Magelang, Antara Jateng - Setiap 35 hari sekali Masjid Agung Kauman Kota Magelang, Jawa Tengah, menggelar pengajian. Kegiatan keagamaan umat Islam setempat saat Paing, telah berlangsung puluhan tahun, dirintis para kiai dari sejumlah pondok pesantren di sekitar daerah itu.
Seiring dengan keramaian umat mengikuti pengajian, berkembang kegiatan pasar di sekitar masjid di pusat kota setempat. Mereka terutama menempati kawasan selatan Alun-Alun Kota Magelang.
Tentang kapan mulai pengajian setiap Paing (Kalender Jawa) sebulan sekali, terdapat dua informasi, yakni pada 1958 dan 1965, sedangkan aktivitas sejumlah pedagang yang semula berasal dari kalangan santri setempat mulai 1967.
Sejumlah ulama berpengaruh kala itu yang merintis pengajian setiap Paing di Masjid Kauman, antara lain K.H. Chudlori (Ponpes Asrama Perguruan Islam/API Tegalrejo, Kabupaten Magelang), K.H. Ahmad Haq atau Mbah Mad (Ponpes Watucongol, Muntilan, Kabupaten Magelang), dan K.H. Alwi (Ponpes Salam Kanci, Bandongan, Kabupaten Magelang).
Mereka yang saat ini (setiap Paing) berjualan di kawasan alun-alun dekat Masjid Kauman itu terhitung sekitar 45 orang. Berbagai barang dagangan mereka, antara lain aneka makanan dan minuman, pakaian, serta mainan anak-anak.
Para pedagang, terutama datang dari sejumlah tempat di Kota Magelang dan Kabupaten Magelang. Kegiatan pasar itu juga dikenal sebagai Pasar Tiban Paingan Alun-Alun dan sekitar Masjid Agung Kauman Kota Magelang.
Sebagian keterangan dan cerita tentang pengajian Masjid Kauman dan aktivitas pedagang di alun-alun setempat setiap Paing tersebut, diperoleh dari para Takmir Masjid Kauman Kota Magelang, antara lain Hermantio (ketua), Miftachusuruf, Djauhari, Nawaro, dan Tri Raharjo, serta kalangan pemerhati budaya dan pelaku seni di daerah setempat, antara lain Condro Bawono (Mbilung Sarawita), Bagus Priyana, Andretopo, dan Luky Henri Yuni Susanto.
Mereka dipanggil oleh Komisi B DPRD Kota Magelang untuk didengar pandangannya pada Kamis (2/6) terkait dengan polemik atas rencana Dinas Pengelolaan Pasar Pemkot Magelang merelokasi para pedagang ke sekitar Lapangan Rindam IV/Diponegoro di kota itu.
Lapangan Rindam IV/Diponegoro dengan jalan yang mengelilinginya, setiap Minggu telah berkembang menjadi lokasi keramaian masyarakat terkait dengan kegiatan "Car Free Day".
Dengar pendapat dengan mereka dipimpin Ketua Komisi B DPRD Kota Magelang Waluyo, didampingi wakil ketua Tyas Anggraeni dan anggota Imam Musaechoni. Pihak dewan berencana melanjutkan dengar pendapat itu dengan Kepala Dinas Pasar Kota Magelang Joko Budiyono dan pejabat tinggi pemkot setempat lainnya, pada Senin (6/6), guna menemukan solusi terbaik atas persoalan tersebut.
Surat Edaran Dinas Pengelolaan Pasar Pemkot Magelang Nomor 511/283/260 tertanggal 11 April 2016, antara lain menyebut para pedagang masih boleh berjualan di tempat itu pada Minggu Paing, 22 Mei 2016, sedangkan mulai Minggu Paing, 31 Juli 2016, mereka direlokasi ke Lapangan Rindam IV/Diponegoro Kota Magelang.
Wali Kota Magelang Sigit Widyonindito dalam jumpa pers di Ruang Media Kantor Pemkot Magelang beberapa waktu lalu menjelaskan tentang pemindahan pedagang tersebut yang terkait dengan penataan kawasan alun-alun, upaya pemkot meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memajukan daerah itu.
Apalagi, situasi "Car Free Day" di Lapangan Rindam setiap Minggu, lebih ramai ketimbang alun-alun. Di tempat itu, para pedagang bisa berjualan setiap Minggu, bukan lagi setiap 35 hari sekali sebagaimana Pasar Paingan.
Sejumlah elemen masyarakat menggelar aksi di alun-alun setempat yang intinya menolak rencana pemkot tersebut. Mereka juga mengembangkan buah-buah pandangan untuk merespons rencana relokasi pedagang itu melalui media sosial.
Ketua Takmir Masjid Kauman Kota Magelang Hermantio dalam dengar pendapat itu, mengatakan bahwa pihaknya tidak memiliki kaitan dengan rencana pemkot merelokasi pedagang Pasar Paingan.
Nama takmir yang tertulis dalam surat edaran Dinas Pengelolaan Pasar Pemkot Magelang, katanya, bukan sebagai persetujuan pihaknya atas relokasi pedagang, akan tetapi sebagai penyerahan urusan tersebut kepada pemkot.
"Masalah pedagang bukan urusan takmir, tetapi urusan pemerintah. Kami tidak memiliki kompetensi untuk masalah pedagang. Surat edaran itu memang bisa menimbulkan salah persepsi," katanya.
Hingga saat ini, ujarnya, masih melekat kuat di benak masyarakat, terutama sekitar Kota Magelang, tentang kehendak baik mereka untuk hadir dan mengikuti pengajian di Masjid Kauman setiap Paing, dan setelah itu sekalian waktunya digunakan untuk berbelanja di Pasar Paingan.
