Solo (ANTARA) - Tim Pengabdian Masyarakat Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta berupaya memperkaya diversifikasi kain lurik agar lebih menarik untuk dijadikan sebagai cendera mata.
"Salah satunya dengan mengkombinasikan kain lurik dengan batik. Ini merupakan suatu langkah inovatif dalam mengembangkan motif lurik konvensional," kata Ketua LPPM UNS Okid Parama Astirin di Solo, Rabu.
Ia mengatakan meski dilakukan pembaharuan tetapi inovasi tersebut tetap mengangkat kekhasan daerah setempat, yaitu batik. Menurut dia, langkah tersebut merupakan bagian dari keunggulan yang ditampilkan oleh tim peneliti dan pengabdian LPPM UNS.
Terkait hal itu, saat ini pihaknya sedang melaksanakan "roadshow" serta sosialisasi hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dengan judul "Inovasi Seni Kreasi Lurik Batik untuk Mendisversifikasi Cendera Mata Khas Kabupaten Klaten, Jawa Tengah'" tepatnya di Desa Tlingsing, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
"Harapannya ini bisa mengangkat produktivitas usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mitra yang ada di Klaten," katanya.
Ia juga berharap agar tradisi menggunakan pakaian berbahan kain lurik bisa masuk ke instansi-instansi pemerintahan termasuk swasta sehingga kain tersebut bisa lebih memasyarakat.
Sementara itu, salah satu anggota tim pengabdian Tulus Haryono mengatakan daya tarik wisata di Kabupaten Klaten sendiri sangat melimpah, salah satunya potensi kain lurik.
Meski demikian, dikatakannya, selama ini pengembangan potensi tersebut terkendala oleh desain dan motif. Oleh karena itu, tim LPPM UNS berupaya untuk memberikan ide pengembangan agar kain lurik bisa lebih inovatif.
"Dalam hal ini, motif yang kami kembangkan bernama Luba, yaitu kombinasi lurik dan batik. Ini kami kembangkan sebagai kekuatan produk daerah Klaten karena di sini punya lurik, batik, dan kombinasi keduanya," katanya.
Untuk batik yang digunakan sendiri merupakan batik tulis sehingga nilai jualnya lebih tinggi dibandingkan batik cap atau print. Sedangkan motif yang digunakan sebagian merupakan motif klasik dan sebagian lagi motif modern seperti bunga dan binatang.
"Untuk motif klasik di antaranya Sidomukti, Sidodadi, Sidoluhur, dan Parang. Meski demikian, untuk pewarnaannya kami menggunakan naptol karena saat dicoba menggunakan pewarna alami, warnanya kurang mengikat sehingga cenderung pudar. Dengan naptol, warnanya lebih hidup dan terang," katanya.
Ia berharap melalui pengembangan potensi tersebut bisa menambah daya beli sehingga berpotensi menambah pemasukan bagi masyarakat setempat.