetan salah satu basis kelompok seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang.
"Desa seperti ini bisa mendatangkan banyak orang dari kota-kota," tutur Susilo Anggoro.
Di ruang belakang rumah Supadi, sejumlah tamu menikmati makan malam dengan menu desa sambil asyik berbincang-bincang dan bersendau gurau berbagai hal, salah satunya menyangkut kearifan lokal terkait dengan pawang hujan yang manjur dan membuat kawasan Gunung Andong tanpa hujan sepanjang pertunjukan "Centhini Gunung".
Para perempuan dusun setempat dengan wajah-wajah gembira hanyut dalam kesibukan memasak di dapur rumah Supadi dan hilir mudik menyajikan berbagai menu makanan kepada ratusan tamu BWCF. Agenda BWCF tahun kelima diselenggarakan Yayasan Sama, selama 5-8 Oktober 2016, di kawasan Candi Borobudur Kabupaten Magelang.
Berbagai agenda BWCF yang dibuka Gubernur Jateng Ganjar Pranowo pada Rabu (5/10) malam di Hotel Atria Kota Magelang, antara lain seminar tentang Serat Centhini dan Kitab-Kitab Nusantara, pameran foto, musyawarah penerbit, lokakarya penulisan cerita pendek, dan pentas kesenian.
Gotong royong
Sejak sekitar seminggu terakhir menjelang hari pertunjukan "Centhini Gunung", warga setempat bergotong-royong menyiapkan berbagai keperluan acara itu, seperti menghias wajah desa, membuat panggung luas, dan mendirikan tenda panggung untuk antisipasi hujan.
Mereka juga memasang berbagai instalasi berbahan baku alam seperti jerami dan bambu karya Sujono, salah satu pimpinan Komunitas Lima Gunung, menata kursi tamu, menggelar karpet merah untuk alas para penampil, serta menata berbagai alat musik pengiring pementasan di panggung.
Sejumlah anggota tim kerja Komunitas Lima Gunung juga mengecek tempat-tempat untuk berbagai keperluan sehubungan pertunjukan dengan para pemain utama belasan perempuan seniman yang tergabung dalam "Centhini Gunung", kelompok baru dalam Komunitas Lima Gunung.
Para "Centhini Gunung" berasal dari sejumlah kota namun berbasis di Yogyakarta. Mereka menyajikan karya kontemporer masing-masing berupa performa seni, tari, rupa, sastra dan bunyi yang dikemas secara kolaborasi.
Dalam dua sesi mereka menyuguhkan pementasan, yakni siang dan malam. Mereka antara lain Fetri Ana Rachmawati dengan karyanya berjudul "127 Centhini", Sekartaji Suminto (Centhini Bohemian), Annisa Hertami (Kembara Centhini), Ayu Permata Sari (Dentingan Centhini), Sekar Ayu Oktaviana Sari (Kini Centhini).
Selain itu, Setya Rahdiyatmi Kurnia Jatilinuar (Centhini Kanda), Galih Puspita (Jalan Centhini), Nia Agustina (Centhini Sianida), Nungky Nur Cahyani (Ni Centhini), Widya Ayu Kusumawardani (Asmara Turida Centhini), Dwi Windarti (Centhini Mendut), Mia Ismi Halida (Dawai Centhini), dan Wirastuti Susilaningtyas (Centhini Salju Gunung).
Masyarakat dari berbagai desa di sekitar Mantran Wetan, mengerumuni lokasi panggung untuk menikmati berbagai sajian pertunjukan, pada Kamis (6/10) itu, baik siang maupun malam.
Rangkaian pementasan, antara lain pawai ratusan seniman petani di sepanjang jalan dusun, prosesi ritual kontemporer Komunitas Lima Gunung "Ondho (tangga) Kencana", pembacaan puisi "Para Peziarah Sejarah" karya penyair Dorothea Rosa Herliany, secara bersama-sama oleh para "Centhini Gunung".
Direktur Wahid Institute Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid (Yenny Wahid) ikut dalam pawai seniman petani berjudul "Pluralisme Kirab Gunung" dengan ditandu sejumlah seniman.
Tandu karya Khoirul Mutaqin (Iroel) seniman Komunitas Lima Gunung itu, dibuat dari bambu dengan hiasan janur kuning dan anyaman daun tembakau kering membentuk stupa Borobudur. Yenny juga bersama sejumlah perempuan "Centhini Gunung" menjalani prosesi ritual kontemporer Komunitas Lima Gunung bernama "Ondho Kencono".
Saat pidato kebudayaan, ia juga memanggil para tamu utama, seperti Ketua Umum Taruna Merah Putih Maruarar Sirait, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, Sutradara Garin Nugroho, Kepala Bagian Politik dan Diplomasi Publik Kedutaan Besar Australia di Jakarta Bradley Amstrong, Direktur Yayasan Samana Yoke Darmawan, pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut, dan budayawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Romo Budi Subanar.
Mereka diminta Yenny yang juga salah satu putri Presiden Ke-5 K.H. Abdurrahman Wahid (almarhum) ikut naik panggung untuk kemudian bersama-sama para "Centhini Gunung" dan ribuan penonton menembangkan lagu dengan syair perihal perdamaian dunia, "Heal The World" (Michael Jackson).
Pertunjukan "Centhini Gunung" juga terkait dengan peringatan Hari Perdamaian Dunia 2016. Di Indonesia, selama tiga tahun terakhir, Wahid Institute menginisiasi peringatan Hari Perdamaian Dunia yang jatuh pada 21 September.
"Rekaman dari peringatan Hari Perdamaian Internasional di desa ini kami kirim ke PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Ini adalah ungkapan ekspresi bahwa Indonesia mendukung perdamaian internasional. Dari desa untuk masyarakat internasional," imbuhnya.
Segala suasana yang tersentuh indera sebagai semarak desa dalam pertunjukan "Centhini Gunung" menjadi bagian dan kekayaan wadak dan spiritual yang disajikan oleh masyarakat setempat.
"Saya sangat senang datang ke sini. Alangkah baik semua orang di sini," ujar Bradley Amstrong yang beristri perempuan Indonesia itu.
Ketulusan dan kegembiraan masyarakat desa yang terungkap dalam seluruh proses sejak persiapan hingga hari pertunjukan juga disampaikan salah seorang anggota "Centhini Gunung" yang juga aktris, Annisa Hertami.
Masyarakat desa disebutnya menjadi contoh yang baik untuk siapa saja datang dan belajar tentang ketulusan, tenggang rasa, dan kegotong-royongan.
"Mungkin nilai-nilai itu sudah banyak yang hilang di kota besar. Jadi kita mengundang dari kota-kota sehingga terjadi dialog antara desa dan kota," ungkapnya.
Begitu juga dengan Yenny. Dalam pidato kebudayaannya antara lain mengemukakan inspirasi masyarakat desa kepada kota tentang perdamaian, hidup yang guyup, rukun, dan saling menghargai dalam menyelesaikan persoalan bersama.
Dengan berbagai keterbatasan penunjang kehidupan sehari-hari masyarakat desa dibandingkan dengan kota, mereka mampu menyajikan ekspresi yang disebutnya sebagai "luar biasa".
"Kalau di kota gampang (fasilitas serba ada, red.), tapi kalau di desa 'tuku opo-opo angel, duwite raono' (sulit berbelanja segala keperluan, uang tidak ada, red.). Tapi hal itu tidak menyurutkan warga untuk berkolaborasi ekspresi," ucapnya.
Orang kota, kata Yenny, harus belajar dengan orang desa.