Belum hilang riuh omongan soal tank tergelincir ke Sungai Bogowonto, Kabupaten Purworejo saat outbond anak sekolah, perbincangan baru menyeruak terkait dengan jatuhnya korban peserta arung jeram di Sungai Serayu Kabupaten Banjarnegara.

Dua peristiwa terkait dengan aktivitas rekreatif itu terjadi dalam dua hari terakhir. Tragedi Sungai Bogonwoto pada Sabtu (10/3) pagi, sedangkan tragedi Sungai Serayu pada Minggu (11/3) siang. Kedua tragedi rekreasi, masing-masing mengakibatkan dua korban meninggal dunia dan sejumlah lainnya luka-luka.
 
Tentu saja kita semua menghendaki aktivitas kepariwisataan dan rekreatif yang hendak mengondisikan otak --meminjam istilah "politik tubuh" (Bre Redana)-- dari kepenatan menjadi normal tidak berujung kepada peristiwa tragis nan menyedihkan dan membuat syaraf-syaraf otak justru menjadi tambah kencang berkerut.

Pemerintah memang sedang gencar mendorong pembangunan kepariwisataan. Sampai-sampai hampir segala aktivitas diperspektifkan, diidentikkan, atau dilengkapi dengan sentuhan kunjungan wisata dan rekreasi.

Ihwal itu, misalnya menyangkut kuliner, industri kerajinan rakyat, pergelaran kesenian, kunjungan kerja, rapat kerja, studi tur, ziarah makam, rapat partai politik, pembangunan infrastruktur dan pengembangan transportasi, penataan desa dan lanskap alamnya, pelestarian tradisi budaya, pergelaran kesenian, serta belanja barang.
    
Mungkin juga orang beramai-ramai datang ke hajatan pernikahan, melayat ke tempat jauh dari kampung, atau besuk kerabat ke rumah sakit pun, bisa jadi akan mampir untuk menyentuh hal-hal kepariwisataan.

Segala aktivitas, termasuk kepariwisataan, memang tidak lepas dari risiko, baik kecelakaan, insiden, dan tragedi lainnya, bahkan risiko korupsi. Tentang segala risiko kepariwisataan harus dicermati dan diantisipai dengan baik di samping kuatnya gelora memenuhi ekstase rekreatif di tengah jagat keseharian riil dan maya yang makin riuh dan memenatkan itu.

Standar pelayanan untuk keamanan, kenyamanan, ketertiban, dan disiplin pengelolaan kepariwisatan mesti diletakkan sebagai panglima penjamin rekreasi bisa berlangsung lancar dan menggembirakan, serta menjadi kenangan yang membatin bagi setiap orang.

Pembukaan objek wisata dan penampilan atraksi wisata harus diperhitungkan dengan cermat. Masyarakat desa-desa yang terbakar hasrat membuka lanskap alam desanya untuk dijual sebagai tempat tujuan pakansi sebaiknya tetap melandasi diri dengan pemahaman yang komprehensif tentang sektor tersebut.

Budayawan Solo Suprapto Suryodarmo mengemukakan tren warga desa membuka alam orisinalnya sebagai destinasi wisata bukan lagi karena kehendak orisinal, tetapi karena terpapar informasi gencar tentang geliat pariwisata di mana-mana.

"Karena semakin lama di pariwisata, ada nafsu untuk menjual, sehingga kegiatan desa bukan karena kebutuhan mereka sendiri," katanya dalam suatu pidato di panggung terbuka Studio Mendut Kabupaten Magelang, akhir tahun lalu.

Segala aset, lokasi, dan agenda kegiatan yang digandakan pemakaiannya untuk destinasi dan atraksi wisata, mestinya dipertimbangkan dan dipikirkan secara saksama terlebih dahulu tentang keandalan menghadirkan tujuan rekreasi yang hendak mengendorkan orang dari kepenatan. Supaya tujuan rekreasi tidak lagi menjadi tragedi.
 

Pewarta : Maximianus Hari Atmoko
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024