Penampilan Edi Noersasongko masih tetap sederhana kendati sukses mengelola Universitas Dian Nuswantoro, yang saat ini menjadi salah satu perguruan tinggi terbesar di Jawa Tengah.
Wajahnya juga masih menampakkan gurat bekas kerja keras ketika merintis kerja sebagai penjaga toko batik dan wiraniaga (salesman) komputer di Jakarta di pengujung tahun 1970-an.
Pria kelahiran Semarang, 16 Juni 1955 ini awalnya tidak menduga bila akhirnya sebagian besar hidupnya bergelut di dunia pendidikan. Selepas dari SMAN 1 Semarang, ia masuk lembaga pendidikan penerbangan, namun gagal menuntaskan sehingga gagal pula memperoleh surat izin terbang.
Namun, ia tidak mau meratapi kegagalan tersebut. Pada 1978, ia memutuskan kuliah di Institut Ilmu Komputer, perguruan tinggi yang sebelumnya merupakan tempat kursus komputer Edi menimba ilmu.
Dalam buku biografi berjudul "It's My Way", Edi Noersasongko mengungkapkan bahwa dirinya menjadi sarjana ilmu komputer pertama di Indonesia. Ia kemudian menuntaskan kuliahnya di jenjang S-2 dan S-3.
Seperti halnya banyak kisah sukses orang lain, suami Tri Rustanti itu juga mengalami pahit getir dalam merintis usahanya. Awalnya, pada tahun 1980-an, ayah empat anak ini mendirikan kursus komputer IMKA dengan jumlah peserta hanya puluhan orang.
Dalam perjalanannya, Edi menyadari bahwa mengelola kursus ternyata sering menghadapi ketidakpastian jumlah peserta. Setiap bulan diadang kesibukan mencari siswa baru. Bagi lembaga kursus, peserta merupakan sumber utama pendapatan.
Di sisi lain, militansi peserta untuk rajin mengikuti kursus juga jauh lebih rendah dibandingkan mahasiswa. Hanya karena hujan, katanya, peserta kursus tidak berangkat. Kalau sudah tidak masuk beberapa kali, dengan mudah mereka keluar.
Menyadari bahwa untuk mempertahankan jumlah peserta kursus itu sangat sulit, akhirnya Edi mendirikan sebuah akademi, AMIK, yang secara perlahan tumbuh dan berkembang di daerah Nakula, Semarang.
Berkembangnya akademi tersebut mendorong Edi melebarkan sayap hingga ke luar kota, termasuk di Solo dan Yogyakarta. Kemudian juga mendirikan sekolah tinggi ekonomi, keperawatan, bahasa, dan lainnya.
Keuletan dan kehati-hatian Edi dalam mengelola lembaga pendidikan tersebut membuahkan mimpi besar untuk membuat universitas dengan menyatukan lembaga-lembaga pendidikan tersebut.
Dian Nuswantoro
Impian tersebut akhirnya terwujud. Pada 2001, dibantu istrinya yang menjadi ketua yayasan, ia mendirikan Universitas Dian Nuswantoro, pelita/obor Nusantara.
Kian berkembangnya ilmu komputer dan kebutuhan tenaga ahli komputer dan informatika, menjadikan Udinus tumbuh pesat. Dengan pengalaman panjang mengelola akademi komputer, Udinus tahu keterampilan dan pengetahuan komputer dan informatika macam apa yang dibutuhkan lapangan kerja.
"Kini Udinus memiliki 11.000 lebih mahasiswa," katanya di Semarang, Jumat (26/8).
Ratusan dosen dan tenaga nonkependidikan kini juga tumbuh dan berkembang bersama Udinus.
Selain menjadi salah satu perguruan tinggi terbesar di Jateng, sarjana teknologi informatika lulusan Udinus kini banyak diburu perusahaan dan instansi pemerintah.
Kini, bangunan bertingkat kampus Udinus di Jalan Imam Bonjol Semarang berdiri megah. Pembangunan masih terus dilakukan seiring denga bertambah banyak program studi baru.
Lantas, apa kiat Edi hingga bisa menjadikan Udinus sebesar sekarang?
"Kita harus pintar (bermain) silat untuk mencari peluang. Juga harus tangguh dan tahan banting," ujarnya.
Ia sedikit mengungkap jurus silat yang diterapkan untuk membesarkan kampus sekaligus memberi manfaat bagi anak-anak muda yang ingin kuliah namun terbentur biaya.
Sekitar 10 tahun lalu, Udinus gencar beriklan menawarkan bangku kuliah yang bisa dibayar setelah mereka bekerja. Iklan ini mendapat sambutan luar biasa.
Model tersebut mirip dengan cara menjual kursi penumpang di pesawat terbang atau bus yang dipatok dengan harga murah namun tidak merugikan karena setiap penerbangan hampir dipastikan ada kursi kosong. Begitu pula dalam penerimaan mahasiswa baru.
"Bangku kuliah yang kosong itulah yang kami berikan dalam program 'kuliah dulu, mengangsur setelah bekerja'. Kami tidak rugi karena gaji dosen, bayar listrik, dan lainnya biayanya tetap sama," katanya.
Edi pula yang gencar beriklan dengan menggunakan tokoh populer kendati model iklan tersebut tidak memiliki citra di bidang pendidikan atau komputer. Pelawak Basuki Sriumulat dan pengusaha jamu/budayawan Jaya Suprana dijadikan model untuk mempromosikan Udinus.
Hasilnya ternyata menakjubkan. Banyak lulusan SLTA yang mendaftar di Udinus, termasuk dari luar Jawa Tengah.
Dosen Udinus, Heri Pamungkas, juga mengaku tertarik kuliah di perguruan tinggi ini karena terpengaruh iklan yang dibawakan Jaya Suprana.
Setelah 15 tahun mengelola Udinus, Edi memang masih memiliki mimpi lebih besar lagi, yakni menjadikan Udinus sebagai perguruan tinggi ilmu komputer nomor satu di Indonesia.
Bagi Edi, merawat mimpi sebangun dengan memelihara semangat hidup karena itu ia tidak pernah bosan untuk bermimpi. Ia tidak pernah pula lelah untuk mewujudkan impiannya. Sekeras dan sesulit apa pun.
"Selalu ada jalan untuk mewujudkannya," katanya.
Kendati secara ekonomi dan sosial sudah mapan, Rektor Udinus beserta keluarganya bukanlah pengumbar kehidupan mewah.
Edi pun masih menjadikan shalat malam sebagai kebiasaan untuk memelihara sikap rendah hati. ***