Magelang, Antara Jateng - "'Aku nang nggon omah sing kulon cedhak panggung' (Aku di rumah barat panggung, red.)," begitu suara perempuan berbicara melalui telepon ketika berdesak-desakan dengan warga lainnya yang berteduh di teras rumah, dekat panggung Festival Lima Gunung.
Dalam pembicaraan berikutnya, perempuan itu terkesan mengungkapkan kesediaan untuk menemui lawan bicaranya melalui telepon seluler tersebut.
"'Yoh, tak mrono' (Baik aku ke situ, red.)," ucapnya saat berteduh di rumah Anton Prabowo di dekat panggung utama festival tahunan seniman petani di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Hujan cukup deras, Sabtu (23/7) sore, turun bertepatan dengan saat azar, di lokasi Festival Lima Gunung XV/2016 di antara Gunung Merapi dan Merbabu. Festival itu diselenggarakan secara mandiri oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang.
Ketika turun hujan, beberapa grup kesenian telah menyelesaikan pementasan hari kelima dari seminggu pelaksaan pesta kebudayaan petani tersebut.
Ribuan penonton mencari tempat berteduh di rumah-rumah warga Keron, di dekat panggung utama pertunjukkan yang diberi nama "Panggung Kimpul" dengan latar belakang berupa instalasi raksasa dari bambu dan jerami berbentuk gunungan.
Sekitar 1 jam kemudian hujan reda. Mereka pun kembali merapat ke arena panggung pementasan dengan berbagai instalasi alam, termasuk berupa cacing raksasa, di tepi dusun berpenduduk sekitar 87 keluarga atau kira-kira 350 jiwa itu. Sejumlah grup kesenian lain, menampilkan kesenian masing-masing hingga persis tengah malam.
Antusias masyarakat dusun setempat dan berbagai desa sekitarnya berbaur dengan para tamu penonton festival dari berbagai kota dan luar negeri seakan menunjukkan mereka tak hendak melepaskan sedikitpun setiap pementasan yang menjadi hiburan menarik itu.
Belum lagi, keramahan panitia festival yang warga lokal, antara lain, para remaja putri Keron yang menjadi penghubung dengan berbagai grup penampil pementasan hingga para pemuda yang menjadi petugas parkir kendaraan, kalangan sukarelawan serta aparat keamanan dalam melayani publik, terkesan membuat mereka yang hadir dalam pesta kebudayaan itu menjadi nyaman dan meraih kesan bahagia masing-masing.
Festival dirancang sejak sekitar 6 bulan terakhir, sedangkan warga Dusun Keron dengan semangat gotong royong yang kuat dan ketulusan yang mendalam, secara intensif mempersiapkan segala keperluan sebagai tuan rumah festival, selama sekitar 3 bulan.
Tentang modal kesederhanaan dan ketulusan warga untuk menyelenggarakan festival, disebut Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Edy Susanto saat pembukaan festival itu di Candi Gunung Wukir Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Selasa (19/7).
"Di tengah kebersahajaan mereka, ada ketulusan hati yang selalu meruntuhkan kecongkakan kita. Saya bersyukur bergabung dengan orang-orang hebat yang bersahaja ini," ujarnya.
Memang berulang kali dalam berbagai kesempatan pertemuan langsung maupun koordinasi panitia festival melalui grup media sosial, Sutanto Mendut, budayawan yang dengan enteng oleh para pemimpin Komunitas Lima Gunung sering dipanggil sebagai presiden atau sebutan gojek sebagai "Kiai Jowongso" itu, mengingatkan kekuatan warga desa yang penting dihadirkan secara apa adanya kepada tamu festival, yakni ramah, tulus, sopan, dan santun, yang dalam nilai budaya Jawa menjadi bagian dari sikap pribadi yang "gupuh, lungguh, dan suguh".
Festival Lima Gunung XV yang melibatkan 50 grup kesenian, baik dari kelompok-kelompok seniman petani Komunitas Lima Gunung maupun grup-grup lain yang menjadi jejaringnya, berlangsung selama 6 hari (19 s.d. 24 Juli 2016) dengan berbagai pementasan kesenian dan kegiatan budaya di dua panggung, "Panggung Kimpul", dan "Panggung Tela".
