Magelang, Antara Jateng - Perempuan yang telah mengenyam umur hingga terlihat kulit tubuhnya berkeriput dan rambutnya nyaris sebagian besar telah memutih, sedang duduk di kursi kayu.
Pakaian model daster dengan warna dasar biru bermotif bunga-bunga kecil, menandakan usianya melewati zaman kala lama hingga saat ini, sedangkan latar belakang posisinya duduk boleh diklaim menjadi rumah bergaya antik.
Posisi kepala yang sedikit menunduk mengarah kepada konsentrasinya bernuansa kontemplasi atas ihwal bermakna atas kain warna merah dan putih bergelombang di pangkuannya.
Sehelai benang terjulur dari lubang jarum yang dijepit jemari tangan kanan dan terkesan ditarik hingga setinggi bahu, sedangkan ujung lain dari benang itu teranyam menjadi jahitan atas lambang negara Indonesia, bendera Merah Putih, yang rentangannya dikendalikan dengan jepitan jempol dan jari tengah tangan kirinya.
Apakah dia sedang tersenyum atau mengulum bangga, atau bahkan justru sedang bersedih? Hal itu sulit untuk seketika dimengerti, meskipun dua sudut bibirnya dalam posisi sedikit tersungging.
"Yang Koyak", itulah judul lukisan menggunakan cat minyak di atas kanvas karya Husen pada 2016 yang menjadi bagian dari 48 karya para pelukis Kabupaten dan Kota Magelang lainnya, dalam pameran bersama di Galeri Padepokan Antik di Jalan Raya Magelang-Salatiga Kilometer 10 Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.
Karya "Yang Koyak" melukiskan perempuan tua sedang menjahit bendera Merah Putih yang terkoyak beberapa centimeter. Di dekatnya terpampang lukisan tentang kepala Sang Buddha Gautama, berjudul "A Hero in The Heart", karya pelukis yang tinggal di dekat Borobudur, Easting Medi.
Melalui karya "Yang Koyak", Husen yang menggeluti dunia seni rupa sejak 2004 secara autodidak, ingin mengatakan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara harus selalu dirawat.
Inspirasi dasar dari karya pelukis yang tinggal di Dusun Jangkungan, Desa Gandusari, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang itu, memang tidak lepas dari sejarah bangsa ketika Fatmawati menjahit bendera Merah Putih untuk kemudian dikibarkan di Jalan Pegangsaan Timur Jakarta, seiring dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno (suaminya) bersama Mohammad Hatta, pada 17 Agustus 1945.
Husen yang lulusan jurusan bangunan SMK (STM) Yudha Karya Kota Magelang pada 1991, menempatkan tantenya yang dipanggil "Bulik Nik" sebagai perempuan lanjut usia sedang menjahit bendera Merah Putih karena terkoyak, menjadi karya berjudul "Yang Koyak".
Buliknya pernah menjadi transmigran di Aceh. Namun tsunami 2004 yang melanda Aceh, membuatnya kehilangan suami, anak, dan harta bendanya. Ia kemudian berjuang mencari keluarganya dan bertemu kakaknya yang juga orang tua Husen di Bandongan.
"Lukisan itu menceritakan bahwa bendera itu lambang negara, harus selalu ada perawatan. Kalau ada kancah di negara kita seperti sekarang ini, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu dijaga, perlu dilestarikan," ujar Husen yang hingga saat ini sudah lebih dari 20 kali mengikuti pameran di berbagai daerah bersama pelukis lainnya.
Pameran bersama 34 pelukis dengan tajuk "Perjuangan" di galeri milik tokoh masyarakat dan pecinta seni rupa, Sumari, dibuka Camat Tegalrejo Muthasor, Minggu (20/11).
Hadir pada kesempatan itu, antara lain para seniman, sejumlah pemuka masyarakat seperti Suryo Sumpeno dan Susilo, serta beberapa pejabat pemerintah dari beberapa kecamatan lainnya. Bupati Magelang Zaenal Arifin urung membuka pameran yang berlangsung mulai 20 November hingga 31 Desember 2016 karena menghadiri "Borobudur Marathon 2016" di Candi Borobudur dan kawasannya.
Berbagai karya yang dipamerkan tidak lepas dari kehadiran dan semangat para pahlawan dan pejuang bangsa pada masa lampau. Karya lainnya tentang kehadiran sosok-sosok kepahlawanan kekinian dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Koordinator pameran "Perjuangan", Wahudi, menjelaskan tentang kehendak para pelukis untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat luas bahwa semangat kebangsaan dan spirit nasionalisme harus terus dihidupi. Ia telah menjadi warisan berharga dari para pahlawan bangsa kepada generasi penerus NKRI.
