Magelang, Antara Jateng - Seekor pedet dengan kaki-kakinya berjingkrak tampak ringan, berlarian keluar kandang, sedangkan pemiliknya, Sutar mengejar untuk menggiringnya kembali ke kandang milik sekelompok peternak di kawasan Gunung Merapi dan Merbabu Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Sejumlah anggota kelompok itu yang sedang memberi makan rumput kepada sapi masing-masing menghentikan aktivitasnya, lalu bergegas membantu Sutar, menghadang dari sejumlah tempat untuk menggiring sang pedet kembali ke kandang.
Kawan-kawan Sutar yang membantunya pagi itu, Jianto, Slamet, dan Abdul Rozak. Mereka adalah beberapa di antara 18 peternak sapi yang tergabung dalam Kelompok Tani Sedyo Mulyo Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.
Jumlah anggota kelompok tani dengan ketua Abdul Rozak (55) tersebut, saat ini 25 orang. Sejak akhir 2012, mereka yang secara khusus mengembangkan usaha ternak sapi melalui kandang kelompok di areal seluas 1.000 meter persegi di dusun itu, 18 petani, sedangkan lainnya sebagai petani hortikultura dan padi, serta pendukung usaha-usaha operasional pertanian lainnya.
Wajah-wajah mereka yang terlihat tenang dan tanpa bersuara saat menghadang serta menggiring anak sapi itu, mungkin membuat sang pedet tak lagi emosional. Ia dengan tenang berjingkrak, melangkahkan kaki menuju pintu kandang. Pedet pun berkumpul kembali dengan induknya, lalu menyantap rumput gajah, hidangan sarapan mereka pagi itu.
Saat ini, di dalam kandang kelompok tersebut terdapat 23 sapi bantuan Dinas Peternakan dan Perikanan Pemerintah Kabupaten Magelang pada Oktober 2014, 18 pedet, dan enam sapi lainnya milik secara pribadi beberapa warga dusun setempat.
Kehendak mereka mengembangkan usaha kelompok menjadi pembibitan sapi, ternyata tidak lepas dari kreativitas berpikir dan menganyam naluri sebagai petani yang berolah batin dengan jagat berkesenian warga Dusun Keron dalam wadah Sanggar Saujana, pimpinan Sujono.
Sujono yang juga salah satu petinggi seniman petani tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang, bersama para pemuda setempat lainnya pada 2008 menciptakan tarian rakyat yang kemudian diberi nama Jingkrak Sundang. "Sundang" adalah kosa kata lokal untuk menyebut tanduk.
Tarian kontemporer desa dengan 15 pemain, tujuh penabuh gamelan itu, pertama kali mereka suguhkan sebagai karya baru pada Festival Lima Gunung 2009 di kawasan Gunung Andong, Dusun Mantran, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.
Hingga saat ini, sudah tak terhitung lagi mereka mementaskan karya tersebut di berbagai tempat dan kesempatan, baik di Magelang maupun luar daerah, seperti Yogyakarta, Solo, dan Semarang.
Mereka telah mengembangkan Jingkrak Sundang menjadi tujuh kreasi gerakan tarian yang mengutip perilaku dan keadaan emosional berbagai hewan, antara lain sapi, kerbau, kera, gajah, anjing, landak, celeng, kijang, kelinci, ular, singa, macan, tikus, trenggiling, dan regul.
Tingkah laku satwa tersebut juga dikemas secara cerdas dan menarik dengan gerakan tubuh manusia dalam keadaan sadar dan tidak sadar.
Namun, secara umum, kekuatan gerakan tarian tersebut terletak pada kaki yang berjingkrak tiada henti dan kekuatan tubuh kekar mereka sebagai seniman petani dalam membentuk sejumlah konfigurasi tarian.
Para penari mengelokkan diri dalam menyuguhkan karya itu dengan menampilkan seni lukis tubuh dari kaki, tangan, hingga sekujur badan yang beraneka warga serta bentuk. Wajah para penari ditutup dengan topeng yang mewujudkan berbagai hewan, sedangkan kepala setiap mereka bertutup properti yang menggambarkan tanduk-tanduk menjulur ke atas.
Ritme tabuhan gamelan, berupa bende, bas drum, kendang, dan kentongan, pengiring Jingkrak Sundang yang terdengar dinamis, bisa saja membuat penonton "terbius" turut menjingkrakkan kaki saat menyaksikan tarian itu.
Tarian Jingkrak Sundang tidak mengesankan magis dan tanpa menghadirkan kesurupan. Gerakan tarian itu yang dinamis, kuat, dan riang, sesungguhnya ungkapan kritik sosial terkait dengan perilaku manusia dan ajakan kepada siapapun untuk menjaga kelestarian lingkungan alam.
"Supaya mengingatkan bahwa hewan butuh kebebasan bergerak di alamnya. Mereka butuh 'berjingrak' sesuai naluri masing-masing. Karena saat ini kehidupan mereka terjepit oleh keserakahan manusia hingga merusak alam, menebang pohon. Ada juga gerakan orang yang sedang mabuk minuman keras," tutur Sujono yang juga salah satu anggota kelompok tani di dusunnya.
