Masyarakat Indonesia kembali dikejutkan oleh serangan di Gereja Santa Lidwina Bedog, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Minggu (11/2) kemarin.
Penyerangan gereja saat jemaat sedang menggelar acara misa ini melukai sejumlah orang, termasuk Romo Prier yang memimpin ibadah.
Penyerangan gereja saat jemaat sedang menggelar acara misa ini melukai sejumlah orang, termasuk Romo Prier yang memimpin ibadah.
Sebelumnya kasus penyerangan terhadap pemuka agama juga terjadi sejak awal 2018. Setidaknya sudah ada tiga serangan menimpa tokoh agama di sejumlah daerah, mulai dari tindak kekerasan atas seorang ulama di Cicalengka, kemudian terhadap aktivis Persatuan Islam di Bandung hingga tewas. Selanjutnya, terjadi juga kekerasan terhadap seorang biksu di Tangerang.
Keprihatinan dan rasa duka mendalam disampaikan kepada seluruh pihak yang menjadi korban rentetan kebiadaban ini.
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin mengatakan penyerangan terhadap umat beragama dan tempat ibadah sebagaimana terjadi di Bedog, Yogyakarta, sebagai tindakan tidak toleran dan biadab.
Bahkan Din menyampaikan rasa kekhawatirannya jika rentetan kasus kekerasan umat beragama terutama kepada pemuka agama adalah hal yang terencana.
Kejadian-kejadian tersebut sepertinya dikendalikan oleh suatu skenario sistemik yang bertujuan menyebarkan rasa takut dan pertentangan antarumat beragama yang akhirnya bisa menciptakan instabilitas nasional.
Untuk itu, aparat keamanan harus segera mengusut tuntas dan menyingkap siapa dan apa di balik semua kejadian itu, karena jika tidak sangat potensial menimbulkan prasangka di kalangan masyarakat yang kemudian memunculkan reaksi-reaksi yang akhirnya menciptakan kekacauan.
Apalagi dalam hitungan hari ke depan, masyarakat Indonesia khususnya etnis Tionghoa akan merayakan Tahun Baru Imlek. Perayaan ini dimulai pada hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan akan berakhir pada tanggal kelimabelas yang kita kenal dengan sebutan Cap Go Meh.
Semangat perayaan itupun mulai terlihat sejak satu bulan sebelum datangnya Tahun Baru Imlek. Terutama di pusat-pusat keramaian, seperti hotel, mal, maupun ruang-ruang publik yang didominasi dekorasi warna merah dan emas, sebagai ciri khas perayaan ini. Masyarakat yang bukan etnis Tionghoa turut ikut merasakan kemeriahan perayaan ini.
Seperti di Kota Semarang, Pasar Semawis yang merupakan tradisi tahunan setiap menyambut Tahun Baru Imlek juga siap digelar selama tiga hari, mulai 12-14 Februari 2018.
Begitupula dengan di Kota Solo. Dalam menyambut Imlek biasanya selalu diadakan Grebeg Sudiro. Acara ini berlangsung di Kelurahan Sudiroprajan dengan pusatnya di Pasar Gede Solo. Sudiroprajan dikenal sebagai kampung di mana masyarakat Jawa dan Tionghoa hidup rukun sejak berabad-abad lalu.
Perayaan Imlek oleh masyarakat Tionghoa adalah bukti betapa masyarakat bangsa ini masih setia dengan pluralismenya. Masyarakat bangsa ini masih hidup dalam keberagaman, baik agama, suku, ras, maupun antargolongan.
Keberagaman ini merupakan modal yang sangat bernilai harganya bagi bangsa ini. Melalui keberagamaan itulah ciri bangsa ini terlihat. Sekaligus keberagaman ini menjadi kekuatan yang tak dimiliki bangsa lain.
Keberagaman ini merupakan modal yang sangat bernilai harganya bagi bangsa ini. Melalui keberagamaan itulah ciri bangsa ini terlihat. Sekaligus keberagaman ini menjadi kekuatan yang tak dimiliki bangsa lain.
Keberagaman itu penting dirawat dan dikembangkan. Terutama akhir-akhir ini, saat masyarakat bangsa ini diusik oleh sejumlah aksi yang mencerminkan intoleran. Kebersamaan itu diusik lewat berbagai cara. Padahal aksi-aksi itu jelas tidak bermanfaat. Justru yang dirugikan adalah masyarakat dan bangsa ini sendiri.
Masyarakat harus cerdas dalam menelaah apa yang sebenarnya terjadi. Apakah isu-isu intoleran itu benar-benar muncul secara sadar dalam diri masyarakat, atau akibat provokasi oknum tertentu dengan tujuan politik. Dengan begitu, masyarakat yang cerdas dan sadar tidak perlu ambil bagian dalam konstelasi itu.