Jakarta, Antara Jateng - Pengacara senior sekaligus pegiat HAM Todung Mulya Lubis mengatakan kasus Koordinator Kontras Haris Azhar, yang dilaporkan oleh TNI, Polri dan BNN karena diduga melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena tulisannya, mirip dengan tuntutan Soeharto kepada majalah Time.
"Kasus yang terjadi pada tahun 1999 itu bisa menjadi rujukan persoalan yang menimpa Haris Azhar," ujar Todung dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin.
Tahun itu, Majalah Time digugat oleh Presiden kedua RI karena terbitan Edisi Asia pada 24 Mei 1999 Vol. 153 No. 20 yang menurunkan berita berjudul sampul "Suharto Inc. How Indonesia's longtime boss built a family fortune".
Saat itu penggugat, dikutip dari laman lembaga penelitian hukum Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menganggap informasi itu tendensius, menyindir atau menuduh secara tidak langsung (insinuatif) dan provokatif.
Penggugat atau Soeharto menganggap Time melanggar KUH Perdata pasal 1365 dan dan pasal 1372 KUH Perdata, terkait perbuatan melanggar hukum yaitu penghinaan.
Namun, Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung menolak semua tuntutan Soeharto. Putusan MA No 273 PK/PDT/2008 menyatakan, selain dari pertimbangan sisi jurnalistik, tergugat atau Majalah Time disebut telah mengeluarkan pemberitaan yang mempunyai unsur untuk kepentingan umum.
Menurut Todung, sisi kepentingan publik inilah yang harus dipertimbangkan dalam melihat kasus Haris Azhar.
Sebagai pengacara yang aktif dalam LSM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris dianggap memiliki kewajiban hukum untuk mengangkat kasus mafia narkoba, yang sesuai dengan keadaan "darurat narkoba" di Indonesia oleh Presiden Joko Widodo.
"Tentang tugas-tugas pengacara seperti Haris yang disebut public interest lawyer ini memang belum banyak dibahas di Indonesia. Pengacara seperti ini tidak terkait dengan klien, tetapi isu yang menyangkut kepentingan umum," tutur Todung.
Sementara, itu, Chandra Hamzah, pengacara yang juga pernah menjadi Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut apa yang dilakukan oleh Haris Azhar sama seperti Teten Masduki dan rekan-rekan ketika membongkar kasus korupsi melalui pendirian Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Munir yang berjuang untuk kemanusiaan melalui Kontras, tetapi dari sisi pemberantasan narkoba.
"Langkah yang diambil Haris justru harus diapresiasi. Pelaporan Haris Azhar ke Bareskrim Polri telah memberikan pesan yang salah kepada publik terkait upaya pemberantasan narkoba. Seharusnya dia dipanggil dahulu untuk mendalami data-data yang ada," kata Chandra yang juga pengajar pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
Haris kinii berstatus terlapor di Bareskrim Polri setelah BNN, Polri dan TNI mengadukannya dengan sangkaan melanggar Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menyusul publikasi tulisan hasil wawancaranya dengan terpidana mati Freddy Budiman yang berjudul "Cerita Busuk dari Seorang Bandit: Kesaksian bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusa Kambangan (2014)".