Saking seringnya anggota Kelompok Tani Sedyo Mulyo Dusun Keron, bersama warga lainnya menyaksikan para pemuda Sanggar Saujana, baik saat berlatih maupun pentas Jingkrak Sundang, mereka menancapkan inspirasi tanduk dalam tarian tersebut menjadi kehendak mengembangkan usaha bersama pembibitan sapi.
"Kalau pas latihan ya pasti nonton. Ramai-ramai dengan lainnya. Malah saya juga sempat diajak Pak Jono ke Jakarta untuk mengikuti pentas. 'Sundangnya' itu memikat kami," kata Abdul Rozak yang pada masa mudanya menjadi pemain ketoprak dan penabuh gamelan.
Sebelum membangun kandang kelompok pada akhir 2012, secara perorangan petani setempat selain menggarap lahan pertanian juga memelihara sapi di dekat rumah masing-masing.
Indukan
Kelompok itu kemudian mengajukan usulan kepada Dispeterikan Pemkab Magelang untuk mendapatkan bantuan indukan sapi yang mereka sebut sebagai "babon". Proposal mereka terealisasi pada Oktober 2014 dengan turunnya 25 ekor "babon".
Namun, dua di antara 25 ekor indukan sapi itu, sakit dan kemudian tak tertolong sehingga saat ini mereka bertekun dengan 23 ekor sapi.
"Pemeliharaannya sesuai dengan kemampuan setiap anggota, ada yang mendapat satu, ada yang dua ekor 'babon'," ucapnya.
Mereka mengelola kandang kelompok itu dengan cukup baik, termasuk menjadwal ronda anggotanya untuk menjaga sapi-sapi saat malam hari. Setengah bulan sekali, mereka berkumpul untuk arisan kelompok dan pelayanan simpan pinjam untuk modal usaha lainnya.
Para peternak sapi mengusahakan pakan ternak, antara lain rumput, berbagai dedaunan "hijau-hijauan", bekatul, dan konsentrat.
Petugas Dispeterikan Pemkab Magelang dan petugas penyuluh dari kecamatan setempat juga secara rajin mengunjungi kelompok itu, untuk bertemu anggota dan memberikan penyuluhan tentang perkembangan terkini tentang usaha peternakan atau pembibitan sapi.
Petugas juga memberikan obat-obatan dan vitamin secara berkala. Pemkab Magelang juga membantu kendaraan bermotor roda tiga dengan bak terbuka untuk mengangkut pakan dan mesin pencacah rumput serta dedaunan "hijau-hijauan" lainnya untuk pakan sapi.
Saat peternak menjumpai tanda-tanda "babon" sedang birahi, mereka melalui pengurus kelompok bergegas melapor kepada petugas penyuluh supaya segera diberikan inseminasi buatan.
"Sudah ada 18 pedet di kandang kelompok kami. Saya sendiri sekarang punya tiga babon dan satu pedet. Itu hasil dari inseminasi. Pedet-pedetnya berusia antara enam hingga tujuh bulan," imbuhnya.
Di antara anggotanya, sudah ada yang menjual pedet tersebut melalui seorang pedagang sapi yang juga warga dusun itu dengan harga per ekor antara tujuh juta hingga delapan juta rupiah. Pembagian hasil penjualan pedet telah disepakati kelompok, yakni 80 persen untuk pemelihara dan 20 persen untuk operasional kelompok.
Tidak setiap anggota ingin segera menjual pedet ke pasaran ketika sedang menjadi "klangenan" (kesenangan, red.). Mereka umumnya masih disergap perasaan elok setiap memandang, memberi pakan, sambil merawat anak sapi saban hari, tanpa merasa tertimpa rugi modal melalui tenaga, pikiran, dan ketekunan memelihara sapinya selama ini.
"Dari limbah, kotorannya bisa berkali-kali kami menjual untuk pupuk. Satu 'colt' (mobil bak terbuka, red.) saat ini harganya Rp80 ribu. Urinenya juga dijual untuk pupuk. Kami juga mulai memikirkan mengolah urine menjadi biogas," ujarnya.
Memang tidak terburu-buru mereka melempar pedetnya ke pasar, karena usaha pembibitan sapi bukan satu-satunya jalan penghidupan sehari-hari anggota kelompok. Selain beternak sapi, mereka juga bertekun mengolah lahan pertanian, berdagang di pasar desa, membuka warung kelontong di rumah, dan menjadi tukang bangunan.
"'Mboten mligi lajeng disade, nek takseh remen disawang nggih kangge klangenan riyin' (Hasil beternak sapi tidak semata-mata untuk segera dijual, kalau masih senang, ya untuk dipandang dulu. Kami memuaskan batin dulu, red.)," tutur Abdul Rozak.
Segala jerih payah dan bertekun dalam kelompok ternak sapi, ternyata untuk mereka mendapatkan pemenuhan keseimbangan kebutuhan raga dan jiwa. Mungkin ihwal itulah bagian dari rangkuman pesan Jingkrak Sundang.