Kita berharap pernyataan perwira tinggi TNI Angkatan Laut berbintang satu itu memicu dan membangkitkan stakeholders (pemangku kepentingan) di dunia pendidikan di Tanah Air untuk segera mengevaluasi dan membenahi silabus pendidikan nasional. Apalagi pernyataan Laksamana Pertama Kingkin Suroso di sela melepas petualang Samudra Rob Rama Rambini di Pelabuhan Benoa, Bali, Minggu, bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional pada tanggal 20 Mei.
Momentum yang sangat pas untuk mengajak anak bangsa bangkit akan rasa dan semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme, serta kesadaran untuk memperjuangkan eksistensi sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Kalau benar apa yang dikatakan Kingkin Suroso bahwa banyak generasi yang tidak hafal dengan peta Indonesia, ini sebuah ironi yang patut disikapi secara serius oleh bangsa Indonesia.
Pembelajaran tentang peta Indonesia itu memang penting. Namun, bagi Laksamana Pertama Kingkin Suroso yang lebih penting adalah bagaimana generasi muda mengetahui dengan baik tentang garis batas wilayah Indonesia yang sebagian besar wilayah laut dengan jumlah pulau kurang lebih 17.508.
"Sebuah kesalahan masa lalu yang sulit terhapus bagi peserta didik adalah anak-anak disuruh menggambar peta. Padahal saat menggambar peta itu hanya seperempat wilayah Indonesia yang dipelajari oleh siswa, dan bahkan cenderung salah karena saat menggambar beberapa pulau tersebut, siswa sudah membuat batasan garis pantai dan memisahkan Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah NKRI," kata Kingkin Suroso.
Pernyataan itu tampaknya perlu mendapat perhatian serius, kemudian Pemerintah--dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan--menindaklanjutinya dengan langkah nyata. Misalnya, mengubah silabus pendidikan dengan memasukkan pelajaran itu ke dalam mata pelajaran Geografi atau Ilmu Bumi.
Dikatakan Kingkin Suroso yang juga Kepala Pramuka Saka Bahari Nasional itu, peta harus dipelajari sebagai pendidikan dengan cakupan yang lebih luas, terutama garis batas Indonesia yang sebagian besarnya berada di wilayah perairan. Hal ini pun seyogianya sebagai pemicu anak bangsa untuk lebih mengenali sejengkal tanah di Bumi Pertiwi ini.
Ironinya, sebagian besar generasi muda Indonesia tidak banyak mengetahui jika batas terluar Indonesia secara yurisdiksi adalah sejauh 12 mil, tetapi dalam penetapan zona ekonomi eksklusif garis batas tersebut melebar sejauh 200 mil.
Bila seluruh kalangan mengetahui garis batas wilayah NKRI, potensi konflik di 10 titik wilayah perbatasan laut dengan beberapa negara tetangga akan mudah teratasi. Pendapat seorang jenderal dari TNI AL ini tampaknya tidak sekadar bahan perenungan, tetapi kita sebagai anak bangsa harus meningkatkan pengetahuan akan garis batas wilayah NKRI, baik melalui pendidikan formal maupun informal.
Partai politik pun seyogianya tidak tinggal diam melihat kenyataan tersebut. Kalangan politikus tampaknya perlu melibatkan diri agar generasi muda tidak buta akan batas wilayah NKRI dengan menyelenggarakan berbagai pelatihan kader atau kemasan lain, misalnya, diskusi, seminar, dan lokakarya dengan mengundang pakar bidang itu.
Bangkitlah generasi muda, kenalilah medanmu jika engkau menginginkan bangsa ini tetap jaya. Kuasailah informasi dalam segala bidang, termasuk batas wilayah negeri ini, demi mempertahankan kedaulatan bangsa ini. Jangan biarkan negara lain mengambil sejengkal tanah milik kita.
(klw)