Pernyataan tersebut termaktub dalam surat yang ditujukan kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Kesehatan.
"Surat-surat tersebut diantarkan langsung perwakilan AMKI ke kementerian terkait, Selasa lalu (16/2). Surat diterima para sekretaris jenderal, dan pada umumnya mereka menyambut baik," kata Sekretaris Umum AMKI, Samsoe Bassaroedin, dalam siaran tertulisnya, Senin.
Ia mengatakan empat kementerian di atas memang dipandang sebagai pihak-pihak utama yang dapat mendukung penolakan gerakan LGBT karena gerakan LGBT mulai menyasar anak-anak usia sekolah.
Hal inilah, kata dia, yang mendasari pentingnya edukasi pada lembaga pendidikan sekolah dasar dan menengah. Selain itu, gaya hidup LGBT juga menyalahi aturan agama dan dapat menjadi sumber penyakit.
"Mereka akan tertimpa penyakit seksual berbahaya, seperti penyakit kulit eritema, fisura anal, iritasi usus besar, hingga HIV/AIDS," katanya.
Samsoe melanjutkan, AMKI mendorong kehadiran negara agar aktif dalam mengupayakan pencegahan gerakan LGBT dan sikap ini dilatarbelakangi sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila. AMKI juga merujuk pada Fatwa MUI Nomor 57/2014 yang mengharamkan lesbianisme, gay, sodomi, dan pencabulan.
"Diharapkan setelah ini kementerian dapat mengeluarkan SK menteri agar ada pelarangan dan tindakan tegas," kata dia.
Selain menentang keras dan melarang gerakan serta upaya penyebaran LGBT, AMKI juga mendorong kampus-kampus untuk menjalankan fungsi pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat.
Dikatakan dia pemenuhan Tri Dharma perguruan tinggi tersebut dapat dijewantahkan dalam strategi mengatasi LGBT sebagai penyimpangan perilaku seksual.
Hal ini berdasarkan dugaan gerakan LGBT itu bagian dari upaya pihak tertentu untuk menghancurkan mental dan ideologi bangsa dan sasaran empuk gerakan ini ialah mahasiswa, yang secara psikis tengah krisis identitas dan orientasi hidup.
"AMKI berusaha menangani bagaimana mendidik mahasiswa agar mereka juga mampu mengelola kebebasan yang mereka peroleh," kata ahli psikologi sekaligus anggota Dewan Pakar Masjid Salman ITB, Adriano Rusfi.
Mahasiswa juga berada dalam kondisi scientific euphoria and delusion dan banyak yang mudah terpukau ketika LGBT dibenarkan lewat teori-teori ilmiah. Adriano menganalogikan, banyak mahasiswa yang memiliki ilmu, namun tidak memahami filosofinya.
Karakter mahasiswa yang mudah berempati pada "kaum tertindas" pun dapat menjadi celah bagi penggerak LGBT. Pasalnya, kebanyakan propaganda LGBT menggambarkan penganutnya sebagai golongan yang teraniaya dan termarjinalkan.
"Kita ingin mahasiswa itu orientasinya bukan ketertindasan, tapi kebenaran," kata dia.