"Tidak menyesatkan fakta sejarah. Untuk yang ada kaitannya dengan fakta sejarah, saya memberikan 'catatan kaki'," katanya terkait dengan rencana penyelenggaraan "Borobudur Writers and Cultural Festival" di Taman Wisata Candi Borobudur, 28-31 Oktober 2012 di Borobudur, Kamis.
Ia mencontohkan empat karyanya tentang Gadjah Mada sebagai "sastra sejarah" yang tidak menyesatkan fakta masa lalu itu.
Penulis sastra, menurut dia, memiliki kebebasan untuk membuat cerita yang berdasarkan fakta sejarah. Imajinasi penulis untuk merekonstruksi apa yang terjadi dengan logika sejarah.
"Harus dibedakan antara menulis sastra dan sejarah. Kalau sejarah itu mengacu kepada fakta, kalau sastra kepada imajinasi. Penulis novel sejarah merekonstruksi apa yang terjadi dengan logika sejarah," tuturnya.
Penulis cerita sejarah Nusantara lainnya Otto Sukatno CR mengemukakan adanya pemaknaan yang berbeda antara menulis novel sejarah dengan menulis sejarah.
"Menulis novel sejarah dengan menulis sejarah itu pemaknaannya berbeda," ucapnya.
Selain itu, katanya, tidak setiap cerita dalam novel sejarah menjadi rujukan untuk mengungkap suatu peristiwa pada masa lalu.
Ia mencontohkan tentang Babat Tanah Jawa yang selain menyimpan fakta sejarah, juga memuat imajinasi penulisnya. Bahkan, Babat Tanah Jawa saat ini juga sebagai rujukan untuk menggali sejarah.
Ia mengaku adanya kemungkinan novel sejarah menyesatkan fakta masa lalu.
Akan tetapi, katanya, masyarakat pembaca memiliki sensor untuk membedakan mana yang fakta sejarah dan mana yang imajinasi, sedangkan penulis novel sejarah juga memiliki tanggung jawab sosial yang besar, sehingga tidak akan menyesatkan pembaca.
Penulis lainnya yang juga pengajar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Abdul Munir Mulkhan mengatakan, kemampuan berimajinasi secara logis dibutuhkan untuk menerangkan berbagai fakta sejarah itu.
"Tidak apa-apa imajinasi liar itu sepanjang ada yang ingin dicapai," tukasnya.
Ia mengemukakan, penulis sastra sejarah yang jujur akan berani mengungkap berbagai hal, termasuk yang jelek.
"Dengan tujuan bagaimana itu dibutuhkan untuk pelajaran ke depan," katanya.
Borobudur Writers and Cultural Festival yang dikemas dalam kegiatan bernama Musyawarah Agung Penulis Cerita Silat dan Sejarah Nusantara itu diselenggarakan oleh Samana Foundation, lembaga nirlaba yang berbasis pengembangan budaya terutama berkaitan dengan pengalaman sejarah Nusantara.
Agenda kegiatan antara lain diskusi, peluncuran buku, dan pemutaran film berlatar belakang sejarah Nusantara yang diikuti sekitar 300 peserta aktif, pasif, dan pembicara dengan berbagai latar belakang seperti penulis peneliti, akademisi, pakar sejarah, arkeologi, rohaniwan, dan budayawan,
Lokasi kegiatan mereka dengan tema "Memori dan Imajinasi Nusantara" itu, selain di Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah juga di Yogyakarta.