Semarang (ANTARA) - Pemerintah Kota Semarang menargetkan bebas penyakit tuberkulosis (TBC) pada 2028, salah satu dengan mengintensifkan Tim Percepatan Penanggulangan TBC (TP2TBC) di lintas sektor, baik pemerintah maupun nonpemerintah.
"Komitmen bersama dalam upaya penanggulangan TBC di mana target eliminasi TBC pemerintah pusat adalah pada 2030 dapat tercapai, Kota Semarang optimistis dapat mencapai pada tahun 2028," kata Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu, dalam pernyataan, di Semarang, Rabu.
Menurut dia, TP2TBC sebenarnya sudah ada sejak Mei 2024, tetapi saat ini terus diintensifkan, termasuk menajamkan aksi nyata melalui workshop sosialisasi dan perencanaan kerja pada lintas OPD di Kota Semarang.
Ita, sapaan akrab Hevearita mengatakan bahwa para anggota TP2TBC harus memahami mengenai tugas, peran, dan fungsinya, serta bisa bekerja sama dengan baik dalam penanggulangan TBC di Kota Semarang.
Meski target eliminasi TBC yang ambisius, kata dia, target tersebut bukan berarti tidak mungkin tercapai sehingga membutuhkan kerja sama semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan organisasi nonpemerintah.
Sementara itu, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Menular Langsung Dinas Kesehatan Kota Semarang Anggun Dessita Wandastuti bahwa ada banyak sektor dan semua OPD terlibat, ditambah swasta, media, dan akademisi pada TP2TBC.
TP2TBC, kata dia, sebenarnya sudah ada sejak bulan Mei 2024 yang diawali bahwa permasalahan TBC bukan pada persoalan kesehatan saja, tapi ada efek sosial ekonomi yang terdampak pada pasien dan lingkungannya.
Banyak terjadi pasien TBC akhirnya tidak produktif, dikucilkan, diskriminasi lingkungan kerja hingga pemecatan hubungan kerja oleh tempat kerja yang berdampak pada kondisi sosial dan ekonomi keluarga pasien.
"Implementasi awal lebih pada penanganan sosial ekonomi, jadi mulai identifikasi dari masing-masing pasien apakah memang membutuhkan dalam mendukung pasien itu agar selesai pengobatannya," katanya.
Ia menjelaskan penanganan preventif TBC lebih banyak pada peran edukasi lintas sektor, misalnya edukasi yang memiliki kelompok binaan, kelompok sasaran, dengan minimal ada edukasi, sedangkan kuratifnya pada pasien yang membutuhkan bantuan.
Mengenai kondisi kasus TBC di Kota Semarang, ia menyebutkan ada 3.400-an kasus baru, dengan hampir 500 pasien baru per bulan di kota Semarang yang mencakup anak-anak, balita, usia produktif, lansia dari semua kalangan strata sosial ekonomi.
Untuk fasilitas kesehatan sudah ada di semua rumah sakit, puskesmas dan menyasar klinik swasta juga, lanjut dia, dan sudah ada 130 klinik swasta yang aktif dalam pengobatan TBC, termasuk layanan BPJS Kesehatan.
"Jadi, penanganan tidak hanya di rumah sakit, misal yang tidak ada komorbid atau penyulit, dia cukup pengobatan di puskesmas dan klinik ini kan lebih dekat dari akses pengobatan dan rumah mereka," katanya.
Baca juga: Pemkot Pekalongan deteksi dini kasus tuberkulosis
"Komitmen bersama dalam upaya penanggulangan TBC di mana target eliminasi TBC pemerintah pusat adalah pada 2030 dapat tercapai, Kota Semarang optimistis dapat mencapai pada tahun 2028," kata Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu, dalam pernyataan, di Semarang, Rabu.
Menurut dia, TP2TBC sebenarnya sudah ada sejak Mei 2024, tetapi saat ini terus diintensifkan, termasuk menajamkan aksi nyata melalui workshop sosialisasi dan perencanaan kerja pada lintas OPD di Kota Semarang.
Ita, sapaan akrab Hevearita mengatakan bahwa para anggota TP2TBC harus memahami mengenai tugas, peran, dan fungsinya, serta bisa bekerja sama dengan baik dalam penanggulangan TBC di Kota Semarang.
Meski target eliminasi TBC yang ambisius, kata dia, target tersebut bukan berarti tidak mungkin tercapai sehingga membutuhkan kerja sama semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan organisasi nonpemerintah.
Sementara itu, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Menular Langsung Dinas Kesehatan Kota Semarang Anggun Dessita Wandastuti bahwa ada banyak sektor dan semua OPD terlibat, ditambah swasta, media, dan akademisi pada TP2TBC.
TP2TBC, kata dia, sebenarnya sudah ada sejak bulan Mei 2024 yang diawali bahwa permasalahan TBC bukan pada persoalan kesehatan saja, tapi ada efek sosial ekonomi yang terdampak pada pasien dan lingkungannya.
Banyak terjadi pasien TBC akhirnya tidak produktif, dikucilkan, diskriminasi lingkungan kerja hingga pemecatan hubungan kerja oleh tempat kerja yang berdampak pada kondisi sosial dan ekonomi keluarga pasien.
"Implementasi awal lebih pada penanganan sosial ekonomi, jadi mulai identifikasi dari masing-masing pasien apakah memang membutuhkan dalam mendukung pasien itu agar selesai pengobatannya," katanya.
Ia menjelaskan penanganan preventif TBC lebih banyak pada peran edukasi lintas sektor, misalnya edukasi yang memiliki kelompok binaan, kelompok sasaran, dengan minimal ada edukasi, sedangkan kuratifnya pada pasien yang membutuhkan bantuan.
Mengenai kondisi kasus TBC di Kota Semarang, ia menyebutkan ada 3.400-an kasus baru, dengan hampir 500 pasien baru per bulan di kota Semarang yang mencakup anak-anak, balita, usia produktif, lansia dari semua kalangan strata sosial ekonomi.
Untuk fasilitas kesehatan sudah ada di semua rumah sakit, puskesmas dan menyasar klinik swasta juga, lanjut dia, dan sudah ada 130 klinik swasta yang aktif dalam pengobatan TBC, termasuk layanan BPJS Kesehatan.
"Jadi, penanganan tidak hanya di rumah sakit, misal yang tidak ada komorbid atau penyulit, dia cukup pengobatan di puskesmas dan klinik ini kan lebih dekat dari akses pengobatan dan rumah mereka," katanya.
Baca juga: Pemkot Pekalongan deteksi dini kasus tuberkulosis