Seluruh bagian Dusun Keron dipasangi karya instalasi berbahan utama bambu dan jerami dengan kreator utama pimpinan Sanggar Saujana Keron yang juga salah satu pemimpin Komunitas Lima Gunung, Sujono. Seluruh warga yang sebagian besar petani sayuran dan padi, serta pekerja bangunan terlibat dalam membangun suasana eksotik alami dusunnya sebagai tuan rumah festival.
Panggung pementasan yang besar dan terkesan megah dibuat dari tatanan bambu dengan latar belakang instalasi gunungan raksasa setinggi sekitar 15 meter. Di beberapa bagian lokasi pementasan juga dipasangi puluhan penjor jerami, sedangkan di depan panggung berupa properti ketela pohon sebagai representasi tema festival tahun ini, "Pala Kependhem", yang menunjuk berbagai tanaman pertanian dengan buah yang tumbuhnya di dalam tanah.
Tempat duduk para tamu undangan dibuat dari bambu dengan alas dan atap berupa anyaman daun kelapa, cukup untuk sekitar 200 orang. Sujono memberikan sentuhan pamungkas untuk instalasi di lokasi "Panggung Kimpul", berupa karya instalasi dari bambu dan jerami berbentuk lingkaran diameter 2 meter, dengan lima baris tulisan, "Festival 5 Gunung Ke 15 Pala Kependem Keron".
Instalasi pamungkas yang membuat eloknya panggung utama festival itu dipasang digantung dengan ketinggian sekitar 15 meter, seakan memayungi tempat para seniman menggelar pementasan. Posisi tulisan menjadi terbalik jika dibaca dari bawah.
"Supaya terbaca jika dipotret dari atas menggunakan 'drone'," kata Sujono.
Seorang penggemar fotografi dari luar kota, memanfaatkan momentum festival itu untuk melakukan dokumentasi visual dengan menggunakan kamera "drone".
Keelokan instalasi seni berbahan alam yang mewarnai dengan meriah panggung pementasan festival dan berbagai tempat di Dusun Keron memperkuat kemegahan pementasan berbagai kesenian dan kegiatan budaya Festival Lima Gunung XV/2016.
Ihwal kemegahan festival yang justru dilahirkan oleh kesederhanaan dan ketulusan pribadi-pribadi warga dusun sebagai tuan pesta kebudayaan tersebut menjadi hal yang mungkin tidak mudah dipercaya pikiran dan indra.
"Ini pertama kali saya ikut festival ini. Saya merinding karena terharu dengan spontanitas penduduk dan artis, seolah-olah apa yang terjadi dalam festival ini tanpa direka-reka," kata Dodog Soesena yang 37 tahun terakhir tinggal di Eropa dan menjadi pengajar seni murni di Sekolah Tinggi Seni Rupa Utrecht, Belanda.
Sebagian masa liburannya dimanfaatkan Dodog yang juga mengajar di Royal Academy of Art Den Haag, Belanda itu, untuk menyaksikan Festival Lima Gunung XV/2016 di Keron, Kabupaten Magelang.
Ia mengaku mendapat sambutan yang hangat dari warga selama menginap di dusun itu, dan seolah dirinya sebagai bagian dari keluarga mereka. Sekitar 40 rumah warga dusun setempat disiapkan untuk menginap para tamu festival yang datang dari berbagai kota dan luar negeri. Puluhan rumah lainnya disiapkan warga untuk transit berbagai grup kesenian yang pentas dalam festival.
"Tua muda, besar, kecil. Wajah-wajah mereka gembira, tulus, senang, dan terhibur. Saya merasa menjadi penduduk di sini," katanya.
Festival Lima Gunung dengan panggung megah yang memperkuat penampilan para seniman dengan berbagai karyanya, memang boleh dikatakan berangkat dari fondasi kepribadian tulus dan sederhana masyarakat dusun untuk menghadirkan peran diri yang terbaik sebagai tuan rumah pesta kebudayaan.