Magelang (ANTARA) - Kalangan seniman berbasis pertanian, Komunitas Lima Gunung, Kabupaten Magelang rutin menggelar Festival Lima Gunung.
Tahun ini sebagai ke-18 mereka selenggarakan festival itu dengan lokasi di kawasan barat daya puncak Gunung Merapi di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Festival tahun ini selama 5-7 Juli 2019 dengan tema "Gunung Lumbung Budaya".
Sekitar 77 agenda pementasan berlangsung dalam festival mandiri atau tanpa bantuan pemerintah maupun pengusaha. Mereka andalkan festival dari kekuatan diri komunitas bersama warga dusun sebagai tuan rumahnya.
Sejak 2010 atau festival kesembilan, komunitas itu bersumpah melalui tanda tangan di atas tanah oleh para tokohnya yang kemudian dikenal sebagai "Sumpah Tanah", untuk membuat festival tanpa sponsor.
Dalam rangkaian festival tahun ini, pengajar Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Joko Aswoyo, meluncurkan buku tentang komunitas itu berjudul "Sumpah Tanah". Proses penyusunan buku berlangsung sejak 2010, bersamaan waktunya dengan risetnya terhadap Komunitas Lima Gunung itu untuk mencapai gelar doktor di perguruan tinggi kesenian, tempatnya mengabdi.
Kemandirian penyelenggaraan Festival Lima Gunung membuat siapa saja yang hadir terasa bergetar. Komunitas tidak membayar para penampil, sedangkan pementas pun tidak membayar untuk ikut berfestival.
Begitu pula penonton, tidak dibayar dan tidak membayar, kecuali untuk parkir kendaraan dan mendapatkan makan dan minum yang disediakan para pedagang kaki lima di arena festival.
Para pementas bukan hanya grup kesenian dari dusun-dusun basis Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang, tetapi juga tetangga desa tuan rumah, jejaring komunitas di Magelang dan kota-kota di luar daerah itu, dan bahkan dari luar negeri
Festival Lima Gunung juga bukan ajang berlomba untuk mencari juara, akan tetapi memperkuat seserawungan, saling belajar hidup berkesenian dan menjaga tradisi budaya, membangun persaudaraan, kekeluargaan, serta silaturahim melalui jalan berkesenian.
Selama ini, para tamu dari luar kota dan luar negeri, baik hendak menonton maupun ingin menyuguhkan kesenian, disediakan penginapan gratis di rumah-rumah warga. Untuk keperluan makan, mereka mendapatkan sajian dari tuan rumah atau membeli di warung-warung sekitar. Selama hari festival, mereka mereguk aura dan energi kehidupan warga desa tuan rumah festival itu.
Baca juga: Festival Lima Gunung 2019 digarap milenial desa
Penonton yang tidak menginap pun beroleh energi kebahagiaan menyaksikan pementasan demi pementasan yang selalu diusahakan hadir secara mengalir di panggung festival.
Setiap personel panitia, pegiat komunitas, dan warga desa tuan rumah diingatkan selalu menggenggam kartu sakti, berupa nilai-nilai kehidupan desa yang antara lain ramah, sopan santun, arif, bijaksana, dan toleran dalam menyambut dan melayani para tamu.
Orang desa di Jawa memiliki nilai luhur dalam menerima tamu, melalui ungkapan "lungguh, suguh, gupuh", yang menunjuk kepada sikap tulus menghormati, memberikan sajian terbaik sesuai kemampuan, dan bersemangat gembira atas kedatangan orang lain.
Setiap orang yang hadir dalam atmosfer Festival Lima Gunung, dibawa kepada kepemilikan tanggung jawab atas keberadaannya dalam ruang, waktu, dan nilai pesta kebudayaan. Mereka dibawa kepada aura nilai kehidupan desa, memasuki inspirasi dan imajinasi desa dengan masyarakat, lingkungan alam, dan zaman kekiniannya.
Baca juga: 16 seniman performa gerak "Mbuka Lumbung Gunung" di Sungai Senowo
Siapa pun yang hadir pada festival, mengambil peran penting menyukseskan perhelatan itu. Baik panitia, pegiat komunitas, warga setempat, penampil, maupun penonton beroleh kebebasan untuk bersama-sama memiliki Festival Lima Gunung.
Bahkan, para penyimak jarak jauh dari tempat festival, melalui media massa dan media sosial atau pun mendapat kabar secara "gethok tular" (dari mulut ke mulut), beroleh sertifikat ikut berfestival. Dominasi "like" (suka) atau emotikon positif di dunia maya, setidaknya menunjuk hal itu.
