Selama ini belum banyak yang tahu bahwa bambu runcing itu bukan sekadar senjata biasa, tetapi sebelum digunakan para pejuang untuk menghadapi musuh, bambu runcing tersebut telah diberikan doa-doa oleh para kiai.
Salah satu kiai yang dikenal manjur doanya pada waktu itu adalah KH Subuki dari Parakan, Temanggung, Jawa Tengah. Bukan hanya pejuang dari Temanggung saja yang meminta doa kepada Kiai Bambu Runcing tersebut, tetapi banyak juga yang datang dari luar daerah.
K.H. Subuki mampu menggerakkan ratusan ribu manusia dan memberi inspirasi kepada para pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Subuki lahir di Kauman Parakan pada 1885, putra sulung dari seorang penghulu masjid, KH Harun Ar rosyid. Kakeknya, KH Abdul Wahab, pernah menjadi pengikut Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda.
Pada 1945-1948, Subuki aktif menerima dan mendoakan ribuan pejuang kemerdekaan. Saat itu, masyarakat percaya perjuangan melawan penjajah akan mendapat kemenangan bila senjata bambu runcing didoakan Kiai Subuki.
Peneliti sejarah dari IAIN Walisongo Semarang, Anasom dalam sebuah sarasehan yang difasilitasi Pemkab Temanggung mengatakan pelopor penggunaan bambu runcing sebagai senjata perjuangan adalah Kiai Subuki bin Kiai Harun Rosyid asal Kauman, Parakan, Temanggung.
Ia mengatakan Kiai Subuki di masa revolusi kemerdekaan dijuluki kiai bambu runcing oleh para kiai saat itu, karena beliaulah yang menciptakan bambu runcing, menyepuh atau memberi doa ke senjata tersebut dan mendoakan setiap pejuang atau laskar rakyat yang akan maju perang di setiap palagan.
Ia mengatakan saat itu banyak kiai yang menggembleng kanuragan para pejuang serta mendoakan bambu runcing, namun Kiai Subuki yang paling senior dan menjadi semacam guru besarnya.
"Seluruh kiai di nusantara saat itu memang berjuang melawan penjajah. Di Temanggung, Kiai Subuki mendirikan Barisan Muslimin Temanggung (BMT) dan beliau menjadi Rois Syuriyah NU Cabang Parakan saat itu. Saat itu para kiai Parakan menyepuh alias menyuwuk dengan doa, bambu runcing yang dibawa para anggota laskar pejuang," katanya.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Temanggung yang juga cicit Kiai Subuki, Yakub Mubarok mengatakan mereka yang ingin meminta doa pada Mbah Subuki harus melewati beberapa fase, antara lain "kungkum" atau berendam di dalam air, diguyur air, dan makan nasi kuning.
"Tahapan terakhir adalah Kiai Subuki bagian 'nyuwuk' atau 'nyebul' ," katanya.
Ia mengatakan jumlah pengikut Kiai Subuki tidak bisa dihitung, bukan hanya datang dari Pulau Jawa, tetapi juga dari Sumatera dan Kalimantan.
Wakil Bupati Temanggung Irawan Prasetyadi mengatakan, Pemkab Temanggung sangat berkepentingan agar K.H. Subuki mendapat gelar pahlawan, karena generasi muda sekarang sangat butuh figur teladan akan nilai nasionalisme, pengorbanan dan jiwa kepahlawanan.
Ia mengatakan sangat pantas jika warga Temanggung mengenal tokoh lokalnya yang berlevel nasional serta dicatat dalam sejarah perjuangan bangsa.
"Kami sangat perlu mendorong penganugerahan gelar pahlawan untuk K.H. Subuki. Tidak semata gelarnya yang penting, tetapi kami butuh teladan tentang kepahlawanan. Bagaimana semangat nasionalisme, penuh pengorbanan itu ditiru semua anak-anak kita hingga cucu-cucu kita kelak," katanya.
Kepala Bidang Potensi Dinas Sosial Kabupetan Temanggung, Asrori mengatakan hingga saat ini belum ada usulan resmi dari pihak keluarga agar mendapat gelar pahlawan nasional.
Ia menuturkan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam pengajuan tersebut, yakni ada buku tentang tokoh yang diusulkan dan telah diseminarkan dengan mengundang pakar sejarah, instansi pemerintah, dan tokoh masyarakat yang tahu perjuangan tokoh yang dimaksud.
"Seminar itu diselenggarakan pihak keluarga, tidak boleh menggunakan dana APBD," katanya.