Ketika membuka perbincangan dengan sejumlah wartawan di pendopo instansi tersebut di kompleks Taman Wisata Candi Borobudur terkait gerhana Matahari, ia mengawali dengan pertanyaan, "Itu kalau jadi lho."
Pernyataan tersebut diulangnya beberapa kali dalam rangkaian perbincangan selama sekitar 1,5 jam dengan insan pers setempat sehingga suasana menjadi tersentuh warna gelak tawa.
Pada 1983, gerhana Matahari bahkan secara total terlihat dari candi Buddha terbesar di dunia yang pada 1991 dinyatakan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) sebagai warisan budaya dunia.
Kala itu, masyarakat umum, termasuk di sekitar Candi Borobudur, oleh rezim Orde Baru dilarang ke luar rumah untuk menyaksikan gerhana Matahari total karena pemahaman terkait risiko kebutaan. Namun, masyarakat bisa menyaksikan kejadian alam itu melalui siaran televisi.
"Orang Borobudur menyebut 'grahana', tapi yang tahun 1983 kan semua tidak boleh ke luar rumah untuk menonton," kata Robertus Sutopo, warga sekitar Candi Borobudur yang pada Rabu (9/3) pagi menyaksikan gerhana Matahari dari puncak stupa bangunan peninggalan sekitar abad ke-8 masa pemerintahan Dinasti Syailendra itu.
Pada gerhana Matahari 2016 itu, ia bersama sejumlah keluarganya naik hingga lokasi stupa puncak Candi Borobudur untuk menyaksikan fenomena alam tersebut, dengan membawa kamera untuk berfoto bersama. Mereka berada di tengah-tengah ratusan wisatawan, baik mancanegara dan nusantara, menyaksikan gerhana.
Marsis Sutopo dan para pegawai balai itu, serta sejumlah karyawan Unit Taman Wisata Candi Borobudur juga berada di puncak stupa Borobudur. Selain menyaksikan gerhana Matahari parsial, mereka juga memantau suasana kepariwisataan Borobudur saat terjadi peristiwa alam itu.
Tercatat 96 wisman dan wisnus bahkan sudah berada di puncak stupa itu sejak sekitar pukul 04.30 WIB untuk menunggu saat-saat terlihat dari jarak cukup jauh, terbitnya sinar Matahari di cakrawala timur, di sebelah selatan Gunung Merapi yang berdampingan dengan Gunung Merbabu.
Cahaya temaram berbentuk bulat dari Matahari terlihat indah dan terkesan menakjubkan selama sekitar 10 menit sejak pukul 05.48 WIB, untuk selanjutnya sinarnya tak mampu dilihat mata secara telanjang karena silau.
"Bahkan untuk pagi ini, wisatawan 'sunrise' Borobudur menunggu hingga munculnya gerhana Matahari," ujar Marsis.
Gerhana Matahari parsial yang bisa disaksikan wisatawan dari puncak Candi Borobudur selama sekitar pukul 06.30 hingga 08.30 WIB dengan puncaknya sekitar pukul 07.24 WIB itu, katanya, sebagai atraksi wisata yang menarik dan berbeda dengan hari-hari biasa.
Antara 80-83 persen terlihat gerhana Matahari yang dalam perspektif budaya Jawa juga dikenal sebagai kisah Batara Kala mencaplok Batara Surya tersebut.
Beberapa pengunjung pagi Candi Borobudur yang di antaranya ratusan pelajar dari berbagai kota, terutama di Pulau Jawa itu, terlihat mengabadikan peristiwa tersebut menggunakan kamera foto dilengkapi dengan peredam cahaya.
Sejumlah wisatawan menyaksikan gerhana itu dengan menggunakan bekas film negatif dan beberapa lainnya menggunakan kacamata khusus. Langit di atas stupa juga terlihat ada pesawat "drone" dengan kameranya.
Melalui sejumlah perangkat tersebut, cahaya Matahari terlihat bagaikan berbentuk sabit dengan lengkungnya di bagian garis lingkar kanan, sedangkan bulan yang tampak hitam bergerak perlahan-lahan menutup sebagian matahari di bagian belahan kiri.
Sejumlah petugas Balai Konservasi Borobudur mengabadikan peristiwa tersebut melalui pemotretan mereka secara saksama di sejumlah tempat. Kegiatan mereka selain untuk mendokumentasikan peristiwa alam, juga terkait dengan kepentingan institusi tersebut melakukan penelitian menyangkut dampak perubahan rona batuan candi atas gerhana.
