Udara dingin cukup menyengat sehabis suara azan subuh yang terdengar dari pelantang masjid setempat di kawasan barat puncak Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Suasana di jalan dusun terlihat dari deretan pintu kaca tanpa gorden masih gelap.
Api dari kayu yang dibakar telah menyala di luweng dapur rumah Pami (32), perempuan tersebut. Periuk alumunium berisi air yang bagian luarnya penuh jelaga, tertumpang di atas luweng itu.
Suaminya, Jumarno (31), bersama anak mereka Pujiati (5,5)) masih tertidur ketika Pami sudah mulai terdengar memarut kelapa untuk memasak sayuran ketika pagi buta itu di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang.
Dusun berpenduduk sekitar 600 warga itu menjadi satu lokasi Festival Lima Gunung XI/2012 yang diselenggarakan oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh). Festival selama 4--15 Juli 2012 itu sebagai agenda tahunan atas gerakan kebudayaan berbasis kearifan lokal komunitas mereka yang digelar secara mandiri atau tanpa sponsor.
Berbagai agenda yang telah tersusun saat hari puncak festival mereka (15/7), berdasarkan musyawarah para petinggi komunitas itu, berupa pementasan kesenian tradisional, kontemporer desa, dan kolaborasi di panggung utama dengan instalasi berbentuk kapal dari bambu dan anyaman jerami dengan panjang sekitar 10 meter dan lebar 4 meter di halaman rumah warga setempat, Minah. Mereka juga menjalani pawai budaya melewati jalan-jalan kampung setempat sebelum berbagai pementasan itu digelar.
"Ini sedang masak," kata Pami sambil mengentas rebusan kubis dari periuk setelah toge yang direbusnya matang.
Andrianto, Ari Kusuma, dan Wijayanto, tiga di antara sejumlah tamu yang menginap di rumah Jumarno pada malam menjelang puncak Festival Lima Gunung masih meringkuk dengan balutan kain sarung dan jaket tebal masing-masing.
Mereka masih terlelap dalam tidur di beranda bambu beralas karpet biru di ruang tamu itu setelah hingga dini hari bersama masyarakat setempat dan para tamu luar daerah tersebut menyaksikan pementasan ketoprak "Kabut di Bukit Tidar".
Lakon ketoprak tersebut dimainkan selama tiga jam oleh para tokoh Komunitas Lima Gunung" dengan sutradara Sitras Anjilin di Pendopo Padepokan Wargo Budoyo Gejayan, di barat rumah Jumarno.
Anak ayam mulai terdengar "berciap-ciap" mengerubungi induknya yang "berdekur-dekur" mencarikan makan anak-anaknya, sedangkan kokok ayam jago pun makin ramai menyertai kicauan berbagai burung di pepohonan dusun setempat. Sesekali terdengar pula "lenguhan" beberapa ekor sapi dari kandang-kandang yang menempel dengan rumah warga.
Pagi buta kemudian tersibak oleh suasana terang. Namun, kabut tipis masih menyelimuti Gejayan. Mendung di langit seakan tak mengkhawatirkan sejumlah warga yang mulai ke luar rumah dengan aktivitas masing-masing karena saat itu telah masuk musim kemarau.
Seorang warga setempat Wiryo Sukir (65) tampak berjalan melewati jalan di depan rumah Jumarno sambil memanggul cangkulnya di pundak. Ia menuju lahan pertanian yang pada musim kemarau seperti saat ini, selalu ditanami tembakau.
Semua lahan pertanian warga setempat tampak hijau oleh daun tanaman tembakau. Namun, sebagian besar mereka juga tetap menanami lahannya dengan aneka sayuran, seperti cabai, buncis, kubis, dan sawi di sela tanaman tahunan setiap musim kemarau, tembakau, karena komoditas pertanian harian di daerah itu adalah hortikultra. Semua warga setempat berpenghidupan tetap dari hasil pertanian sayur-mayur.
Seorang warga bernama Rebi (50) yang tinggal di belakang rumah Jumarno masih berjaket dan selimut kain sarung berjalan di depan rumahnya untuk menengok anak-anak ayam di kandangnya.
"Dinginnya lumayan," katanya.
