Jakarta, ANTARA JATENG - Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Mikhail Galuzin, berkomentar tentang rencana pembelian pesawat tempur Sukhoi Su-35 Indonesia. Kremlin mengklaim tidak pernah mengaitkan atau menerapkan persyaratan non teknis sebagaimana negara lain.
"Kerja sama ini menunjukkan bahwa Rusia siap menjadi sekutu militer yang bisa diandalkan Indonesia. Kami tidak menerapkan syarat-syarat politik tertentu untuk penjualan pesawat tempur ini, tidak seperti negara lain yang tentu Anda sudah tahu siapa," kata Galuzin, kepada sejumlah wartawan, di Jakarta, Rabu.
Sebelumnya pada Selasa, Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, mengumumkan Indonesia berencana membeli 11 pesawat tempur Sukhoi Su-35 buatan Rusia senilai 1,14 milyar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp15,3 trilyun. Dia didampingi Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita.
Pada 1999, Amerika Serikat mengembargo Indonesia soal persenjataan pasca Peristiwa Santa Cruz (1991) dengan ujungnya pada pemisahan Provinsi Timor Timur. Embargo itu baru dicabut pada 2006 lalu.
Selain itu, Amerika Serikat juga pernah menerapkan langkah serupa kepada China, Argentina, Iran, dan Rusia sendiri.
Pada sisi lain, Rusia juga diberi sanksi Uni Eropa menyusul tuduhan aneksasi mereka di Semenanjung Krimea pada 2013. Sanksi ini cukup memukul Rusia yang kemudian gencar mencari pasar bagi produk-produk mereka.
"Kesepakatan ini tentu saja akan menguntungkan kedua negara," kata dia.
Namun demikian, Galuzin mengabaikan fakta bahwa negaranya sendiri juga menerapkan embargo terhadap Pakistan dengan motivasi politik; persis Amerika Serikat. Embargo itu sudah dicabut pada 2014 lalu.
Menurut majalah The Diplomat, sikap keras Moskow terhadap Islamabad sudah dimulai sejak masa Perang Dingin. Saat itu, politik luar negeri Pakistan lebih condong ke koalisi NATO, sementara Uni Soviet memilih India sebagai aksis politik regional di Asia Selatan.