"Sudah kita foto sampel batu, sebelum gerhana, saat gerhana, dan nanti pascagerhana. Hasilnya memang tidak bisa diperoleh dalam jangka pendek. Kita ingin mengetahui apakah ada dampak perubahan rona batuan Candi Borobudur atas gerhana hari ini," ujar Marsis.
Ia mengemukan pentingnya penelitian tersebut untuk menambah kekayaan pustaka terkait dengan konservasi candi yang dibangun di antara aliran Kali Elo dengan Progo, relatif tidak jauh dari Pegunungan Menoreh yang menjadi pembatas wilayah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dengan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, itu.
Sebelum beranjak dari stupa puncak Borobudur untuk mengantarkan beberapa orang melihat relief di lantai lima sisi utara candi itu, Marsis bertutur terkait dengan gerhana Matahari sebagai peristiwa dalam ilmu tata surya.
"Sebenarnya gerhana ini peristiwa alam, kalau dari perspektif astronomi, terkait dengan gerakan antarplanet, seolah menjadi saling berhubungan dalam satu garis antara Matahari, Bulan, dan Bumi, sehingga terjadi gerhana Matahari, begitu juga kalau dengan gerhana Bulan," katanya.
Relief di lantai lima yang dimaksud adalah dalam deretan cerita tentang ajaran Gandawyuha. Satu panel di dinding langkan kiri berupa tujuh bintang diapit Bulan sabit di kiri dan Matahari di kanan. Dalam panel tersebut juga terdapat relief bodhisatwa, figur seorang guru, orang suci, dan sejumlah figur bangsawan.
Masyarakat setempat menyebut deretan tujuh bintang itu sebagai "Lintang Kartika" yang maksudnya bintang dengan sinar yang terang.
Ia memastikan nenek moyang Bangsa Indonesia yang membangun Candi Borobudur menggenggam pemahaman istimewa dan luhur atas relief di panel tersebut, yang terbuka pula untuk diinterpretasikan sebagai pengetahuan mereka pada masa lalu terkait dengan astronomi dan astrologi.
"Bisa sebagai astronomi menurut pengetahuan tradisional, karena ada juga istilah 'lintang luku' untuk pedoman petani bercocok tanam, "bintang utara" untuk pedoman atau nagivasi nelayan dalam melaut," katanya.
Berbagai spekulasi pemaknaan atas relief "Lintang Kartika", selain adanya kemungkinan pemahaman nenek moyang atas ilmu astronomi, bisa juga sekitar abad itu memang mereka menjumpai peristiwa besar berupa Matahari, Bulan, dan tujuh bintang terlihat dalam garis lurus, sebagaimana pada 1983 terlihat gerhana Matahari total dan pada 2016 gerhana Matahari parsial dari Candi Borobudur.
"Mungkin saja waktu itu terlihat Matahari, Bulan, bintang muncul dalam waktu yang sama sehingga menjadi peristiwa besar seperti halnya saat ini terlihat gerhana Matahari," ucapnya.
Ia mengaku Balai Konservasi Borobudur hingga saat ini belum mempunyai secara khusus sarjana astronomi sehingga belum bisa membedah lebih banyak misteri Candi Borobudur dengan menggunakan pendekatan disiplin ilmu itu.
Akan tetapi, kesadaran untuk terus menerus mendokumentasikan berbagai peristiwa terkait dengan Candi Borobudur semakin menguat, yang antara lain dibuktikan dengan rencana Balai Konservasi Borobudur pada 2016 mengusulkan kepada UNESCO agar Candi Borobudur mendapatkan sertifikat sebagai "Memory of The World".
Begitu juga dengan lima pelukis yang tergabung dalam Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) 15. Dengan caranya dan berbarengan waktunya dengan gerhana Matahari parsial pada Rabu (9/3) pagi, mereka membuat karya lukis bertema gerhana Matahari di panggung terbuka, Aksobya, di dekat Candi Borobudur.
Mereka adalah Umar Chusaeni (Koordinator KSBI 15) dengan lukisan berjudul "Meditasi Pagi", Tanto Dekora "Detik-Detik Gerhana di Puncak Borobudur", Ismedi "Gerhana Bersinar", Kristiyono "Menjelang Gerhana Matahari", dan Munir TPR "Gerhana di Taman Aksobya".
"Kami ingin menorehkan catatan melalui karya lukis kami masing-masing di Candi Borobudur ini, bertepatan dengan momentum gerhana Matahari," kata Umar.
Seakan mereka tak ingin gerhana Matahari parsial yang tampak dari Candi Borobudur-nya tahun ini, melintas begitu saja, tanpa memori.