Magelang, Antara Jateng - Malam Jumat Kliwon hari pertama September 2016, jarum jam menunjuk sekitar pukul 22.00 WIB ketika para pegiat Forum Masyarakat Peduli Paingan meninggalkan Pendopo Pengabdian Rumah Dinas Wali Kota Magelang, Jawa Tengah.
Tak ada olah gerak tubuh maupun raut wajah euforia, meskipun kesan lega tak mampu mereka bendung, setelah bersama-sama menangkap dengan saksama pernyataan penting Wali Kota Magelang Sigit Widyonindito terkait dengan persoalan Pasar Tiban Paingan.
Dalam pertemuan dipandu Asisten Ekonomi, Pembangunan, dan Kesejahteraan Rakya Sekretaris Daerah Kota Magelang Sumartono, sejak bakda isya di pendopo itu pada Kamis (1/9) malam, Wali Kota Sigit memutuskan mengembalikan tradisi Pasar Paingan.
Aktivitas puluhan pedagang pasar tiban itu hanya terjadi selama beberapa jam bertepatan dengan umat Islam Kota Magelang dan sekitarnya pengajian secara rutin di Masjid Agung Kauman, kawasan alun-alun setempat, setiap 35 hari sekali atau saat jatuh Minggu Paing.
Pengajian Minggu Paing yang diikuti dengan berkembangnya kegiatan pasar tiban di kawasan Alun-Alun Kota Magelang, dekat Masjid Kauman, dirintis para ulama berpengaruh dari sejumlah pondok pesantren di Magelang sejak sekitar 1958.
Para kiai yang disebut merintis tradisi itu, antara lain K.H. Chudlori (Ponpes Asrama Perguruan Islam Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang), K.H. Ahmad Haq atau Mbah Mad (Ponpes Watucongol Kecamatan Muntilan), dan K.H. Alwi (Ponpes Salam Kanci, Kecamatan Bandongan).
Forum itu menyebut bahwa Pasar Paingan dan pengajian Minggu Paing Masjid Kauman sebagai "satu tarikan nafas" yang artinya tidak bisa dipisahkan.
Mereka yang datang dari berbagai desa di Magelang itu, tidak semata-mata berdagang di pasar tiban untuk mendapat keuntungan ekonomi, tetapi sekaligus bersama umat Islam lainnya "ngalab" (mengharap) berkah dari pengajian di masjid terbesar di kota dengan tiga kecamatan dan 17 kelurahan tersebut.
Akan tetapi, Pemkot Magelang melalui Dinas Pengelolaan Pasar tertanggal 11 April 2016 mengeluarkan surat edaran yang intinya memindahkan aktivitas pedagang pasar tiban ke Lapangan Rindam IV/Diponegoro, sekitar 1,5 kilometer dari alun-alun setempat, dengan alasan untuk menjaga kebersihan, keindahan, dan ketertiban pusat kota setempat.
Apalagi, Lapangan Rindam setiap Minggu ramai masyarakat karena menjadi tempat kegiatan "car free day". Penghasilan pedagang dianggap akan lebih baik ketimbang mereka berjualan di alun-alun.
Pemkot awalnya kukuh dengan sikapnya memindahkan pedagang dari alun-alun ke Lapangan Rindam. Penutupan aktivitas pasar tiban pada Minggu Paing, 31 Juli 2016, dipimpin Kepala Dinas Pengelolaan Pasar Kota Magelang Joko Budiyono dengan dukungan ratusan aparat gabungan. Sejumlah "banner" berisi tulisan larangan pedagang berjualan pada Minggu Paing, sempat terpampang di sejumlah tempat di alun-alun.
Alun-Alun Kota Magelang pada Minggu Paing pertama setelah Lebaran yang lalu, sepi dari kegiatan pedagang, sedangkan pengajian di Masjid Kauman tetap berjalan dengan normal.
Tetapi pedagang pasar tiban yang berjualan, seperti makanan tradisional, pakaian, kuliner, kerajinan tangan, sayuran, dan mainan anak, berpindah tempat tidak ke Lapangan Rindam melainkan ke gang-gang Kampung Kauman, di samping Masjid Agung.
Selama sekitar empat bulan terakhir, forum masyarakat dengan koordinator Danu Wiratmoko dan 11 pegiat utamanya itu, berjuang dengan pendekatan kultural untuk mempertahankan "satu tarikan nafas" antara Pasar Paingan dan pengajian Minggu Paing.
Tradisi pasar tiban itu, mereka anggap sebagai warisan budaya tak bendawi dan kekhasan wajah kehidupan masyarakat di Kota Magelang.
Forum itu, antara lain menggelar aksi damai di alun-alun timur guna menggalang tanda tangan dukungan publik untuk menolak pemindahan pedagang pasar tiban.
Selama beberapa kali, setiap Sabtu sore menjelang saat buka puasa Ramadhan yang lalu, mereka berkumpul dan duduk bersila di salah satu pojok alun-alun sambil meletakkan properti pikulan tenggok sebagai simbol pedagang pasar tradisional. Mereka juga menggalang dukungan melalui media sosial dengan "tagline" bertuliskan "Save Pahingan".
