Purwokerto (ANTARA) - Akademikus Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Ahmad Sabiq mengatakan bahwa bupati definitif hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) memiliki legitimasi yang lebih kuat ketimbang penjabat bupati.
"Hal itu disebabkan bupati definitif dipilih langsung oleh rakyat sehingga mendapat legitimasi yang kuat karena memperoleh mandat dari rakyat," kata Sabiq di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu.
Penjabat bupati, kata dia, tidak dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada, tetapi diangkat oleh pemerintah sehingga legitimasi politiknya sangat berbeda dengan bupati definitif.
Ia mengakui pada masa pendaftaran Pilkada 2024 mulai 27 hingga 29 Agustus di sejumlah daerah hanya ada satu bakal pasangan calon yang mendaftar ke KPU setempat, salah satunya di Kabupaten Banyumas.
Oleh karena itu, KPU memperpanjang masa pendaftaran pada tanggal 2—4 September 2024 guna memberi kesempatan kepada bakal pasangan calon lain untuk mendaftar sebagai peserta Pilkada 2024.
Akan tetapi, jika hingga batas akhir perpanjangan masa pendaftaran tidak ada bakal pasangan calon lain yang mendaftar, berarti bakal pasangan calon yang telah mendaftar sebelumnya berpotensi melawan kotak kosong.
Baca juga: Fahri nilai Calon Independen Sulit dapat Legitimasi Rakyat
Dengan demikian, ketika pemenang dalam pilkada tersebut merupakan pasangan calon yang diusung partai politik tidak akan menjadi persoalan karena akan menjadi bupati/wakil bupati definitif. Namun, jika kotak kosong yang menang berarti daerah tersebut akan dipimpin oleh penjabat bupati.
Secara normatif, kata Sabiq, tugas bupati definitif dan pejabat bupati sebenarnya sama, yakni pelayanan publik dan memimpin jalannya pemerintahan.
"Tugas penjabat bupati sebetulnya lebih fokus pada tugas-tugas dalam pembangunan, administrasi, dan kelangsungan pemerintahan," kata Ketua Laboratorium Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed itu.
Akan tetapi, jika mengacu pada undang-undang, kata dia, ada sejumlah ketentuan yang membatasi penjabat bupati seperti tidak boleh melakukan mutasi serta larangan yang bersifat strategis seperti membatalkan perizinan atau mengeluarkan perizinan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintahan sebelumnya.
Kendati demikian, dia mengakui adanya pengecualian bahwa penjabat bupati dapat mengambil kebijakan tertentu berdasarkan izin tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
"Hal itu berbeda dengan bupati definitif yang mempunyai kewenangan penuh dan tidak ada larangan seperti halnya penjabat bupati. Namun, sekali lagi, meskipun secara normatif memiliki kewenangan yang sama, ada hal-hal tertentu yang tidak boleh dilaksanakan oleh penjabat bupati," kata Sabiq.
Baca juga: Tepati janji perkuat legitimasi politik kepala daerah