Semarang (Antaranews Jateng) - Sejumlah orang tua korban dugaan tindak kekerasan yang dilakukan senior di OSIS di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Semarang tidak mengintervensi dan meminta dua siswa bernama AN dan AF dikeluarkan.
"Kami tidak pernah meminta ditindaklanjuti secara hukum, dikeluarkan juga tidak. Tetap, diputus mata rantai kekerasannya," kata Dwi, orang tua siswa kelas XI SMAN 1 Semarang yang menjadi korban dugaan kekerasan, di Semarang, Jumat.
Dwi hadir bersama beberapa orang tua siswa kelas XI yang sama-sama pengurus OSIS dan pernah mengalami tindak kekerasan yang dilakukan seniornya, bersama alumni yang prihatin dengan terjadinya kekerasan di sekolah.
SMAN 1 Semarang telah mengeluarkan dua siswanya, yakni AN dan AF karena dugaan kekerasan saat kegiatan latihan dasar kepemimpinan (LDK) OSIS, November 2017, dan menskorsing tujuh siswa pengurus OSIS.
"Sejak anak saya ikut OSIS, saya selalu diliputi keresahan dan kegelisahan. Setiap hari, anak saya pulangnya malam. Kalau ditanya selalu tutup mulut. Sampai saya bilang, `Sekolah model opo?" katanya.
Namun, kata dia, tidak pernah ada jawaban memuaskan dari sang anak ketika ditanya penyebabnya selalu pulang larut malam, apalagi selepas pulang sekolah telepon selulernya (ponsel) tidak pernah bisa dihubungi.
"Pernah anak saya sakit, kemudian saya periksakan ke laboratorium dan hasilnya tidak apa-apa. Namun, sebagai ibu, saya memiliki `feeling` pasti ada yang tidak beres. Namun, saya tidak punya bukti," katanya.
Ia juga pernah datang ke sekolah melaporkan dugaan kekerasan yang menimpa anaknya, tetapi tidak memiliki cukup bukti sehingga sekolah mempersilakan untuk datang kembali jika sudah membawa bukti yang cukup.
Kemudian, Dwi ditelepon oleh Tari, ibunda almarhum Bintang yang mengaku kaget menemukan rekaman video dan percakapan "Line" yang dirasa janggal dan menguatkan dugaan adanya kekerasan oleh senior di OSIS.
"Saya, Mbak Tari, satu orang tua siswa lain ke sekolah menyerahkan rekaman video dan percakapan dari ponsel almarhum Bintang. Kami minta temuan ini ditindaklanjuti agar mata rantai kekerasan bisa diputus," katanya.
Sekolah kemudian menindaklanjuti dengan melakukan razia terhadap ponsel pengurus OSIS dan menemukan sejumlah rekaman kegiatan yang kemudian berujung dengan dikeluarkannya dua siswa, yakni AN dan AF.
Senada, Tari, orang tua almarhum juga meminta temuan dugaan kasus dugaan itu ditelusuri dan ditindaklanjuti agar mata rantai kemiskinan bisa diputus dan tidak kembali terjadi terhadap adik-adik kelasnya.
"Saya tidak akan menuntut sampai sejauh itu. Saya hanya khawatir kalau nanti (siswa korban kekerasan, red.) duduk di kelas XII akan memperlakukan sama pada adik-adik kelasnya," katanya.
Sementara itu, Kepala SMAN 1 Semarang Endang Suyatmi menegaskan dikeluarkannya dua siswa itu karena sudah melampaui poin pelanggaran sebagaimana diatur tata tertib sekolah dan tidak terkait dengan kematian Bintang.
"Dari hasil sidak ponsel pengurus OSIS, kami temukan rekaman kegiatan OSIS. Poin pelanggaran terhadap AN dan AF memang diakumulasikan dari video itu dan melampaui batas maksimal," katanya.
Untuk AF, kata dia, akumulasi poinnya 130, di antaranya menyakiti perasaan peserta didik dan melakukan tindakan tidak sopan, mengancam dan mengintimidasi peserta didik baik pribadi maupun berkelompok.
"Kalau AN, akumulasi poinnya 125, antara lain menyakiti perasaan pesetya didik lain, menyalahgunakan fasilitas sekolah, mengancam dan mengintimidasi secara pribadi maupun berkelompok," kata Endang.