Merebaknya penyakit difteri di Indonesia belakangan ini menjadi peringatan serius bagi keluarga, paramedis, pemerintah daerah, hingga Kementerian Kesehatan.
Penyakit berbahaya yang selama belasan tahun seolah sudah menghilang dari peta ancaman penyakit, seperti halnya demam berdarah dengue yang setiap tahun merenggut banyak korban jiwa, ternyata masih menjadi ancaman nyata di negeri ini.
Oleh karena itu ketika difteri kembali membawa korban jiwa, mencuat dugaan ada yang tidak tuntas dalam program imunisasi difteri. Padahal, imunisasi ini menjadi sesuatu yang melekat setelah bayi lahir hingga usia anak beberapa tahun kemudian.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan ada 11 provinsi yang melaporkan terjadinya KLB difteri periode Oktober dan November 2017, yakni Sumatera Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Bahkan, pasien difteri warga Kendal, Jawa Tengah, akhirnya meninggal karena ketika dibawa ke rumah sakit kondisinya sudah parah.
Kepala Dinkes Jateng Dokter Yulianto Prabowo mengakui bahwa difteri yang disebabkan bakteri Corynebacterium diphtheriae adalah penyakit yang sudah lama tidak pernah ada.
Oleh karena itu ketika penyakit difteri sekarang ini muncul lagi (re-emerging desease), banyak dokter, perawat, dan tenaga medis yang tidak mengenali penyakit itu.
Banyak di antara mereka yang belum pernah lihat secara langsung penyakit ini, pun ketika sekolah jadi dokter. Sebab, penyakit ini memang sudah tidak ada lama sekali. "Sekarang, muncul lagi," kata Yulianto.
Pernyataan Yulianto patut digarisbawahi karena hal itu mengharuskan profesi medis kembali menyegarkan kembali pengetahuan penatalaksanaan difteri di seluruh fasilitas kesehatan, mulai puskesmas hingga rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta.
Kesigapan pemerintah dengan menggalakkan kembali program imunisasi di sejumlah daerah rawan difteri patut kita apresiasi. Namun, tidak kalah penting adalah kesadaran masyarakat untuk mengikuti program imunisasi.
Dalam hal penyakit, pepatah kuno yang berbunyi mencegah lebih baik daripada mengobati tetap berlaku hingga hari ini.
Menjadi kewajiban pemerintah pula untuk meyakinkan kepada masyarakat akan pentingnya imunisasi tersebut sekaligus menegaskan bahwa kandungan vaksin untuk imunisasi tersebut halal.
Penegasan tersebut penting karena sampai saat ini masih ada warga yang meragukan kehalalan vaksin sehingga mereka memilih tidak mengikuti program imunisasi.
Menghadapi realitasi seperti itu, seyogyanya pemerintah melibatkan tokoh agama Islam dan Majelis Ulama Indonesia untuk meyakinkan bahwa vaksin yang digunakan untuk program imunisasi memang halal dan bermanfaat. ***
Penyakit berbahaya yang selama belasan tahun seolah sudah menghilang dari peta ancaman penyakit, seperti halnya demam berdarah dengue yang setiap tahun merenggut banyak korban jiwa, ternyata masih menjadi ancaman nyata di negeri ini.
Oleh karena itu ketika difteri kembali membawa korban jiwa, mencuat dugaan ada yang tidak tuntas dalam program imunisasi difteri. Padahal, imunisasi ini menjadi sesuatu yang melekat setelah bayi lahir hingga usia anak beberapa tahun kemudian.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan ada 11 provinsi yang melaporkan terjadinya KLB difteri periode Oktober dan November 2017, yakni Sumatera Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Bahkan, pasien difteri warga Kendal, Jawa Tengah, akhirnya meninggal karena ketika dibawa ke rumah sakit kondisinya sudah parah.
Kepala Dinkes Jateng Dokter Yulianto Prabowo mengakui bahwa difteri yang disebabkan bakteri Corynebacterium diphtheriae adalah penyakit yang sudah lama tidak pernah ada.
Oleh karena itu ketika penyakit difteri sekarang ini muncul lagi (re-emerging desease), banyak dokter, perawat, dan tenaga medis yang tidak mengenali penyakit itu.
Banyak di antara mereka yang belum pernah lihat secara langsung penyakit ini, pun ketika sekolah jadi dokter. Sebab, penyakit ini memang sudah tidak ada lama sekali. "Sekarang, muncul lagi," kata Yulianto.
Pernyataan Yulianto patut digarisbawahi karena hal itu mengharuskan profesi medis kembali menyegarkan kembali pengetahuan penatalaksanaan difteri di seluruh fasilitas kesehatan, mulai puskesmas hingga rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta.
Kesigapan pemerintah dengan menggalakkan kembali program imunisasi di sejumlah daerah rawan difteri patut kita apresiasi. Namun, tidak kalah penting adalah kesadaran masyarakat untuk mengikuti program imunisasi.
Dalam hal penyakit, pepatah kuno yang berbunyi mencegah lebih baik daripada mengobati tetap berlaku hingga hari ini.
Menjadi kewajiban pemerintah pula untuk meyakinkan kepada masyarakat akan pentingnya imunisasi tersebut sekaligus menegaskan bahwa kandungan vaksin untuk imunisasi tersebut halal.
Penegasan tersebut penting karena sampai saat ini masih ada warga yang meragukan kehalalan vaksin sehingga mereka memilih tidak mengikuti program imunisasi.
Menghadapi realitasi seperti itu, seyogyanya pemerintah melibatkan tokoh agama Islam dan Majelis Ulama Indonesia untuk meyakinkan bahwa vaksin yang digunakan untuk program imunisasi memang halal dan bermanfaat. ***