Jacksen F Tiago berbagi perspektif sepak bola Brazil - Indonesia
Solo (ANTARA) - Mantan pelatih timnas Indonesia Jacksen F Tiago membagi perspektifnya mengenai dunia sepak bola di Brazil dan Indonesia sehingga bisa dijadikan sebagai pembelajaran untuk membangun sepak bola Indonesia di masa depan.
"Kami ingin berbagi perspektif, terutama berkaitan dengan perbedaan kultur sepak bola antara Brazil dengan Indonesia," kata Jacksen F Tiago saat konferensi pers di Pusat Informasi Piala Dunia U-17 2023 di Solo, Jawa Tengah, Rabu.
Jacksen yang kini menjabat Direktur Teknik Persis Solo itu mengatakan saat seseorang di Brazil sudah terjun ke sepak bola maka ia akan mengerahkan seluruh tenaga dan fokusnya di olahraga itu karena mereka menganggap sepak bola adalah salah satu pintu untuk memperbaiki derajat hidup keluarga.
Sementara itu, para pemain Indonesia masih belum bisa sepenuhnya mencurahkan waktu untuk sepak bola. Setidaknya, itu terbukti dari para pemain yang terikat status dengan instansi lain, baik itu di dunia pemerintahan, militer, hingga pekerjaan sampingan lainnya.
Oleh karenanya, Jacksen menilai salah satu perbedaan yang cukup mencolok antara sepak bola Brazil dengan Indonesia adalah aspek profesionalitas dan kebanyakan pemain Indonesia berpikir bahwa sepak bola masih sekadar hiburan, bukan profesi utama.
"Sedangkan para pemain di Brazil tidak. Kalau bekerja di dunia sepak bola, fokus 100 persen untuk sepak bola. Sehingga, dia menanggapi setiap aktivitas sepak bola itu sebagai kesempatan untuk bisa meningkatkan kesejahteraannya bersama keluarga. Sehingga, di situ ada perbedaan dari aspek profesionalisme," katanya.
Selain itu, mantan juru taktik timnas Indonesia pada masa 2013 itu juga menyebut soal keseriusan setiap klub di Brazil untuk membina para pemain muda. Berbagai infrastruktur yang dibutuhkan bagi pemain tersedia dengan baik.
Bahkan, lanjut dia, setiap klub di Brazil memiliki psikolog terutama untuk pembinaan usia dini karena seorang pemain muda dianggap sebagai sebuah aset yang sangat berharga bagi klub. Sehingga, semua infrastruktur yang dibutuhkan pemain untuk berkembang tersedia.
"Kami di Brazil biasanya berlatih pada pukul 15.00. Namun, para pemain sudah datang ke klub sejak pukul 10.00. Setelah datang, mereka masuk laboratorium terlebih dahulu untuk tes kesehatan, kemudian makan siang. Selanjutnya, para pemain sempat beristirahat, lalu melanjutkan aktivitas di pusat kebugaran sebelum melanjutkan aktivitas latihan di lapangan," katanya.
Ia yang menyebut memulai karir sepak bola di Indonesia sejak 1994 itu pun berharap klub-klub di Indonesia bisa mulai fokus membina pemain usia dini sebagai proyek jangka panjang.
"Namun untuk bisa menjalankannya membutuhkan dana. Saya lihat, Indonesia masih belum punya visi ke arah sana," katanya.
Menurut dia, masih jarang sekali ada klub yang benar-benar mengambil pemain di usia 15 tahun dan dijadikan proyek hingga pemain itu berusia 19 tahun dan disiapkan tampil di tim senior. "Hal itu masih jarang ada, hanya ada beberapa klub yang punya ide itu di Indonesia," katanya.
"Kami ingin berbagi perspektif, terutama berkaitan dengan perbedaan kultur sepak bola antara Brazil dengan Indonesia," kata Jacksen F Tiago saat konferensi pers di Pusat Informasi Piala Dunia U-17 2023 di Solo, Jawa Tengah, Rabu.
Jacksen yang kini menjabat Direktur Teknik Persis Solo itu mengatakan saat seseorang di Brazil sudah terjun ke sepak bola maka ia akan mengerahkan seluruh tenaga dan fokusnya di olahraga itu karena mereka menganggap sepak bola adalah salah satu pintu untuk memperbaiki derajat hidup keluarga.
Sementara itu, para pemain Indonesia masih belum bisa sepenuhnya mencurahkan waktu untuk sepak bola. Setidaknya, itu terbukti dari para pemain yang terikat status dengan instansi lain, baik itu di dunia pemerintahan, militer, hingga pekerjaan sampingan lainnya.
Oleh karenanya, Jacksen menilai salah satu perbedaan yang cukup mencolok antara sepak bola Brazil dengan Indonesia adalah aspek profesionalitas dan kebanyakan pemain Indonesia berpikir bahwa sepak bola masih sekadar hiburan, bukan profesi utama.
"Sedangkan para pemain di Brazil tidak. Kalau bekerja di dunia sepak bola, fokus 100 persen untuk sepak bola. Sehingga, dia menanggapi setiap aktivitas sepak bola itu sebagai kesempatan untuk bisa meningkatkan kesejahteraannya bersama keluarga. Sehingga, di situ ada perbedaan dari aspek profesionalisme," katanya.
Selain itu, mantan juru taktik timnas Indonesia pada masa 2013 itu juga menyebut soal keseriusan setiap klub di Brazil untuk membina para pemain muda. Berbagai infrastruktur yang dibutuhkan bagi pemain tersedia dengan baik.
Bahkan, lanjut dia, setiap klub di Brazil memiliki psikolog terutama untuk pembinaan usia dini karena seorang pemain muda dianggap sebagai sebuah aset yang sangat berharga bagi klub. Sehingga, semua infrastruktur yang dibutuhkan pemain untuk berkembang tersedia.
"Kami di Brazil biasanya berlatih pada pukul 15.00. Namun, para pemain sudah datang ke klub sejak pukul 10.00. Setelah datang, mereka masuk laboratorium terlebih dahulu untuk tes kesehatan, kemudian makan siang. Selanjutnya, para pemain sempat beristirahat, lalu melanjutkan aktivitas di pusat kebugaran sebelum melanjutkan aktivitas latihan di lapangan," katanya.
Ia yang menyebut memulai karir sepak bola di Indonesia sejak 1994 itu pun berharap klub-klub di Indonesia bisa mulai fokus membina pemain usia dini sebagai proyek jangka panjang.
"Namun untuk bisa menjalankannya membutuhkan dana. Saya lihat, Indonesia masih belum punya visi ke arah sana," katanya.
Menurut dia, masih jarang sekali ada klub yang benar-benar mengambil pemain di usia 15 tahun dan dijadikan proyek hingga pemain itu berusia 19 tahun dan disiapkan tampil di tim senior. "Hal itu masih jarang ada, hanya ada beberapa klub yang punya ide itu di Indonesia," katanya.