Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) M Wahyu Ghani mengatakan pembelian handphone atau gawai dan kuota internet menjadi alasan utama anak-anak di Desa Seberu di Kalimantan Barat bekerja di kebun sawit.
"Membeli gadget, kuota, dan rokok selalu menjadi alasan utama untuk anak-anak yang bekerja di kebun sawit terutama yang putus sekolah," kata Wahyu dalam seminar virtual "Ketahanan Keluarga dan Pemenuhan Kepentingan Terbaik Bagi Anak pada Masyarakat Perkebunan Kelapa Sawit", Jakarta, Rabu.
Seminar itu diselenggarakan oleh LIPI bekerja sama dengan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak dan UNICEF.
Dari penelitian yang dilakukan LIPI di Desa Seberu, Wahyu menuturkan tidak ditemukan pekerja anak yang bekerja di perusahaan perkebunan sawit. Pekerja anak yang bekerja di kebun milik orang tuanya tidak pernah dibayar secara khusus.
Fakta lain yang ditemukan adalah pekerja anak yang bekerja di kebun milik orang lain (kerabat/tetangga) dibayar Rp75 ribu-80 ribu per hari, sementara pekerja dewasa mendapat upah Rp100 ribu.
Peneliti tidak pernah menemukan pekerja anak dengan gender perempuan di kebun sawit di Desa Seberu.
Desa Seberu berjarak sembilan jam dari Kota Pontianak dan dihuni sekitar 1.700-an orang dengan dominasi suku Dayak.
Wahyu Dhani menemukan dua kriteria pekerja anak yakni pekerja anak yang masih bersekolah dan pekerja anak yang putus sekolah.
Pekerja anak yang masih bersekolah tetap fokus bahwa bersekolah sebagai tujuan utamanya. Mereka biasanya membantu untuk bekerja di kebun sawit milik orang tuanya tanpa bekerja di kebun orang lain. Mereka rata-rata bekerja selama satu jam.
"Pekerja anak yang memutuskan ikut membantu orang tuanya mengolah kebun sawit setelah melaksanakan kewajibannya bersekolah," tuturnya.
Sementara pekerja anak yang memutuskan berhenti sekolah dan fokus bekerja baik di kebun milik orang tuanya sendiri maupun kebun milik kerabat orang lain.
Dia menuturkan anak kecil merokok dianggap sesuatu yang biasa di sana.
Wahyu menuturkan bukan kemiskinan yang satu-satunya membuat anak bekerja dan berhenti sekolah, tapi pada kasus tertentu, Wahyu menemukan tidak ada imajinasi untuk menjadi sukses dengan bersekolah. Dia menuturkan ada anak yang finansial orang tuanya baik, namun memutuskan berhenti bersekolah karena sudah tidak mampu mengikuti pelajaran di sekolah.