"'Mangke nek Minggu Paing ajeng nderek pengajian teng Magelang' (Kalau Minggu Paing akan ikut pengajian di Masjid Kauman Kota Magelang, red.). Sambil mengaji sambil belanja," begitu Hermantio membahasakan suara-suara masyarakat di desa-desa sekitar Kota Magelang.
Luky yang juga tokoh pemuda Kampung Kauman di belakang masjid agung itu, mengemukakan tentang penyebaran pemberitahuan oleh aparat pemkot kepada pedagang Pasar Paingan terkait dengan relokasi, saat dua kali terakhir pengajian Masjid Kauman (April dan Mei 2016) atau sebelum Bulan Puasa tahun ini.
"Para pedagang bukan terutama untuk mendapatkan uang dari hasil berjualan, tetapi istilahnya mereka 'Ngalap berkah Mbah Mad Watucongol' (Mendapatkan berkah dari kehadiran mengaji dan sekaligus berjualan di tempat pengajian, red.)," ujarnya.
Saat ini, ujarnya, para ulama yang memimpin pengajian di tempat itu setiap Paing, antara lain Gus Mansyur Hadiq (Ponpes Bawang, Salaman, Kabupaten Magelang) dan Gus Ali Choisor (Ponpes Watucongol).
Bagus Priyana yang juga Ketua Komunitas Kota Toea Magelang itu, menyebut unikum Pasar Paingan telah menjadi ikon kota dengan tiga kecamatan dan 17 kelurahan tersebut.
"Pasar Paingan itu proses bertahun-tahun dan sekarang ikon Kota Magelang," ujarnya ketika melanjutkan penyebutan atas keramaian pasar tradisional di kawasan setempat, yakni Pasar Bandongan Kabupaten Magelang setiap Pon, Sanggrahan (Wage), Muntilan (Kliwon), Payaman (Legi), dan Kota Magelang (Paing).
Pasar Paingan, ujarnya, bukan sekadar kegiatan ekonomi, akan tetapi telah menjadi tradisi budaya masyarakat setempat. Pasar Paingan bersifat "tiban" (hadir), berbarengan dengan pengajian Masjid Kauman setiap Paing.
Sejumlah pasar tradisional di kota setempat, antara lain Pasar Rejowinangun, Pasar Gotong Royong, Pasar Kebon Polo, dan Pasar Cacaban diperkirakan oleh Priyana bahwa pada masa lalunya juga menerapkan hari keramaian atau hari pasaran berdasarkan kalender Jawa, akan tetapi saat ini keramaian jual beli telah berkembang menjadi setiap hari.
Ia menyebut pengajian Masjid Kauman dan Pasar Paingan sebagai dua sisi mata uang yang maksudnya tidak terpisahkan.
Pasar Paingan yang tiada muncul selama Bulan Puasa dan kemudian hadir kembali saat Paing setelah Lebaran, juga telah menjadi tradisi budaya masyarakat.
Condro Bawono yang juga mantan Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang itu, mengemukakan seharusnya Pasar Paingan tidak sekadar dipandang sebagai kegiatan ekonomi, akan tetapi karya budaya tak bendawi yang dibuat oleh masyarakat Magelang.
"Ini 'intangible' (budaya tak bendawi), budaya lokal sejak puluhan tahun. Antara pengajian dengan Pasar Paingan itu, satu tarikan nafas yang harus dilestarikan. Itu karya budaya masyarakat Magelang, baik kota maupun kabupaten," ucapnya.
Ia memperdalam penjelasannya bahwa para pedagang selama 34 hari berjualan di tempat rutinitas masing-masing, sedangkan pada hari ke-35 bertepatan dengan Paing, mereka menggelar dagangan di Pasar Paingan.
"Nasib (penghasilan, red.) mereka telah diurusi oleh Gusti Allah selama 34 hari, sedangkan pada hari ke-35 sebagai 'dino pasaran' (hari pasaran, red.) untuk 'ngalap berkah' dengan caranya," katanya.
Baik kalangan takmir masjid maupun para pemerhati budaya dan pelaku seni di Kota Magelang itu, terkesan sepakat untuk memandang bahwa pengajian Masjid Kauman dengan Pasar Paingan sebagai kekayaan budaya lokal yang memang seharusnya dilestarikan.
Mereka juga sepakat untuk penataan menjadi lebih baik dan kondusif terhadap aktivitas pedagang di Pasar Paingan oleh pemkot, akan tetapi bukan dengan cara relokasi.
Begitu pula dengan pihak Komisi B DPRD Kota Magelang. Mereka terkesan bisa memahami alasan budaya dalam memandang keterkaitan antara pengajian dan pasar "tiban" tersebut.
Komisi dewan itu telah merencanakan pada Senin (6/6) mengundang pihak Dinas Pengelolaan Pasar Pemkot Magelang untuk diminta penjelasan terkait dengan rencana relokasi pedagang Pasar Paingan.
"Kami ingin mendapatkan masukan sebanyak mungkin untuk diskusi dengan mitra kerja. Kami punya wewenang untuk mengevaluasi dan memberi masukan kepada mitra kerja. Keputusan ada di eksekutif," kata Imam Musaechoni.
Waluyo memastikan bahwa dewan akan memberikan catatan atau rekomendasi kepada pihak eksekutif terkait dengan solusi terbaik untuk mempertahankan "setarikan nafas" antara pengajian Masjid Kauman dan Pasar Paingan.