Tidak lama kemudian, sekitar 40 pria dan wanita yang mengenakan pakaian adat Banyumasan tampak berjalan menuju teras masjid, beberapa di antaranya membawa sesaji sedangkan lainnya memanggul "lodong" (gelondongan bambu sepanjang 2 meter dengan ujung dibuat runcing dan digunakan sebagai tempat air, red.) dan "kokok" ('lodong' berukuran kecil, red.).
Mereka pun duduk di hadapan seorang sesepuh masyarakat guna menyampaikan permohonan izin untuk mengambil air dari sumber Tuk Si Kopyah di lereng Gunung Slamet.
Air itu akan digunakan untuk mengairi lahan pertanian guna meningkatkan kesejahteraan petani lereng Gunung Slamet.
Mendengar permintaan tersebut, sesepuh pun segera memohon doa kepada Allah SWT demi keselamatan masyarakat yang akan mengambil air dari Tuk Si Kopyah.
Setelah memohon doa, sesepuh bersama masyarakat segera berjalan menyusuri lereng Gunung Slamet menuju Tuk Si Kopyah sejauh dua kilometer sambil membawa "lodong" dan "kokok" dengan diiringi rebana.
Sesampainya di Tuk Si Kopyah, sesepuh masyarakat segera memimpin doa sebelum pengambilan air dimulai.
Air itu dimasukkan ke dalam "lodong" maupun "kokok" dan setelah selesai, sesepuh kembali memimpin doa.
"Lodong" dan "kokok" berisi air itu selanjutnya dibawa ke Balai Desa Serang untuk disemayamkan sebelum dibagikan ke masyarakat pada Sabtu (6/6).
Prosesi pengambilan air dari Tuk Si Kopyah itu sengaja digelar untuk mengawali kegiatan Festival Gunung Slamet (FGS) 2015 yang baru pertama kali diselenggarakan di Desa Serang.
Ketua Panitia FGS 2015 Tridaya Kartika mengatakan bahwa prosesi pengambilan air dari Tuk Si Kopyah sebenarnya merupakan sebuah tradisi budaya yang digelar masyarakat Desa Serang setiap bulan Muharam atau Sura.
"Gunung Slamet sebagai anugerah Allah SWT memiliki mata air Tuk Si Kopyah yang merupakan sumber kehidupan bagi warga Desa Serang, Siwarak, dan Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga. Bahkan, sampai Gombong, Kabupaten Pemalang," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, pihaknya ingin mengangkat tradisi budaya tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang mengunjungi Desa Serang, Siwarak, dan Kutabawa.
Selain prosesi pengambilan air, lanjut dia, dalam FGS 2015 juga digelar "perang" tomat dan stroberi pada hari Jumat (5/6).
Ia mengatakan bahwa "perang" tomat dan stroberi itu digelar berdasarkan cerita para sesepuh mengenai tradisi perang cambuk antara warga Dusun Kaliurip dan Dusun Gunungmalang.
"Perang cambuk itu ditujukan untuk menimbulkan 'kanuragan', kesaktian, dan kehebatan seseorang," katanya.
Menurut dia, perang cambuk itu diadaptasi dengan "perang" tomat dan stroberi yang merupakan produksi andalan warga Serang maupun Kutabawa.
Kendati demikian, dia mengatakan bahwa tomat dan stroberi yang akan digunakan untuk "perang" bukanlah buah segar melainkan hasil afkiran.
"Tomat dan stroberi yang tidak laku dijual karena busuk atau sudah afkir, banyak yang dibiarkan begitu saja maupun dipendam. Buah-buah yang seperti itu kita beli untuk digunakan saat 'perang' tomat dan stroberi," katanya.
Sementara itu, Kepala Desa Serang Sugito mengharapkan kegiatan FGS dapat menjadi agenda tahunan sebagai upaya meningkatkan kunjungan wisatawan.
Bahkan, kata dia, masyarakat sangat antusias untuk berpartisipasi agar penyelenggaraan FGS 2015 lebih meriah, salah satunya dengan memasang lampion pada Rabu (3/6) malam.
"Acara ini sangat bermanfaat karena bisa mengundang wisatawan berdatangan ke Desa Serang dan 'multiplier effect'-nya banyak sekali bagi warga, khususnya petani yang mengembangkan kebun stroberi," katanya.
Selain dikenal sebagai kawasan agrowisata, kata dia, Desa Serang yang berada di lereng timur Gunung Slamet pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut juga memiliki berbagai keindahan alam yang dapat dinikmati wisatawan dan telah dilengkapi dengan wahana permainan anak termasuk lokasi untuk menyaksikan matahari terbit di Bukit Kelir.
Menurut dia, di Desa Serang saat ini telah terdapat 68 "homestay" dan setiap unit menyediakan dua-tiga kamar yang bisa disewa oleh wisatawan.
"Dengan adanya kegiatan FGS, tingkat huniannya melonjak sekitar 100 persen dari hari-hari biasa. Sementara untuk jumlah kunjungan wisatawan pada hari-hari biasa rata-rata 500 orang dan saat hari libur bisa mencapai 1.500 orang," katanya.
Ia mengharapkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Desa Serang selama penyelenggaraan FGS 2015 yang akan digelar hingga tanggal 6 Juni dapat mencapai 5.000 orang.
Kendati demikian, dia mengharapkan kegiatan FGS dapat digelar setiap bulan Muharam atau Sura karena prosesi pengambilan air dari Tuk Si Kopyah selalu dilaksanakan pada bulan itu.
"Dengan demikian, masyarakat tidak perlu dua kali menggelar prosesi pengambilan air. Itu juga demi kesakralan prosesi," katanya.
Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Dinbudparpora) Purbalingga Subeno mengatakan bahwa kegiatan FGS 2015 memiliki potensi yang besar dalam menarik kunjungan wisatawan meskipun baru pertama kali digelar dan masih banyak kekurangan.
"Kelihatannya masyarakat luar biasa, prosesi berjalan sangat hikmat. Itu sebetulnya yang menjadi kekuatan nanti ke depan. Insya Allah ke depan, kita akan coba dukung," katanya.
Bahkan, kata dia, Gubernur Jawa Tengah setuju jika kegiatan FGS diangkat sebagai agenda provinsi pada tahun 2016 dengan melibatkan kabupaten lain.
Menurut dia, pihaknya sebenarnya sudah mencoba empat kabupaten lainya di sekitar Gunung Slamet, yakni Banyumas, Pemalang, Tegal, dan Brebes untuk ikut berpartisipasi.
Oleh karena keterbatasan anggaran dan sebagainya, lanjut dia, rencana melibatkan kabupaten sekitar Gunung Slamet dibatalkan.
"Insya Allah tahun depan bisa lebih semarak lagi," katanya.
Ia mengatakan bahwa pihaknya akan mengevaluasi pelaksanaan FGS 2015 agar bisa disempurnakan pada penyelenggaraan tahun berikutnya.
"Kita berharap FGS ini bisa menjadi ikon, tidak hanya untuk Purbalingga tetapi juga kabupaten di sekitar Gunung Slamet," katanya.
Terkait harapan masyarakat agar FGS diselenggarakan pada bulan Muharam, Subeno mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan pendekatan dengan masyarakat karena hal itu tidak bisa sekadar logika.