"Mengenang dan mengobarkan semangat perjuangan, nasionalisme. Apalagi sekarang situasi politik tidak sehat. Kita perlu mengingatkan kembali tentang jerih payah pejuang membangun bangsa dan negara," kata Wahudi yang juga pelukis Kelompok Magelang Art Portpauri (MAP) Kota Magelang.
Karya-karya yang dipamerkan dengan kurator A. Anzieb, antara lain berjudul "Maestro#1" (Cipto Purnomo), "The Call Intuition" (Asrul Sani), "Jawaku Ilang" (Black Suryo), "Tetap dalam Damai" (Boy Alkaf), "Mengibarkan Sang Merah Putih di Planet Mars" (Cholil Ipeh), "Diajeng Kartini in Banana Leaf" (It's Moy), "Pangeran Diponegoro" (J. Sodick Ardhany).
Selain itu, "Diplomasi" (Kaji Habeb), "Bimo Bungkus" (Mami Kato), "Memo untuk Udin Bernas" (Mang Yani), "Pahlawanku" (Marwan), "Pengabdian" (Munir), "Sang Pembangun" (Nurfu Ad), "Work" (Oentoeng Nugroho), "Sendiko Dawuh" (Widoyo), "Merah Putih" (Wusriyanto), "Galaunya Negeriku" (Yudi Legowo), "Good Morning" (Wawan Geni), dan "Pahlawanku Yo Bojoku" (Piu Kamprettu).
"Gambar-gambar itu adalah sosok yang telah disematkan sebagai seseorang yang pernah berjuang dan berjasa bagi negeri Nusantara. Ada juga sosok-sosok yang tidak terlalu kita kenal, seperti ibu-ibu penjahit bendera, pemanjat pohon kelapa (berlatar belakang Candi Borobudur, red.), maupun penyeberang jembatan reot," kata Anzieb, kurator seni rupa yang juga lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Berbagai sosok anonim, ucapnya, barangkali lahir dari suatu mimpi buruk atau justru penuh keniscayaan dengan sejarah dan asal-usul mereka yang mengabur, namun kisahnya melekat dalam kehidupan sehari-hari sekarang ini.
Mereka yang disuguhkan para perupa Magelang itu, katanya, manusia-manusia yang tidak mau menghitung dan dihitung mengenai seberapa dalam pengorbanan dan ketabahannya karena sepenuh hidup diikhtiarkan dengan segala "lilahita'ala".
Begitu pula kiranya dengan karya Husen tentang sosok iklhas perempuan tua menjahit bendera Merah Putih yang terkoyak. Ia hadir dengan ikhlas, dengan usia rentanya, turut menjadi bagian dari anak bangsa zaman sekarang yang menjaga Merah Putih agar tetap utuh.
Pameran itu bukan saja sebagai bagian dari renungan peringatan Hari Pahlawan yang jatuh setiap 10 November, namun agaknya juga wujud keprihatinan bersama karena terjadi ancaman perpecahan bangsa terkait dengan kasus dugaan penistaan agama yang terkesan bercampur aduk menjadi kegaduhan politik, termasuk menyangkut Pilkada 2017 DKI Jakarta.
Kepolisian memproses hukum dengan menetapkan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang juga calon petahana Gubernur DKI Jakarta sebagai tersangka, dalam kasus dugaan penistaan agama.
Terkait dengan kasus itu, terjadi demo besar-besaran oleh massa pada 4 November lalu di Ibu Kota (Jakarta), sedangkan Presiden Joko Widodo dan para elite berjuang keras menjaga NKRI agar tidak terkoyak atau terpecah belah. Berbagai tokoh dan elemen masyarakat lainnya menyerukan pentingnya menjaga tegaknya NKRI dan penghargaan terhadap kebhinnekaan bangsa.
Para perupa Magelang melalui karya-karya yang dipamerkan bersama, juga tak hendak berdiam di tengah persoalan besar dihadapi negeri dari ancaman terkoyaknya NKRI.
Mereka merajut Merah Putih dengan menghadirkan kembali para pahlawan dari zaman dulu hingga sosok kepahlawanan masa kini.
"Begitulah sederetan pesan singkat saling mengikat di antara sosok-sosok pahlawan pada pameran ini, sengaja dinazamkan untuk ritus kepahlawanan. Tidak sekadar berbicara tentang mereka yang telah menyerahkan jiwa raga untuk bangsa dan negara. Yang lebih penting bagaimana kita melanjutkan jerih payah mereka, mengambil spiritnya dalam konteks kekinian," ujar Anzieb.
Mereka malu jika Merah Putih terkoyak. Melalui karya-karya lukisan kepahlawanan yang dipamerkan, mereka merajut pesan tentang amat pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia.
"Perjuangan menjaga Indonesia itu buat siapa saja, milik siapa saja," kata pelukis sosok perempuan tua sedang menjahit Merah Putih, "Yang Koyak" itu.