Penyebaran nyamuk berbakteri Wolbachia jadi strategi atasi DBD
Semarang (ANTARA) - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan bahwa penyebaran nyamuk yang mengandung bakteri Wolbachia menjadi strategi baru untuk mengatasi penularan kasus demam berdarah dengue di Indonesia.
"Penyakit DBD adalah salah satu penyakit menular yang cukup tinggi kejadiannya di Indonesia," kata Menkes Budi Gunadi, saat peluncuran implementasi Wolbachia Ing Kota (Wingko) Semarang, di Semarang, Selasa.
Strategi yang dimaksudkan adalah menyebar nyamuk-nyamuk Aedes Aegypti sebagai "vector" penyakit DBD yang sudah disuntikkan bakteri Wolbachia agar kemudian bisa kawin dengan nyamuk lain.
Bakteri Wolbachia diketahui bisa melumpuhkan virus dengue sehingga ketika nantinya nyamuk Aedes Aegypti menggigit manusia maka tidak akan menyebarkan virus dengue ke tubuh manusia.
"Ini rencananya kami akan menggunakan bioteknologi untuk nyamuk yang berpotensi menularkan DBD kami buat agar, kasarnya, mandul, ya. Jadi, dia tidak bisa menularkan virus yang bisa menyebabkan penyakit DBD," katanya.
Menurut dia, penelitian tersebut sudah dilakukan dan diuji coba di Yogyakarta dan berhasil sehingga akan direplikasi di lima kota besar, yakni Semarang, Jakarta Barat, Bontang, Kupang, dan Bandung.
"Lima kota ini akan dibiayai Kemenkes, plus satu kota akan dibiayai Pemerintah Australia. Semarang ini gercep (gerak cepat) sekali, Bu Wali didukung Dinkes provinsi sehingga peluncuran (launching) pertama kali di Semarang," katanya.
Sementara itu, Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu menyampaikan komitmennya untuk mengendalikan penyakit DBD melalui implementasi Wingko Semarang didukung Dinkes provinsi dan Kemenkes.
"Alhamdulillah, Semarang jadi 'pilot project' pertama kali di Indonesia. Diharapkan dengan adanya 'pilot project' ini, kami harapkan kasus DBD turun," kata Ita, sapaan akrab Hevearita.
Diakuinya, Kota Semarang termasuk tinggi dalam kasus DBD, khususnya di Kecamatan Tembalang dengan kontur padat penduduk, banyak pepohonan, dan genangan sehingga menjadi percontohan implementasi Wingko Semarang.
"Di Kota Semarang ada sekitar 200-an kasus DBD, dan khusus untuk Tembalang paling tinggi. Yang meninggal (karena DBD, red.) ada 12 kasus, itu satu di antaranya dari Tembalang," katanya.
Implementasi Wingko Semarang baru terlihat minimal enam bulan karena membutuhkan waktu nyamuk untuk kawin, memasukkan bakteri Wolbachia, dan berkembang biak sehingga akan dilakukan evaluasi terus menerus.
"Ini nunggu enam bulan proses nyamuk kawin dulu. Telur jadi jentik itu saja dua pekan. Nanti kami bisa lakukan evaluasi, monitoring, selama enam bulan, baru ke wilayah lain," ucapnya.*
"Penyakit DBD adalah salah satu penyakit menular yang cukup tinggi kejadiannya di Indonesia," kata Menkes Budi Gunadi, saat peluncuran implementasi Wolbachia Ing Kota (Wingko) Semarang, di Semarang, Selasa.
Strategi yang dimaksudkan adalah menyebar nyamuk-nyamuk Aedes Aegypti sebagai "vector" penyakit DBD yang sudah disuntikkan bakteri Wolbachia agar kemudian bisa kawin dengan nyamuk lain.
Bakteri Wolbachia diketahui bisa melumpuhkan virus dengue sehingga ketika nantinya nyamuk Aedes Aegypti menggigit manusia maka tidak akan menyebarkan virus dengue ke tubuh manusia.
"Ini rencananya kami akan menggunakan bioteknologi untuk nyamuk yang berpotensi menularkan DBD kami buat agar, kasarnya, mandul, ya. Jadi, dia tidak bisa menularkan virus yang bisa menyebabkan penyakit DBD," katanya.
Menurut dia, penelitian tersebut sudah dilakukan dan diuji coba di Yogyakarta dan berhasil sehingga akan direplikasi di lima kota besar, yakni Semarang, Jakarta Barat, Bontang, Kupang, dan Bandung.
"Lima kota ini akan dibiayai Kemenkes, plus satu kota akan dibiayai Pemerintah Australia. Semarang ini gercep (gerak cepat) sekali, Bu Wali didukung Dinkes provinsi sehingga peluncuran (launching) pertama kali di Semarang," katanya.
Sementara itu, Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu menyampaikan komitmennya untuk mengendalikan penyakit DBD melalui implementasi Wingko Semarang didukung Dinkes provinsi dan Kemenkes.
"Alhamdulillah, Semarang jadi 'pilot project' pertama kali di Indonesia. Diharapkan dengan adanya 'pilot project' ini, kami harapkan kasus DBD turun," kata Ita, sapaan akrab Hevearita.
Diakuinya, Kota Semarang termasuk tinggi dalam kasus DBD, khususnya di Kecamatan Tembalang dengan kontur padat penduduk, banyak pepohonan, dan genangan sehingga menjadi percontohan implementasi Wingko Semarang.
"Di Kota Semarang ada sekitar 200-an kasus DBD, dan khusus untuk Tembalang paling tinggi. Yang meninggal (karena DBD, red.) ada 12 kasus, itu satu di antaranya dari Tembalang," katanya.
Implementasi Wingko Semarang baru terlihat minimal enam bulan karena membutuhkan waktu nyamuk untuk kawin, memasukkan bakteri Wolbachia, dan berkembang biak sehingga akan dilakukan evaluasi terus menerus.
"Ini nunggu enam bulan proses nyamuk kawin dulu. Telur jadi jentik itu saja dua pekan. Nanti kami bisa lakukan evaluasi, monitoring, selama enam bulan, baru ke wilayah lain," ucapnya.*