Tampilan di atas panggung sebagai baik atau tidak baik, menarik atau kurang memikat, bukan ukuran kehebatan atau ketidakhebatan, sukses atau gagalnya Festival Lima Gunung. Tampilan mereka untuk membawa penonton merapat sedekat mungkin dengan panggung, lalu melepaskan penat pikiran dan hati dari rutinitas segala aspek kehidupan. Festival dibangun untuk bergembira bersama, baik di atas panggung maupun di bawah dan di balik panggung.
Panggung Festival Lima Gunung menjadi titik simpul setiap kerumunan massa secara tertib dan gembira. Mereka tersenyum, tertawa, mongkok, dan bertepuk tangan bersama. Dilarang sedih di Festival Lima Gunung.
Penonton yang merasa direnggut bosan di dekat panggung atau merasakan butuh energi badaniah untuk melanjutkan lagi menonton pementasan, setiap saat bisa keluar arena, lalu menikmati jajanan yang dipentaskan para pedagang.
Kiranya bisa dicatat bahwa kebiasaan warga desa di kawasan lima gunung di Kabupaten Magelang merapat ke panggung ketika gamelan ditabuh, itu salah satu kekuatan yang dikutip untuk menjadi bagian penyelenggaraan festival tahunan dengan lokasi berpindah-pindah di dusun-dusun basis komunitas itu.
Oleh karenanya, panitia dan komunitas selalu berusaha menaati waktu pementasan. Penampil pun diingatkan tentang disiplin waktu, sejak berangkat dari tempat basis grupnya hingga lokasi festival, disiplin waktu juga untuk merias dan berkostum diri, bahkan disiplin mengusung perangkat pementasan, serta disiplin waktu di atas panggung.
Sudah hadir atau belum ada penonton, jika waktu sudah tiba, pementas harus naik naik panggung. Panitia akan cepat bersiasat agar panggung tetap hidup, jika toh kondisi emergensi tidak terelakkan. Terlebih pada era digital sekarang dengan telepon pintar dan media sosial, kehadiran pementas di atas panggung bisa disaksikan secara kekinian oleh publik lebih luas, tidak hanya warga desa tuan rumah festival.
Budayawan Magelang Sutanto Mendut yang membangun komunitas dan merintis festival selama sekitar 20 tahun terakhir, selalu menjadi tempat bertanya siapa saja dengan berbagai latar belakang. Banyak pertanyaan kepada dirinya tentang manajemen komunitas dengan festivalnya itu.
Baca juga: Museum Lima Gunung koleksi gambus bambu Slamet Gundono
Tidak mudah memahami penjelasan Sutanto tentang manajemen komunitas dan festival itu. Tidak ada satu kata kunci paling pas untuk memahami atau bahkan meniru membuat lalu menghidupi komunitas dan menyelenggarakan festival tahunan sebagaimana menunjuk Komunitas Lima Gunung dengan Festival Lima Gunung-nya.
Beberapa poin untuk itu mungkn bisa disebut meskipun tidak mewakili pemahaman secara komprehensif terhadap Komunitas Lima Gunung dan festivalnya, seperti tentang penghargaan kepada sesama dan untuk kepentingan kemanusiaan, kekuatan nilai-nilai berjodoh, ketulusan bergaul antarpersonal komunitas, dan kesadaran bahwa hidup tidak selalu begitu, apalagi begitu-begitu saja, namun berubah, tumbuh, dan berkembang, lalu mangkat.
Sutanto juga pernah mengajak para petinggi komunitas berpikir atau pun sekadar membayangkan, untuk sekali-kali tidak menyelenggarakan Festival Lima Gunung.
Kalau pun ajakan itu terjadi, barangkali akan menjadi peristiwa unik dan istimewa, melahirkan getaran tersendiri bagi siapa saja, tidak hanya pegiat komunitas. Karena yang belum terjadi selama ini adalah sekali-kali tidak ada Festival Lima Gunung.
Barangkali peristiwa sekali-kali tanpa Festival Lima Gunung, juga akan menjadi catatan kekayaan tersendiri bagi komunitas dan personal pegiatnya.
Peristiwa itu, termasuk melengkapi jejak-jejak digital Komunitas Lima Gunung yang selama ini belum ada catatan tentang sekali-kali tidak membuat Festival Lima Gunung. Mungkin, jagat digital pun juga tergetar.
Baik Sutanto Mendut maupun Komunitas Lima Gunung sampai saat ini memang belum ingin menutup Festival Lima Gunung sebagai agenda tahunan tanpa sponsor.
Oleh karenanya, getaran penyelenggaraan festival itu masih bakal berlanjut pada tahun-tahun mendatang. Tentu saja, seizin sponsor utama mereka. Tuhan, Insyaallah!