Selain itu, mereka menemui pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Magelang untuk menyampaikan aspirasi tersebut dan secara khusus bertemu informal dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di salah satu tempat, di sela agenda padat Pesta Rakyat Hari Jadi Ke-66 Jateng yang dipusatkan di Kota Magelang (26-28 Agustus 2016).
Ratusan pegiat forum juga digerakkan untuk ikut prosesi ritual pembukaan Festival Lima Gunung XV/2016 di situs Candi Gunung Wukir di Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Selasa (19/7) dan mengikuti kirab budaya bersama ratusan seniman lainnya dari Komunitas Lima Gunung serta beberapa kota pada puncak festival tahunan seniman petani kawasan itu, Minggu (24/7), di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, di antara Gunung Merapi dan Merbabu.
Penyair Kota Magelang Es Wibowo secara spontan dan seorang diri atau tanpa penonton, memanfaatkan Menara Bengung peninggalan zaman penjajahan Belanda, di atas aliran sodetan Sungai Manggis bernama "Kali Kota", di Kampung Potrosaran, Kelurahan Potrobangsan, Magelang Utara, Jumat (5/8), membacakan delapan karya puisinya yang intinya tentang penolakan pemindahan pedagang Pasar Paingan.
Belum lagi pertemuan internal para pegiat teras utama forum itu secara intensif dan gencarnya kampanye "Save Pahingan" di media sosial, terasa turut membawa opini publik memahami dengan baik bahwa Pasar Paingan dan pengajian Minggu Paing sebagai "satu tarikan nafas".
"Doa masyarakat, doa kiai-kiai sekitar Magelang, Gus Muna, Gus Ali, Gus Yusuf, Gus Mansyur, tokoh budayawan, semua berdoa malam ini (1/9). Malam ini sudah tahu, termasuk Pak Ganjar (Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, red.), ada pertemuan ini. Semoga ini diijabat sama Allah SWT," kata Danu sebelum bersama para pegiat forum lainnya meninggalkan Pendopo Pengabdian dilepas Sang Wali Kota dengan kesan lega.
Ulama yang disebut Danu sebagai Gus Ali adalah K.H. Ali Qoisor, penerus kepemimpinan Ponpes Watucongol, Gus Yusuf adalah K.H. Muhammad Yusuf Chudlori (Ponpes API Tegalrejo), Gus Mansyur adalah K.H. Mansyur Khadiq (Ponpes Usnuludin Bawang, Kecamatan Tempuran), dan Gus Muna adalah K.H. Choirul Muna, Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Jateng VI yang juga pengasuh Ponpes Mamba'ul Hisan Meteseh, Kecamatan Salaman.
Tak ada perdebatan dalam pertemuan pegiat forum dengan wali kota yang juga dihadiri beberapa pejabat pemkot lainnya. Suasana ramah tamah dalam semangat kekeluargaan terbangun persis di tengah Pendopo Pengabdian yang megah dengan lampu terang benderang pada malam itu.
Baik Sang Wali Kota maupun pegiat forum, seolah-olah memainkan alunan irama selaras antara pikiran dan hati sehingga secara terbuka saling berbagi dan saling mendengar atas persoalan Pasar Paingan selama beberapa bulan terakhir.
Pendekatan kultural atas penyelesaian masalah pasar tiban, mencapai titik kesamaan persepsi ketika secara terbuka Wali Kota Sigit mengemukakan keputusan menghidupkan lagi tradisi Pasar Paingan, mulai Minggu (4/9).
"Ketika ketemu begini, terjadi pencerahan yang baik, persepsi yang sama. Ya sudah, jalan to!," katanya.
Ia membolehkan para pedagang berjualan lagi dengan menempati kawasan barat alun-alun atau sepanjang separuh jalan di depan Masjid Kauman, sedangkan petugas diturunkan untuk mengalihkan arus lalu lintas umum ke jalur lain selama berlangsung pengajian.
Para pegiat forum dilibatkan secara kritis dalam proses penataan pedagang pasar tiban supaya suasana tetap tertib, terjaga kebersihan, keindahan, dan kenyamanan kawasan pusat Kota Magelang.
Wali Kota Sigit terkesan tak berkeinginan berbicara muluk-muluk tentang keterkaitan budaya antara aktivitas Pasar Paingan dengan pengajian Masjid Kauman.
Akan tetapi, keputusannya menata pedagang pasar tiban agar tetap beraktivitas di dekat Masjid Kauman saat pengajian Minggu Paing, nampak sebagai ejawantah atas pendekatan pemikiran kultural.
"'Monggolah!' (silakan,red.), yang penting dilestarikan positiflah," katanya.
Pasar Tiban Paingan dan pengajian Minggu Paing Masjid Agung Kauman Kota Magelang, kembali menjadi "satu tarikan nafas". Dan hal itu tentu juga setarikan nafas yang melegakan.