Semarang, ANTARA JATENG - Bank Indonesia menyatakan kegiatan usaha penukaran valuta asing yang tidak berizin harus ditertibkan karena berdampak pada kebijakan ekonomi dalam negeri.
"Penertiban penting karena kami harus tahu persis kebutuhan dan peredaran valuta asing di Indonesia, termasuk apa dan melalui siapa valas ini masuk ke Indonesia," kata Kepala Departemen Hukum Bank Indonesia Rosalia Suci pada acara BI Bareng Media dalam rangka penertiban kegiatan usaha penukaran valutas asing tanpa izin di Gedung Borobudur Komplek Polda Jawa Tengah, Rabu.
Dia mengatakan informasi tersebut harus dikantongi Bank Indonesia karena dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan ketika akan menentukan suatu kebijakan ekonomi.
"Ini sudah masuk lalu lintas devisa, dalam hal ini BI sebagai otoritas moneter. Jual beli valas ini adalah bagian dari lalu lintas devisa," katanya.
Meski demikian, dia memastikan bukan berarti BI membatasi masyarakat menggunakan valuta asing. Dia mengatakan masyarakat bebas memiliki dan menggunakan valuta asing saat melakukan transaksi.
"Tetapi tetap harus tunduk terhadap peraturan, termasuk ketika melakukan transaksi di wilayah NKRI harus menggunakan mata uang rupiah," katanya.
Sementara itu, data Bank Indonesia menunjukkan hingga tanggal 24 Maret 2017 terdapat 783 kegiatan usaha penukaran valuta asing (KUPVA) bukan bank tidak berizin, 44 di antaranya telah mengajukan izin, 59 di antaranya berminat mengajukan perizinan, dan 7 telah menutup kegiatan usaha.
Berdasarkan data, dari lima pulau terbesar di Indonesia, sejauh ini jumlah KUPVA BB tidak berizin yang paling tinggi ada di Pulau Jawa dengan jumlah 416 KUPVA BB.
"Selanjutnya diikuti oleh Sumatera sebanyak 184 KUPVA BB, Bali dan Nusa Tenggara sebanyak 90 KUPVA, Kalimantan sebanyak 82 KUPVA, dan Sulawesi, Maluku, Papua sebanyak 11 KUPVA," katanya.