Solo (ANTARA) -
 
Banjir besar yang kembali menerjang Sumatera bukan semata musibah alam. Ia adalah bukti telanjang bahwa kita belum benar-benar siaga menghadapi bencana. Ironisnya, tanda-tanda bahaya sudah disampaikan jauh-jauh hari. 

BMKG mengeluarkan peringatan cuaca ekstrem sejak delapan hari sebelum banjir melanda, lengkap dengan penjelasan potensi hujan lebat dan peningkatan risiko banjir bandang. Peringatan itu kemudian diperbarui empat hari dan dua hari sebelum kejadian. 

Namun, seperti yang sering terjadi, peringatan dini itu menguap begitu saja, tidak direspons dengan langkah antisipasi yang memadai oleh pemerintah daerah maupun pusat. Padahal, peringatan dini adalah kesempatan emas untuk menyelamatkan nyawa. Dengan waktu delapan hari, seharusnya pemerintah bisa mengaktifkan pos siaga, mengirimkan imbauan langsung ke desa-desa rawan, membersihkan drainase kritis, menyiapkan lokasi evakuasi, hingga melarang aktivitas berisiko di daerah yang telah dipetakan sebagai zona bahaya. 

Namun tidak ada tindakan besar yang terlihat. Tidak ada penutupan akses menuju daerah rawan. Tidak ada relokasi sementara. Tidak ada simulasi siaga. Warga baru bergerak ketika air sudah tiba di depan pintu rumah mereka.
Bencana ini menunjukkan bahwa kita belum berhasil menempatkan informasi ilmiah sebagai dasar kebijakan. 

Jika BMKG sudah memberi sinyal bahaya, maka kegagalan mencegah korban adalah kegagalan kita sebagai negara. Kita sering menyalahkan cuaca, tetapi jarang bercermin bahwaminimnya kesiapsiagaan adalah faktor terbesar yang memperbesar kerugian.

Kegagalan antisipasi ini makin terlihat ketika kita melihat kondisi geografis Sumatera. Dalam dua dekade terakhir, hulu sungai yang seharusnya menjadi pelindung alami mengalami deforestasi hebat. Lahan-lahan miring berubah menjadi kebun monokultur dan permukiman baru. 

Kemampuan tanah menyerap air berkurang drastis. Saat hujan ekstrem datang, air tidak lagi tertahan. Ia berlari bebas ke sungai, merangsek ke desa, dan menghancurkan apa pun yang berada di jalurnya. Di hilir, masalahnya tak kalah pelik. Banyak kota di Sumatera tumbuh tanpa disiplin tata ruang yang kuat. 

Sungai dipersempit bangunan, drainase dangkal, dan kawasan rawan banjir tetap dihuni tanpa mekanisme mitigasi yang jelas. Maka, ketika hujan ekstrem bertemu ruang yang rusak, bencana pun menjadi keniscayaan.

Dan sekali lagi, peringatan dini BMKG terbukti tidak cukup jika tidak berubah menjadi tindakan nyata. Korban banjir Sumatera bukan sekadar angka. Mereka adalah warga yang kehilangan rumah, orang tua yang menggendong anak menembus arus, para lansia yang harus dievakuasi di tengah malam, serta keluarga yang berduka karena kehilangan anggota keluarganya. 

Setiap tahun kita menyaksikan adegan yang sama, warga berlarian membawa barang seadanya, relawan sibuk mendistribusikan logistik, dan pemerintah kembali berjanji “akan mengevaluasi”.
 
Janji evaluasi tidak akan mengembalikan rumah yang hanyut, apalagi nyawa. Yang dibutuhkan masyarakat adalah negara yang benar-benar siaga. Negara yang menjadikan peringatan BMKG sebagai perintah untuk bertindak, bukan sekadar laporan untuk dibaca.

Apa yang mesti dilakukan sekarang? Pertama, peringatan dini BMKG harus diikuti dengan protokol operasional standar yang mengikat, setiap rilis peringatan cuaca ekstrem harus memicu level tindakan administratif yang jelas, siapa bertugas mengevakuasi, siapa menyiapkan logistik, siapa menutup akses, dan bagaimana alur informasi sampai ketingkat dusun. 

Kedua, penguatan kapasitas daerah penting, anggaran mitigasi, peralatan evakuasi, pelatihan komunitas, dan jejaring relawan harus disiapkan jauh sebelum musim hujan. Ketiga, penegakan tata ruang dan kehutanan di hulu harus dipercepat untuk mengurangi risiko hidrometeorologis jangka panjang. 

Keempat, mekanisme evaluasi publik atas respon pemda perlu transparan, masyarakat harus tahu apakah peringatan dini pernah sampai dan mengapa langkah antisipatif dilakukan atau tidak. 
 
Peringatan BMKG delapan hari sebelum bencana bukanlah klaim kosong, itu adalah kesempatan yang nyata untuk menyelamatkan nyawa dan mengurangi dampak. Jika kesempatan itu dilewatkan, maka kita harus bertanya keras, apakah kita memang belum belajar, atau sengaja memilih untuk tidak bertindak? 

Di saat ancaman iklim makin nyata dan kejadian ekstrem semakin sering, kelalaian antisipatif seperti ini bukan lagi sekadar kesalahan administratif, ia telah menjadi dosa kolektif terhadap keselamatan publik.

Dosen Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Choirul Amin


Pewarta : Aris Wasita
Editor : Immanuel Citra Senjaya
Copyright © ANTARA 2025