"Dia sosok yang mengabdikan dirinya untuk meneliti masa silam nusantara. Sejak 1998 dia dengan biaya sendiri tapak tilas ulang, mencari rute desa-desa yang disebut dalam kitab Negarakertagama tentang perjalanan Raja Hayam Wuruk (Kerajaan Majapahit)," kata pendiri dan pengurus Yayasan Samana, penyelenggara BWCF, Seno Joko Suyono, di Magelang, Sabtu.
Dengan didampingi seorang kurator BWCF 2015 yang juga budayawan Romo Mudji Sutrisno dan pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Sutanto Mendut, dia menjelaskan tentang ketekunan Hadi menelusuri nama-nama desa yang tercantum dalam kitab karya Empu Prapanca itu yang mengikuti perjalanan Hayam Wuruk selama tiga bulan (September--Desamber 1359) sejauh 700 kilometer dari Trowulan ke arah timur di Blambangan.
Bahkan, kata Seno yang juga redaktur budaya Majalah Tempo itu, Hadi menyebut Empu Prapanca sebagai jurnalis pada masanya.
"Desa-desa yang telah ditemukan kembali, mungkin antara 70 dan 80 persen dari seluruh nama desa yang tertulis di Negarakertagama itu. Sisanya sulit dilacak karena banyak sebab," katanya.
Ia menjelaskan tentang berbagai pendekatan yang dilakukan Hadi dalam napak tilas ulang desa-desa yang tercantum dalam kitab tersebut.
"Ia terjun langsung ke lapangan, antara lain mewawancari para sesepuh desa, memperkaya informasi dari sumber lain seperti naskah kuno Calon Arang, maupun buku-buku lainnya sebagai pendukung," katanya.
Selama ini, kata dia, Negarakertagama lebih banyak dipelajari secara filologi dan tekstual, sedangkan Hadi melakukan penelitian dengan terjun langsung ke lapangan.
Seno mengatakan bahwa relatif cukup banyak desa dengan nama yang telah berubah dari apa yang tertulis dalam kitab Negarakertagama, juga ditemukan oleh Hadi Sidomulyo.
Hasil penelitiannya, kata dia, menjadi sumbangan yang berharga bagi perkembangan kebudayaan Indonesia.
"Ini prestasi yang luar biasa, menjadi sumbangan bagi perkembangan kebudayaan Indonesia dan memberikan inspirasi bagi para penulis," ujarnya.
Pada kesempatan itu, dia mengatakan bahwa Hadi juga mendata candi-candi yang tertanam di kawasan lereng Gunung Penanggungan Jawa Timur.
Ia menyatakan layak Hadi Sidomulyo menerima penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan pada BWCF yang bakal berlangsung di Candi Borobudur pada tanggal 12--14 November 2015 dengan tema "Gunung, Bencana, dan Mitos di Nusantara" itu.
Hadi Sidomulyo pernah menjadi konsultan pariwisata budaya Kanwil Parpostel DIY, Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur, Yayasan Promosi Pariwisata Jatim, Yayasan Nandiswara Jakarta, dan anggota Tim Ekspedisi Penanggungan Universitas Surabaya.
Sejumlah buku karyanya, antara lain "Bali: An Adventure in Cultural Ecology (1972), "Ikat: Traditional Textiles from Nusa Tenggara (1976), "Woven Treasure from Insular South East Asia (1981), "Rivers of Gold, Mountains of Fire (1989), "Discovering East Java (1990), "Memories of Majapahit" (1994), "Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca (2007), dan "Mengenal Situs Purbakala di Gunung Penanggungan" (2013).
Penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan yang menjadi ciri khas penyelenggaraan BWCF itu, diberikan kepada individu dan kelompok yang telah memberikan kontribusi besar dalam pengkajian budaya dan sejarah Nusantara, antara lain sejarawan, sastrawan, arkeolog, budayawan, penulis buku berlatar belakang sejarah, dramawan, dalang, rohaniwan, dan filolog.
Penghargaan tersebut pada tahun 2012 diberikan kepada Singgih Hadi Mintardja (almarhum), penulis cerita silat, pada tahun 2013 kepada Adrian Bernard Lapian (almarhum), sejarawan maritim, dan pada tahun 2014 kepada Peter Carey, sejarawan dari Inggris yang meneliti riwayat Pangeran Diponegoro.