Semarang (ANTARA) - Direktur Institut Sarinah Eva Kusuma Sundari menekankan pasal-pasal pro life dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) harus berlaku pula bagi perempuan.
"Perempuan harus diberi hak hidup sesuai dengan pilihannya. Tubuh dan jiwa perempuan adalah otoritas perempuan," kata Eva Kusuma Sundari menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Senin.
Jika pemaknaannya demikian, lanjut Eva K Sundari, baru prinsip pro life (pandangan yang menentang adanya aborsi) bersifat adil. Apalagi, ada kasus-kasus kehamilan yang membahayakan nyawa ibunya, seperti hamil anggur, darah tinggi, dan jantung.
Baca juga: Direktur Institut Sarinah setuju rudapaksa istri dipidana
Eva mengemukakan hal itu terkait dengan ketentuan dalam RUU KUHP yang bertalian dengan prinsip pro life, yang berpandangan bahwa janin mempunyai hak hidup yang tidak boleh dirampas oleh siapa pun, termasuk oleh ibu kandungnya.
Pemidanaan terkait dengan aborsi ini diatur dalam Pasal 251, 415, 469, dan 470 RUU KUHP. Misalnya, pada Pasal 469 menyebutkan bahwa setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun (Ayat 1).
Ayat (2) disebutkan bahwa setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Jika perbuatan ini mengakibatkan matinya perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun (Ayat 3).
"Jadi, tolong hak hidup perempuan juga diberi ruang yang sama besarnya dengan hak fetus (janin)," kata Eva yang pernah sebagai anggota Komisi III (Bidang Hukum, HAM, dan Keamanan) DPR RI.
Meski mendukung pro life, termasuk hidup orang tuanya, Eva menegaskan bahwa setiap pasal tidak boleh generalisasi keadaan.
Jika negara mengambil posisi demikian, menurut Eva, harus berlaku pula bagi para ibu, hak perempuan. Dengan demikian, apa yang terbaik bagi perempuan, juga harus memberikan ruang untuk memilih yang terbaik bagi tubuhnya.
Namun, jika negara mendirikan tempat penampungan bagi para anak yang tidak dikehendaki orang tua, misalnya anak hasil korban pemerkosaan, perempuan mungkin bisa mempertimbangkan tidak aborsi.
"Akan tetapi, jika perempuan harus 'mati' dalam hidup, ya, enggak sesuai dengan prinsip pro life, dong," kata Direktur Institut Sarinah Eva K. Sundari.
Ia lantas menekankan, "Perlu pasal pemberat bagi para pelaku. 'Kan kehamilan oleh dua orang, kok, yang dihukum perempuan saja?"
Apalagi, lanjut Eva, jika perempuan tersebut dalam posisi korban (pemaksaan, perkosaan) atau kawin culik seperti adat di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang di luar kehendak perempuan.
Baca juga: Pakar hukum: Pencabutan aduan terkait rudapaksa istri harus ada batasan
Baca juga: Pakar mempertanyakan RUU KUHP hanya atur ancaman pidana terhadap advokat
Berita Terkait
Polisi gandeng dokter RSCM untuk usut kasus aborsi anak Nikita Mirzani
Selasa, 22 Oktober 2024 16:51 Wib
Dokter: Aborsi ilegal bisa picu pembusukan di dalam tubuh
Kamis, 9 Desember 2021 12:50 Wib
Aktivis perempuan: Jangan asal pidanakan korban perkosaan lakukan aborsi
Kamis, 24 Juni 2021 15:56 Wib
Dokter terlibat aborsi ilegal meninggal akibat COVID-19
Rabu, 30 September 2020 14:13 Wib
PBB bantah tuduhan AS manfaatkan pandemi COVID-19 promosikan aborsi
Jumat, 22 Mei 2020 14:10 Wib
CEO Disney: "Sulit" syuting di Georgia terkait UU aborsi baru
Jumat, 31 Mei 2019 13:51 Wib
Alabama larang pengguguran kandungan termasuk akibat perkosaan
Rabu, 15 Mei 2019 11:48 Wib
20 kantong berisi janin dikubur di belakang rumah dukun bayi
Rabu, 20 Juni 2018 1:28 Wib