Lain lagi dengan Khifirul Azis (8), anak pasangan Wahno (30) dengan Mursiah (29) yang tinggal di utara jalan utama bertata batu dusun setempat. Di teras rumahnya, dia bertutur singkat tentang keikutsertaan selama ini berlatih tarian "Warok Bocah" bersama sejumlah kawannya, antara lain Wawan, Agus, Rodi, Febri, dan Andi, di padepokan yang dipimpin Riyadi.
"'Kulo nek njoget sakniki pon mboten ngalamun' (Saya sekarang, kalau menari tidak sambil melamun lagi, red.)," katanya dalam bahasa Jawa. Azis saat ini kelas II SD Negeri Gejayan.
Ia dengan singkat mengaku senang dusunnya sebagai lokasi Festival Lima Gunung XI/2012 karena selama beberapa hari bisa menyaksikan berbagai pementasan kesenian, baik oleh berbagai kelompok seniman petani Komunitas Lima Gunung maupun grup-grup kesenian lainnya dari luar Magelang.
Dusun Gejayan pernah menjadi lokasi Festival Lima Gunung pada tahun 2004 dan 2006. Penentuan lokasi festival berdasarkan musyawarah para petinggi komunitas. Seniman petani dusun setempat yang bernaung di bawah Padepokan Wargo Budoyo Gejayan memiliki sejumlah kesenian baik tradisional maupun kontemporer desa seperti "Soreng", "Warok", "Kipas Mego", "Topeng Ireng", "Geculan Bocah", "Warok Bocah", "Soreng Putri", dan musik "Truntung Gunung".
Pada Sabtu (14/7) malam di padepokan setempat juga digelar pentas sejumlah tarian dibawakan kalangan mahasiswa berasal dari sejumlah perguruan tinggi seperti Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta berupa tarian "Bajidor Kahot" dan "SLB" (Sekolah Luar Beud), Universitas Negeri Semarang (Unnes) tarian "Ngoser Banyumas", Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) tarian "Kandakan" dan "Reunika", serta pidato kebudayaan pengukuh Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut.
Selain itu, kelompok Saka Gallery Solo menyuguhkan performa tari dan musik kontemporer berjudul "Panji ke Diri" di panggung utama festival tersebut yang berinstalasi kapal di halaman rumah Minah.
Pada kesempatan itu, Sutanto yang juga budayawan Magelang itu menyerahkan kenang-kenangan berupa lukisan kaca kepada dua anak setempat yang baru saja khitanan, Febri dan Agus. Mereka adalah dua anak Riyadi yang beristeri Slamet Rahayu, yang pada tanggal 8 Agustus 2012 lengser dari jabatan Kepala Desa Banyusidi setelah disandangnya selama dua periode terakhir.
Lukisan kaca bergambar gajah dan singa dengan gaya "Cirebonan" itu sebagai kenang-kenangan atas tradisi khitanan yang dijalaninya pada Sabtu (14/7) pagi. Dua anak itu juga akan dikirab dalam pawai Festival Lima Gunung XI/2012, melewati jalan utama dusun setempat.
"'Mugo-mugo ndang mari' (Semoga segera sembuh, red.)," kata Febri yang sambil tersenyum ke luar dari kamar rumahnya Minggu pagi itu masih mengenakan sarung.
Ucapan singkatnya itu agaknya harapan dirinya segera pulih setelah khitanan. Bagian depan rumahnya adalah gedung Padepokan Wargo Budoyo Gejayan dengan anggota seniman petani dusun setempat yang dipimpin bapaknya.
Sejumlah lelaki yang warga setempat tampak bangun dari tidur mereka di panggung padepokan itu, kemudian mengambil sapu lidi dan ijuk membersihkan tempat itu dari sampah, yang dibuang di berbagai tempat oleh penonton pementasan, malam menjelang puncak festival.
Warga lainnya terutama para perempuan seperti Jumintuk (50) yang rumahnya sebelah timur padepokan atau berdampingan dengan rumah Jumarno, pun juga sibuk membersihkan halaman dan teras rumahnya.
Mereka semua tampak beraut ceria, menunjukkan keinginan menjadikan dusun setempat terlihat patut dan bersih saat hari puncak festival tahunan seniman petani.
Sementara sebagian besar dari puluhan tamu festival masih menyisakan waktu tidurnya di sejumlah rumah warga, tempat menginap di Gunung Merbabu, masyarakat setempat bersama alam gunungnya telah "mementaskan" ragam desa itu sejak pagi buta, menjelang puncak hari hajatan tahunan gerakan kebudayaan Komunitas Lima Gunung.