Tahun ini sebagai ke-18 mereka selenggarakan festival itu dengan lokasi di kawasan barat daya puncak Gunung Merapi di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Festival tahun ini selama 5-7 Juli 2019 dengan tema "Gunung Lumbung Budaya".
Sekitar 77 agenda pementasan berlangsung dalam festival mandiri atau tanpa bantuan pemerintah maupun pengusaha. Mereka andalkan festival dari kekuatan diri komunitas bersama warga dusun sebagai tuan rumahnya.
Sejak 2010 atau festival kesembilan, komunitas itu bersumpah melalui tanda tangan di atas tanah oleh para tokohnya yang kemudian dikenal sebagai "Sumpah Tanah", untuk membuat festival tanpa sponsor.
Dalam rangkaian festival tahun ini, pengajar Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Joko Aswoyo, meluncurkan buku tentang komunitas itu berjudul "Sumpah Tanah". Proses penyusunan buku berlangsung sejak 2010, bersamaan waktunya dengan risetnya terhadap Komunitas Lima Gunung itu untuk mencapai gelar doktor di perguruan tinggi kesenian, tempatnya mengabdi.
Kemandirian penyelenggaraan Festival Lima Gunung membuat siapa saja yang hadir terasa bergetar. Komunitas tidak membayar para penampil, sedangkan pementas pun tidak membayar untuk ikut berfestival.
Begitu pula penonton, tidak dibayar dan tidak membayar, kecuali untuk parkir kendaraan dan mendapatkan makan dan minum yang disediakan para pedagang kaki lima di arena festival.
Para pementas bukan hanya grup kesenian dari dusun-dusun basis Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang, tetapi juga tetangga desa tuan rumah, jejaring komunitas di Magelang dan kota-kota di luar daerah itu, dan bahkan dari luar negeri
Festival Lima Gunung juga bukan ajang berlomba untuk mencari juara, akan tetapi memperkuat seserawungan, saling belajar hidup berkesenian dan menjaga tradisi budaya, membangun persaudaraan, kekeluargaan, serta silaturahim melalui jalan berkesenian.
Selama ini, para tamu dari luar kota dan luar negeri, baik hendak menonton maupun ingin menyuguhkan kesenian, disediakan penginapan gratis di rumah-rumah warga. Untuk keperluan makan, mereka mendapatkan sajian dari tuan rumah atau membeli di warung-warung sekitar. Selama hari festival, mereka mereguk aura dan energi kehidupan warga desa tuan rumah festival itu.
Baca juga: Festival Lima Gunung 2019 digarap milenial desa
Penonton yang tidak menginap pun beroleh energi kebahagiaan menyaksikan pementasan demi pementasan yang selalu diusahakan hadir secara mengalir di panggung festival.
Setiap personel panitia, pegiat komunitas, dan warga desa tuan rumah diingatkan selalu menggenggam kartu sakti, berupa nilai-nilai kehidupan desa yang antara lain ramah, sopan santun, arif, bijaksana, dan toleran dalam menyambut dan melayani para tamu.
Orang desa di Jawa memiliki nilai luhur dalam menerima tamu, melalui ungkapan "lungguh, suguh, gupuh", yang menunjuk kepada sikap tulus menghormati, memberikan sajian terbaik sesuai kemampuan, dan bersemangat gembira atas kedatangan orang lain.
Setiap orang yang hadir dalam atmosfer Festival Lima Gunung, dibawa kepada kepemilikan tanggung jawab atas keberadaannya dalam ruang, waktu, dan nilai pesta kebudayaan. Mereka dibawa kepada aura nilai kehidupan desa, memasuki inspirasi dan imajinasi desa dengan masyarakat, lingkungan alam, dan zaman kekiniannya.
Baca juga: 16 seniman performa gerak "Mbuka Lumbung Gunung" di Sungai Senowo
Siapa pun yang hadir pada festival, mengambil peran penting menyukseskan perhelatan itu. Baik panitia, pegiat komunitas, warga setempat, penampil, maupun penonton beroleh kebebasan untuk bersama-sama memiliki Festival Lima Gunung.
Bahkan, para penyimak jarak jauh dari tempat festival, melalui media massa dan media sosial atau pun mendapat kabar secara "gethok tular" (dari mulut ke mulut), beroleh sertifikat ikut berfestival. Dominasi "like" (suka) atau emotikon positif di dunia maya, setidaknya menunjuk hal itu.
