"Hal itu menunjukkan uang memegang peran besar dalam pilkada dan menjadi salah satu faktor mengapa pilkada serentak terkesan senyap? Padahal, pilkada serentak di 269 daerah ini baru pertama kali digelar di Indonesia," kata Prof. R. Siti Zuhro, M.A., Ph.D. menjawab pertanyaan Antara di Semarang, Sabtu.
Ia menyebutkan faktor lain sebagai pemicu kesenyapan dalam pilkada serentak tahun ini, yakni: belum cukup sosialisasi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015; peraturan KPU yang menimbulkan keberatan dari DPR atau partai politik; kesiapan parpol; dan dampak pilkada sebelumnya.
Praktik pilkada yang mencapai sekitar 1.027 di provinsi, kabupaten, dan kota dalam kurun waktu 2005--2014, menurut Prof Wiwieq (sapaan akrab R. Siti Zuhro), telah memunculkan dampak-dampak negatif, seperti pimpinan daerah yang berurusan dengan hukum dan masuk penjara, sehingga membuat publik skeptis.
Alumnus Curtin University, Perth, Australia itu juga berpendapat bahwa pelaksanaan pilkada serentak ini mengacu pada UU pilkada yang baru disepakati antara pemerintah dan DPR RI.
"Undang-undang baru tentang pilkada ini (UU Nomor 8 Tahun 2015, red.) belum cukup tersosialisasikan ke daerah-daerah, tetapi sudah harus jadi rujukan," katanya.
Di tengah perjalanan, ada yang mengajukan permohonan uji materi (judicial review) sejumlah pasal dalam UU No.8/2015 ke Mahkamah Konstitusi, kemudian MK memutuskan Pasal 49 Ayat (9), Pasal 50 Ayat (9), Pasal 51 Ayat (2), dan Pasal 52 Ayat (2) UU No. 8/2015 bertentangan dengan UUD 1945 (Putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 tanggal 29 September 2015).
Atas putusan itu, KPU menerbitkan PKPU Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota dengan Satu Pasangan Calon.
Penyebab kesenyapan lainnya, lanjut Prof. Wiwieq, KPU membuat perturan-peraturan terkait dengan pilkada serentak yang acap kali menimbulkan keberatan dari DPR atau parpol dan bahkan juga kebingungan masyarakat.
Di lain pihak, kata pakar otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu, secara umum partai politik terkesan belum siap. Munculnya pasangan calon tunggal, misalnya, mengindikasikan peluang kontestasi dalam pilkada menjadi sirna.
"Asumsinya, kontestasi tak diperlukan lagi ketika muncul calon yang sangat kuat dan dipastikan akan memenangi pilkada. Hal ini tentu membuat pilkada serentak miskin animo atau antusiasme publik," katanya.
Berita Terkait
Koordinator MCB: Pembatasan pengunjung demi kesucian Borobudur
Rabu, 2 Oktober 2024 9:07 Wib
KPU Batang batasi pendukung pasangan calon saat pengundian nomor urut
Jumat, 20 September 2024 13:53 Wib
Jumlah pengunjung Taman Balekambang dibatasi
Senin, 5 Agustus 2024 22:32 Wib
Pemkab Batang - Polres batasi arena bermain anak di pantai
Sabtu, 13 April 2024 21:03 Wib
Dinhub Banyumas ingatkan pembatasan operasional angkutan barang
Rabu, 3 April 2024 9:46 Wib
Waktu operasional tempat hiburan malam dibatasi selama Ramadhan
Selasa, 12 Maret 2024 21:12 Wib
Pelari Agus Prayogo tak bisa tampil di PON 2024 karena pembatasan umur
Senin, 22 Januari 2024 14:42 Wib
Wali Kota Surakarta: Belum perlu pembatasan meski COVID-19 merebak
Selasa, 19 Desember 2023 14:20 Wib