Jakarta, Antara Jateng - Pengacara senior sekaligus pegiat HAM, Todung Mulya Lubis, menilai Presiden Joko Widodo bisa meniru langkah Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, yang mengumumkan nama-nama pejabat negara terlibat dalam bisnis narkoba.
"Presiden bisa melakukan hal yang sama asal sesuai dengan koridor hukum yang berlaku," ujar Lubis, di Jakarta, Senin.
Belakangan ini merebak kontroversi dugaan keterlibatan petinggi Kepolisian Indonesia, BNN, dan TNI, berbasis pengakuan gembong narkoba yang sudah dieksekusi mati, Freddy Budiman, kepada Koordinator KontraS, Harry Azhar.
Publik di media sosial mendorong agar pengakuan Budiman itu ditelusuri setuntas mungkin. Akan tetapi, Azhar malah dilaporkan kepada Badan Reserse Kriminal Kepolisian Indonesia oleh polisi dan TNI karena dianggap melanggar UU ITE.
Lubis menilai, langkah Jokowi meniru Duterte itu bisa diambil sebagai salah satu langkah menyelesaikan penyalahgunaan narkoba yang memang sudah dinilai darurat.
Namun, dia menyatakan tidak setuju dengan langkah "tembak di tempat" bagi para bandar narkoba seperti yang dilakukan Duterte di Filipina. Menurut dia, penerapan hukuman seperti itu tidak layak karena sejatinya yang harus dibongkar adalah tindak kejahatannya dan bukan hanya penjahatnya.
Filipina termasuk negara yang mengijinkan penjualan bebas senjata api dan juga negara tidak aman bagi jurnalis.
"Kalau langsung dibunuh jika ditemukan indikasi bandar narkona, sama saja seperti zaman penembakan misterius (petrus) saat rezim Presiden Soeharto," kata Lubis.
Adapun berdasarkan Reuters, Duterte, Minggu (7/8), mengumumkan 160 nama pejabat dan mantan pejabat, mulai dari wali kota, hakim hingga polisi yang diduga terlibat dalam perdagangan obat-obatan ilegal. Dari daftar yang diungkap itu, juga terdapat dua jenderal polisi yang diduga menjadi pelindung para sindikat narkoba.
Sebelum mengungkapkan profil pejabat yang terlibat dalam bisnis haram, Duterte juga memerintahkan aparatnya untuk melakukan penembakan sampai mati kepada para bandar narkoba yang memang dianggapnya sebagai "perusak bangsa".
Sudah ada 770--800 orang yang dibunuh polisi terkait hal itu sejak Duterte disumpah menjadi presiden pada 30 Juni 2016. Duterte menyebut tindakannya tidak melanggar HAM karena menurut dia HAM seharusnya melindungi martabat bangsa dan tidak membiarkan para pelaku kejahatan menghancurkan Filipina.