Akhir-akhir ini berbagai media bak berlomba menyajikan berbagai peristiwa serta kejadian. Belum tuntas pemberitaan tentang Sumber Waras, muncul dugaan ketidakberesan pengumpulan KTP Teman Ahok, kemudian penyanderaan kembali enam awak kapal Indonesia oleh kelompok Abu Sayap.
Selanjutnya, Tanah Cengkareng, Undang-Undang Tax Amnesty atau Pengampunan Pajak yang akhirnya disahkan DPR, penyalahgunaan narkoba, hingga isu yang sangat aktual menyangkut vaksin palsu dengan berbagai kemungkinan ikutannya, terutama dampaknya pada masa depan anak bangsa.
Sayangnya, kejar-kejaran serta kesan saling salip keaktualan karena ketatnya persaingan antarmedia, terkesan mengabaikan keakurasian isi beritanya. Misalnya, kasus Sumber Waras yang kesan awalnya Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama seolah terlibat dalam perkara tersebut, ternyata Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi menyatakan Ahok (sapaan akrab Basuki Tjahaja Purnama) tidak terlibat.
Meski demikian, hingga saat ini pun polemik itu pun belum diakhiri media. Misalnya, ketika masih memunculkan pernyataan mantan Pejabat Sementara Ketua KPK Taufikurakhman Ruki. Demikian pula, dengan kontroversi serupa pada peristiwa serta kejadian lainnya.
Dilihat dari sisi jurnalistik, seolah memang tidak ada yang salah dari berbagai pemberitaan serta penyajian opini terkait dengan berbagai peristiwa tersebut.
Namun, bila melihat fungsi serta peran hakiki media sebagai sarana memberikan informasi yang irformatif serta edukatif yang bisa mencerdaskan masyarakat, kejar-kejaran aktualitas semacam itu menjadi kontraproduktif, atau dalam bahasa komunikasinya adalah disfungsional.
Kejar-kejaran aktualitas yang akhirnya banyak memunculkan informasi serta opini yang saling bertentangan, justru akan membingungkan masyarakat, terutama yang tingkat kecerdasannya masih terbatas.
Bukankah ini bertentangan dengan fungsi media yang seharusnya menghilangkan kebingungan masyarakat, justru sebaliknya cenderung membingungkannya? Kasus kontroversi vaksin palsu yang menyajikan banyak pandangan, usulan, bahkan pertentangan dan kesan saling menyalahkan yang ter-blow-up media merupakan contoh nyata.
Pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama adalah akankah media terus melakukan politik pemberitaan semacam itu? Bukankah sudah waktunya para pengelola media menyajikan pemberitaan serta opini yang lebih lengkap, informatif, serta komprehensif sehingga lebih fungsional bagi masyarakat?
Mencerdaskan
Saat ini, kesan media ingin menyajikan segala sesuatu yang diinginkan masyarakat (give the public what they want) terkesan lebih menonjol. Indikasinya, antara lain, jelas mereka terkesan belomba mengejar aktualitas sajian informasi serta opininya. Kondisi seperti itu tidak sepenuhnya salah karena Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ataupun UU No. 32/2002 tentang Penyiaran, keduanya juga mengategorikan media adalah lembaga bisnis, selain lembaga masyarakat.
Kenyataan itu ditambah dengan ketatnya persaingan antarmedia yang belum sesuai dengan besarnya belanja iklan sebagai darah kehidupannya sehingga mereka cenderung menyajikan segala sesuatu yang mereka pandang laku dijual atau diminati masyarakat.
Padahal, seharusnya mereka pun sadar bahwa yang lebih bijak sebenarnya menyajikan apa yang seharusnya dibutuhkan masyarakat (give the public what they needs).
Mereka sebenarnya tidak perlu khawatir sajian-sajiannya tidak diminati masyarakat. Mungkin untuk awal-awal bisa saja terjadi. Namun, keyakinan bahwa pasar itu bisa diciptakan dengan menyajikan hal-hal yang menarik, informatif sekaligus mendidik, pelan tapi pasti masyarakat akan meminatinya. Contoh konkret tayangan Mata Najwa, Kick Andy, dan Keluarga Cemara yang semula rating-nya rendah, saat ini sebaliknya.
Khusus terkait dengan sajian informasi serta opini, yang terpenting adalah menjadikan masyarakat makin cerdas sehingga mereka tidak akan salah ataupun sesat dalam mengambil sikap serta melakukan berbagai tindakan. Pada era demokrasi serta keterbukaan saat ini, sangatlah tidak elok bila media hanya mengejar keaktualan informasi serta opini semata, terlebih bila petinggi media sengaja melakukannya demi kepentingan sesaat.
Menekankan berbagai sajian yang akurat dan komprehensif menyebabkan masyarakat memiliki cukup informasi (well informed). Mereka akan dapat membandingkan pemberitaan serta penyajian opini dari berbagai sudut pandang (all both side) oleh setiap media.
Selanjutnya, masyarakat membandingkannya dengan berbagai media lainnya sehingga mereka akan memiliki kekayaan informasi serta opini yang akhirnya mereka akan menjadi cerdas melalui kemampuannya memilih serta memilah informasi serta opini yang paling akurat.
Kita tentu ingat Teori Entropi yang secara prinsip menyebut bahwa informasi yang informatif itu adalah yang mampu menghilangkan ketidakpastian atau kebingungan penerimanya.
Oleh karena itu, kejar-kejaran aktualitas yang cenderung terjadi dan dilakukan berbagai media saat ini, justru akan memicu timbulnya kebingungan masyarakat.
Kita tilik dari proses komunikasi yang terjadi. Meski informasi yang disajikan telah dirancang sedemikian rupa pun, tidak jarang informasi serta opini tersebut disalahtafsirkan oleh masyarakat, apalagi bila informasi serta opini yang disajikan sekadar berlomba mengejar aktualitas semata.
Oleh karena itu, ke depan, setiap media yang tidak ingin kehilangan kepercayaan terhadap nilai berita yang mereka sajikan (news distrust) yang akhirnya berdampak pada menurunnya kredibilitasnya. Maka, yang lebih penting adalah menyajikan berita serta opini yang komprehensif dan informatif.
Bukankah Marshall Mc. Luhan pada tahun 1962 telah menyebut bahwa the media is the message. Bila ini diabaikan dan hanya aktualitas semata yang dikejar, seperti kata Yale, media akan kehilangan kharakter. Hal ini akan berdampak pada menurunnya kredibilitas media yang bersangkutan.
Menyajikan informasi yang kurang akurat, terlebih bila saat ini ada kecenderungan beberapa media memanipulasikannya demi kepentingan para petingginya maka masayarakat yang makin dicerdaskan oleh berbagai media lain yang cerdas, pelan tapi pasti akan meninggalkannya, dan ini tentu akan sangat merugikannya.
Oleh karena itu, selain keaktualan, faktor keakurasian dalam pemberitaan serta penyajian opini harus menjadi perhatian, kecuali bila ada yang sengaja abai karena menganggap tidak signifikan dampaknya, dan tanpa terasa mereka akan menggali kuburnya sendiri.
*) Penulis adalah dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKom) Semarang