Tampilan di atas panggung sebagai baik atau tidak baik, menarik atau kurang memikat, bukan ukuran kehebatan atau ketidakhebatan, sukses atau gagalnya Festival Lima Gunung. Tampilan mereka untuk membawa penonton merapat sedekat mungkin dengan panggung, lalu melepaskan penat pikiran dan hati dari rutinitas segala aspek kehidupan. Festival dibangun untuk bergembira bersama, baik di atas panggung maupun di bawah dan di balik panggung.
Panggung Festival Lima Gunung menjadi titik simpul setiap kerumunan massa secara tertib dan gembira. Mereka tersenyum, tertawa, mongkok, dan bertepuk tangan bersama. Dilarang sedih di Festival Lima Gunung.
Penonton yang merasa direnggut bosan di dekat panggung atau merasakan butuh energi badaniah untuk melanjutkan lagi menonton pementasan, setiap saat bisa keluar arena, lalu menikmati jajanan yang dipentaskan para pedagang.
Kiranya bisa dicatat bahwa kebiasaan warga desa di kawasan lima gunung di Kabupaten Magelang merapat ke panggung ketika gamelan ditabuh, itu salah satu kekuatan yang dikutip untuk menjadi bagian penyelenggaraan festival tahunan dengan lokasi berpindah-pindah di dusun-dusun basis komunitas itu.
Oleh karenanya, panitia dan komunitas selalu berusaha menaati waktu pementasan. Penampil pun diingatkan tentang disiplin waktu, sejak berangkat dari tempat basis grupnya hingga lokasi festival, disiplin waktu juga untuk merias dan berkostum diri, bahkan disiplin mengusung perangkat pementasan, serta disiplin waktu di atas panggung.
Sudah hadir atau belum ada penonton, jika waktu sudah tiba, pementas harus naik naik panggung. Panitia akan cepat bersiasat agar panggung tetap hidup, jika toh kondisi emergensi tidak terelakkan. Terlebih pada era digital sekarang dengan telepon pintar dan media sosial, kehadiran pementas di atas panggung bisa disaksikan secara kekinian oleh publik lebih luas, tidak hanya warga desa tuan rumah festival.
Budayawan Magelang Sutanto Mendut yang membangun komunitas dan merintis festival selama sekitar 20 tahun terakhir, selalu menjadi tempat bertanya siapa saja dengan berbagai latar belakang. Banyak pertanyaan kepada dirinya tentang manajemen komunitas dengan festivalnya itu.
Baca juga: Museum Lima Gunung koleksi gambus bambu Slamet Gundono
Tidak mudah memahami penjelasan Sutanto tentang manajemen komunitas dan festival itu. Tidak ada satu kata kunci paling pas untuk memahami atau bahkan meniru membuat lalu menghidupi komunitas dan menyelenggarakan festival tahunan sebagaimana menunjuk Komunitas Lima Gunung dengan Festival Lima Gunung-nya.
Beberapa poin untuk itu mungkn bisa disebut meskipun tidak mewakili pemahaman secara komprehensif terhadap Komunitas Lima Gunung dan festivalnya, seperti tentang penghargaan kepada sesama dan untuk kepentingan kemanusiaan, kekuatan nilai-nilai berjodoh, ketulusan bergaul antarpersonal komunitas, dan kesadaran bahwa hidup tidak selalu begitu, apalagi begitu-begitu saja, namun berubah, tumbuh, dan berkembang, lalu mangkat.
Sutanto juga pernah mengajak para petinggi komunitas berpikir atau pun sekadar membayangkan, untuk sekali-kali tidak menyelenggarakan Festival Lima Gunung.
Kalau pun ajakan itu terjadi, barangkali akan menjadi peristiwa unik dan istimewa, melahirkan getaran tersendiri bagi siapa saja, tidak hanya pegiat komunitas. Karena yang belum terjadi selama ini adalah sekali-kali tidak ada Festival Lima Gunung.
Barangkali peristiwa sekali-kali tanpa Festival Lima Gunung, juga akan menjadi catatan kekayaan tersendiri bagi komunitas dan personal pegiatnya.
Peristiwa itu, termasuk melengkapi jejak-jejak digital Komunitas Lima Gunung yang selama ini belum ada catatan tentang sekali-kali tidak membuat Festival Lima Gunung. Mungkin, jagat digital pun juga tergetar.
Baik Sutanto Mendut maupun Komunitas Lima Gunung sampai saat ini memang belum ingin menutup Festival Lima Gunung sebagai agenda tahunan tanpa sponsor.
Oleh karenanya, getaran penyelenggaraan festival itu masih bakal berlanjut pada tahun-tahun mendatang. Tentu saja, seizin sponsor utama mereka. Tuhan, Insyaallah!