Dalihnya sederhana. Setiap harga BBM naik selama ini selalu diikuti dengan melesatnya harga barang. Kini giliran harga BBM turun, mengapa ceritanya berbeda.
Oleh karena itu, harga di Indonesia sering digambarkan serupa dengan kekuasaan. "Kalau sudah duduk, lupa berdiri".
Harga yang ditentukan oleh mekanisme pasar memang kadang aneh bagi konsumen. Jika harga X turun, seharusnya harga Y merosot. Ternyata tidak selalu demikian. Pun dalam perkara pascaharga BBM turun.
Namun, serumit-rumitnya hitungan penetapan harga, muaranya hanya satu: untung. Kalau bisa meraih untung gede, mengapa tidak. Meski konsumen kelabakan. Pedagang memang hanya punya satu ideologi: untung.
Pemerintah selaku regulator harga komoditas strategis tentu berkeyakinan bahwa penurunan harga BBM dan gas diikuti pula penurunan harga kebutuhan, setidaknya sembako. Namun, beberapa komoditas malah naik.
Di Kota Semarang, misalnya, harga telur Rp23.000/kg dari sebelumnya Rp20.000. Harga gula pasir di tingkat pengecer juga naik tipis menjadi Rp13.000/kg dari sebelumnya Rp12.500. Harga sayuran, seperti cabai, malah melesat hingga Rp50.000/kg untuk jenis superpedas. Sementara harga beras untuk keseluruhan jenis masih tetap anteng alias tidak ada penurunan.
Harga elpiji nonsubsidi di tingkat pengecer juga masih sama, Rp150.000 per tabung isi 12 kg. "Saya kulakannya masih harga lama," dalih Paidi, pedagang elpiji di Tembalang. Seharusnya di tingkat pengecer turun hingga Rp135.000-Rp140.000. Tarif angkutan umum pun masih sama. Harga minyak goreng juga bertahan.
Harga rokok malah naik. Namun, untuk produk yang satu ini alasannya beda. Ini racun dan bukan kebutuhan pokok. Pemerintah ingin produksi rokok terus menurun, tapi pemasukan cukainya naik. Apa pun kondisinya, cukai rokok yang dikutip negara wajib membesar untuk memodali APBN.
Boleh jadi harga komoditas tersebut masih "mencari" keseimbangan baru, terutama menyangkut ketersediaan pasokan dengan permintaan. Selama ini yang lebih menentukan harga memang dua variabel pokok tersebut.
Oleh karena itu, 1-2 pekan ke depan akan menjadi penentu apakah penurunan harga BBM dan elpiji bakal "ngefek" atau tidak. Kalau ternyata harga masih stabil atau malah naik, berarti kebijakan itu tidak "ngaruh". Bisa dibaca pula bahwa soal harga, pedagang lebih berkuasa.
Penurunan harga BBM dan elpiji pada awal 2016 memang tidak signifikan. Di tengah harga minyak dunia yang jeblok hingga kisaran 35 dolar AS per barel, harga BBM nonsubsidi di Indonesia tidak ikut anjlok.
Padahal, ketika harga minyak dunia menyentuh 100 dolar AS/barel, harga BBM nonsubsidi semacam Pertamax dan Pertamax Plus tetap dalam kisaran Rp13.000/liter. Harga Premium dan Pertalite juga hanya turun tipis.
Apa pun, rakyat tetap berharap penurunan harga BBM, elpiji, dan listrik bakal memiliki efek berantai (multiplier effects) pada semua barang kebutuhan pokok.
Pemerintah pun memperkirakan dengan harga BBM, gas, dan listrik yang kompetitif tersebut bakal mendorong banyak investor menanamkan modal. Alhasil, perekonomian nasional lebih menggeliat, setidaknya dibandingkan dengan 2015 yang mencatat pertumbuhan sekitar 5 persen. Jadi, rakyat masih bisa berharap.
Harga boleh tidak turun, tapi ada kemudahan mencari uang. Harga boleh mahal, tapi rakyat bisa membelinya. ***